M. Rafli Mustofa
Mahasiswa Jurusan Hukum Universitas Bangka Belitung
Pandemi Covid-19 memiliki dampak yang besar terhadap berbagai lapisan masyarakat indonesia baik dari kalangan bawah sampai lapisan atas, diantaranya adalah menurunnya pendapatan perkapita masyarakat indonesia. Hal ini disebabkan diberlakukanya pembatasan kepada masyarakat yang salah satu nya adalah lockdown berkepanjangan. Tentu hal ini sangat berdampak kepada perusahaan makanan baik perusahaan besar maupun perusaan kecil yang bergerak dibidang konsumsi dan perusahaan yang bergerak dibidang lain dikarenakan menurunya tingkat peredaran rupiah saat ini.
Dengan berkurangnya masyarakat yang beraktivitas diluar rumah tentu mengakibatkan penurunan penjualan yang sangat signifikan dibanding saat sebelum masa pandemi. Akibat hal ini tidak sedikit perusahaan yang bergerak dibidang makanan yang mengalami keterpurukan karna tidak dapat mengembalikan modal yang ia gunakan semasa proses produksi. Pandemi Covid-19 membuat Indonesia berada di ambang resesi ekonomi sehingga terjadi peningkatan kasus kepailitan yang dialami banyak perusahaan-perusahaan kecil maupun besar, yang tentunya menimbulkan kecemasan dari para pemberi pinjaman modal atau kreditur yang khawatir modalnya tidak kembali. Sehingga berlomba-lomba untuk mengajukan pailit lebih dahulu kepada debitor mereka tanpa menelusuri fakta di lapangan terlebih dahulu.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU menyatakan bahwa kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas. Pailit atau Kepailitan dilakukan agar terjadinya pembayaran secara tertib terhadap semua kreditor dengan mendapatkan pembayaran menurut imbangan besar kecilnya piutang masing-masing dengan tidak berebutan.
Syarat pengajuan pailit sangat mudah yaitu cukup dengan minimal 2 Kreditor dan 1 utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih.
Kemudahan tersebut telah menimbulkan banyak kerugian baik secara materil maupun imateril kepada debitor maupun kreditor yang beritikad baik dan konsumen juga dibuat khawatir dengan adanya isu pailit. Syarat dalam hal pengajuan kepailitan memiliki peranan yang sangat penting dalam kepailitan, ketika telah terbukti secara sederhana bahwa kepailitan yang diajukan telah memenuhi syarat kepailitan sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan maka Majelis hakim harus (wajib) memutus pailit. Mengenai Kewajiban ini telah diatur dalam Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan.
Syarat untuk mengajukan permohonan pailit di Indonesia saat ini jauh lebih mudah dibandingkan dengan persyaratan pailit di negara lain. Beberapa negara di dunia mewajibkan adanya insolvency test sebelum putusan pailit dijatuhkan, seperti Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa. Insolvency test adalah tahapan pengujian ketidakmampuan debitor untuk membayar utang-utangnya dengan mempertimbangkan perhitungan jumlah aset yang dimiliki perusahaan saat ini. Jadi selama perusahaan masih beretika baik dan keadaan perusahaan masih berkemungkinan untung melunasi hutang-hutangnya dikemudian hari setelah beberapa waktu kemudian, maka putusan pailit tidak akan dijatuhkan.
UU Kepailitan dan PKPU di Indonesia saat ini belum mengatur bahwa Majelis hakim harus melakukan insolvency test sebelum menjatuhkan putusan pailit. Dalam hal Eksekusi putusan pailit pun juga tidak harus menunggu putusan memiliki kekuatan hukum tetap terlebih dahulu, namun dapat langsung dieksekusi terlebih dahulu meskipun terhadap putusan tersebut masih atau sedang diajukan suatu upaya hukum, sehingga sangat mempengaruhi proses upaya hukum selanjutnya.
Setelah tulisan ini dibuat, penulis sendiri berharap persyaratan pengajuan pailit untuk kedepannya haruslah diperketat dengan mewajibkan beberapa tahapan terlebih dahulu seperti pemberlakuan Insolvency test ataupun kebijakan-kebijakan lain agar dapat meminimalisir kerugian yang dialami para pihak akibat mudahnya pengajuan permohonan pailit seperti saat ini.
(M. Rafli Mustofa/Red LPM-UBB)