Oleh : Dinda Amelia (Mahasiswi IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung)
Sebuah fakta terungkap bahwa orang kaya di Indonesia mengalami peningkatan selama pandemi COVID-19. Berdasarkan laporan Credit Suisse, jumlah orang dengan kekayaan di atas US$ 1 juta atau setara dengan Rp 14,49 miliar (kurs dollar Rp 14.486) di Indonesia ada sebanyak 172.000 orang, alias bertambah 62,3% dibandingkan tahun sebelumnya. Laporan Credit Suisse nampaknya memberikan bukti bahwa kesenjangan antara rakyat Indonesia agak melebar. Terlihat dari data indeks gini yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS). Indeks gini adalah indikator yang mengukur tingkat pengeluaran penduduk yang dicerminkan dengan angka 0-1. Semakin rendah angkanya, maka pengeluaran semakin merata.
Tak hanya itu, Credit Suisse juga membuat perhitungan untuk mengukur guncangan perekonomian terhadap Indonesia, seperti krisis keuangan global atau tren lain yang bisa mengguncang perekonomian dan sistem keuangan. Sementara itu, ekonom senior Indef Faisal Basri menyebutkan, naiknya jumlah orang kaya dan orang superkaya tersebut merupakan hal yang kontras, apalagi pandemi Covid-19 mengakibatkan perekonomian gonjang-ganjing dan jatuh ke dalam jurang resesi. kompas.com.
Lebih dari lima juta orang menjadi jutawan di seluruh dunia pada tahun 2020 meskipun ada pelemahan ekonomi dari dampak pandemi COVID-19. Sementara banyak orang miskin yang makin miskin. Nannette Hechler-Fayd’herbe, kepala investasi di Credit Suisse, mengatakan bahwa fenomena ini dapat terjadi karena adanya penurun suku bunga yang dilakukan oleh banyak bank-bank sentral di seluruh dunia. Nannette menjelaskan bahwa dengan adanya penurunan suku bunga dari bank sentral di tiap-tiap negara dapat membantu meningkatkan harga saham dan harga rumah selama masa pandemi. Peningkatan harga saham dan harga rumah inilah yang menjadi alasan utama sejumlah orang dapat meraup ‘untung’ semasa pandemi. Jadi tidak heran bila selama pandemi yang kaya menjadi semakin kaya dan yang miskin menjadi semakin miskin. Sejumlah orang kaya yang memiliki sejumlah aset saham atau rumah mengalami peningkatan kekayaan, sedangkan bagi mereka yang tidak punya aset-aset tersebut terpaksa harus berjuang melawan ‘siksaan’ ekonomi semasa pandemi. detik.com.
Dari paparan tersebut nampak bahwa sistem kapitalisme semakin menjamur meski di tengah pandemi. Sistem ini memfasilitasi kerakusan pemilik modal untuk melipatgandakan kekayaan pribadinya, sementara itu sistem ini mewujudkan kemiskinan massal pada individu, keluarga dan negara. Kapitalisme pada hakikatnya adalah sistem sosial yang berdasarkan pada pengakuan hak-hak individu. Dalam ranah ekonomi, kapitalisme memisahkan intervensi negara dengan perekonomian, seperti halnya ada sekuler yang memisahkan agama dengan negara. Bagaimanapun, kapitalisme sebagai sistem sosial yang menyeluruh, lebih dari sekedar sistem perekonomian. Bahkan dalam perjalanannya, kapitalisme telah memberikan efek buruk bagi perekonomian dan kesenjangan sosial yang semakin melebar (gap) antara si kaya dan si miskin. Itu semua merupakan dampak dari kejamnya kapitalisme yang terjadi di beberapa negara termasuk Indonesia. Tidak hanya itu. Kapitalisme membuat negara miskin semakin miskin karena terbelit utang yang pada akhirnya membuat negara miskin dan berkembang sulit bersaing dengan negara maju. Jadi, tujuan kapitalisme tidak sekadar memenuhi kebutuhan dasar manusia, tetapi juga untuk memuaskan nafsu manusia yang tidak pernah puas. Karena nafsu manusia yang tidak dilandasi dengan moralitas dan keimanan menjadikan seseorang serakah dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Lalu sistem kapitalisme digerakkan secara dominan oleh ekonomi berbasis sektor keuangan yang penuh spekulatif, bukan diarahkan ke sektor riil yang produktif.
Selain itu, sistem ini juga mencetak kesengangan permanen yang rentan melahirkan masalah baru di masyarakat seperti maraknya kriminalitas dan problem sosial lainnya. Faham ini memiliki efek buruk sangat berbahaya bagi keberlangsungan ekonomi suatu bangsa. Diantaranya meningkatnya kemiskinan, merusak budaya lokal, dan membentuk manusia menjadi konsumtif karena tujuannya hanya memperkaya pemodal semata tanpa mempedulikan kemaslahatan umat.
Berbeda jika dengan sistem Islam atau berbasis syariah, dimana sistem ekonomi ni memiliki keunggulan lebih dan komplet di dunia. Sistem perekonomian Islam yang salah satunya mengatur tentang pengembangan perbankan (Perbankan Syariah), memiliki arah jelas dan tidak ditemukan dalam sistem ekonomi lainnya, yakni menitikberatkan pada kemaslahatan umat manusia, mengedepankan moral, etika dalam pelaksanaannya dan mewujudkan keseimbangan distribusi pendapatan. Sistem ekonomi syariah jika diterapkan dengan jelas diyakini mampu menjawab permasalahan besar di dunia sekarang, seperti kemiskinan. Karena sudah jelas diatur berdasarkan Al-Quran dan As-sunnah, maka moral, aqidah dan kemaslahatan bagi manusia adalah hal yang utama yang diperhatikan. Sebagaimana yang diketahui bahwa dalam pandangan ekonomi Islam, negara mesti menjamin pemenuhan kebutuhan pokok (pangan, papan, sandang, kesehatan, pendidikan, dan keamanan). Jika seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya dan keluarganya, kewajiban itu beralih kepada kerabatnya mulai yang terdekat. Jika tidak mencukupi, diambilkan dari harta zakat. Jika belum mencukupi, kewajiban itu beralih ke negara, yakni wajib atas Baitul Mal memenuhinya. Negara bisa memberikannya dalam bentuk harta secara langsung maupun dengan memberi pekerjaan. Namun sayangnya, saat ini, zakat juga justru tidak lepas dari sistem kapitalisme. Maka manfaatnya pun tidak dapat dirasakan secara maksimal oleh orang yang berhak menerimanya. Dengan diterapkannya sejumlah aturan yang berbau kapitalisme, ketimpangan di Indonesia semakin tinggi, yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Oleh karena itu, Syariat Islam yang memiliki basis ekonomi syariah bisa menjadi solusi bagi ketimpangan dan kemiskinan yang saat ini terjadi di Indonesia.
Wallahu alam bishawwab.
(Dinda/Red LPM UBB)