Sofie Ananda
Mahasiswa Jurusan Hukum Universitas Bangka Belitung
Pailit berasal dari bahasa Prancis yaitu faillete yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran, sedangkan orang yang mogok atau berhenti membayar dalam bahasa Prancis adalah Le Fail. Namun istilah pailit dalam negara-negara yang berbahasa Inggris menggunakan istilah bankrupt dan bankruptcy. Adapun beberapa pendapat ahli mengenai pengertian kepailitan, salah satunya menurut Kartono; “kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan debitor (orang yang berutang) untuk kepentingan semua kreditor-kreditornya (orang yang berpiutang) bersama-sama, yang pada waktu si debitor dinyatakan pailit mempunyai piutang dan untuk jumlah piutang yang masing-masing kreditor miliki pada saat itu”.
Pengertian kepailitan diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yaitu pailit sebagai sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh curator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam UU Kepailitan. Syarat untuk mengajukan permohonan pailit diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan yaitu;
“debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”. Harta pailit dianggap berada dalam keadaan tidak mampu membayar jika; 1) Dalam rapat verifikasi tidak ditawarkan perdamaian; 2) Perdamaian yang ditawarkan telah ditolak; 3) Pengesahan perdamaian tersebut dengan pasti telah ditolak.
Dalam UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dalam praktik pengurusan dan pemberesan harta pailit, keadaan going concern dapat dijadikann sebagai salah satu indicator untuk menentukan pilihan untuk melikuidasi jika harta pailit debitur telah insolven. UU Nomor 37 Tahun 2004 tidak menjelaskan secara rinci definisi dari asas kelangsungan usaha (going concern). Namun pada dasarnya, Going concern (kelangsungan usaha) adalah prinsip kelangsungan hidup suatu badan usaha. Going concern menunjukkan bahwa suatu badan usaha dianggap akan mampu mempertahankan kegiatan usahanya dalam jangka waktu yang panjang, tidak akan dilikuidasi dalam jangka waktu pendek.
Permintaan going concern dapat dimintakan oleh debitur atas pertimbangan subjektif dari debitur yang melihat masih layaknya perusahaan tersebut dilanjutkan. Usulan tersebut wajib diterima apabila telah disetujui oleh kreditur yang mewakili setngah dari semua piutanh yang diakui dan diterima sementara. Jika dalam pengimplementasian going concern tidak dapat memberikan value added bagi mayoritas kreditur maka dapat diajukan penghentian usaha yang diatur dalam Pasal 183 ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004 bahwa;
“Atas permintaan Kreditor atau Kurator, Hakim Pengawas dapat memerintahkan supaya kelanjutan perusahaan dihentikan”
Akibat hukum dari penghentian going concern ini adalah kreditur harus segera membereskan segala aset-aset debitur yang pailit dengan merujuk pada tata cara yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan tanpa harus adanya persetujuan dari debitur. Namun berbeda dengan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang tidak memerlukan pesetujuan untuk usulan business going concern karena debitur masih berwenang mengurus harta kekayaannya dengan persetujuan pengurus sebagaimana yang diatur dalam Pasal 240 ayat 1 UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Penerapan asas Business Going Concern akan memungkinkan perusahaan debitur melakukan restrukturisasi utang yang bermuara pada perjanjian perdamaian. Implementasi asas going concern ini juga merupakan perwujudan dari sikap toleransi dari para kreditur kepada debitur yang sedang mengalami kesulitan keuangan. Selain itu, asas ini juga memberikan dampak positif terhadap nilai ekonomi perusahaan debitur, naiknya nilai ekonomi pada perusahaan debitur akan sama-sama menguntungkan pihak debitur maupun para krediturnya.
(Sofie Ananda/Red LPM-UBB)