Oleh Arie Hidayat, Mahasiswa Jurusan Teknik Mesin
“Bunga mawar tidak pernah mempropagandakan harumnya, namun keharumannya sendiri menyebar melalui sekitarnya.” – Ir. Soekarno
Tahun 2022 kini memasuki penghujung tahun. Aktivitas akademik berangsur mengistirahatkan diri, mafhum dalam rangka Natal dan Tahun Baru, tapi bukan itu lebih tepatnya libur peralihan semester. Mahasiswa tak ubahnya dengan pekerja lainnya, berangkat pagi pulang sore hingga malam hari kini dapat berbahagia karena sedang cuti. Walaupun tak lama tapi dapat meluruskan tulang belakang pun sudah cukup.
Dewasa kini organisasi sudah menjadi rumah bagi mahasiswa yang kebingungan mencari jati diri, menjadi tempat pelarian diri, bahkan menjadi kehidupan itu sendiri. Biasanya baru bisa berkumpul dan berdiskusi pasca bertatapan dengan dosen dan mencatat laporan. Berbondong-bondong menuju sekretariat, kemudian berkumpul pada agenda rapat. Ya, biasanya begitu.
Walaupun sedang libur, organisasi selalu menjalankan aktivitasnya. Anak-anak yang tak pulang ke rumah serta kampung halaman memilih untuk menghidupi sekretariat. Mereka punya alasan kalau pulang pun menganggur, lebih baik di kampus saja bisa berkumpul dan berdiskusi.
Kampus bernama Universitas Bangka Belitung telah melewati perjalanan panjang dalam berdinamika membangun organisasi. Tampak puluhan ormawa (organisasi kemahasiswaan) berjibaku untuk menunjukkan eksistensialisme melalui program kerja sebutlah himpunan mahasiswa jurusan, unit kegiatan mahasiswa, badan eksekutif mahasiswa, hingga senat mahasiswa.
Namun seiring berjalannya waktu, kampus yang berlokasi di Pulau Bangka ini mulai menampakkan keanehan. Baiklah, pelan-pelan penulis mencoba menawarkan salah satu gambaran yang masih abstrak namun juga membingungkan. Situasi menjelang kontestasi pergantian pimpinan eksekutif mahasiswa di kampus negeri santuy ini memang layak menjadi perhatian bersama.
Menyoal kondisi kampus yang mulai berangsur pulih pasca Covid-19 merupakan suatu kemajuan bagaimana tatap muka jarak jauh kini tak lagi berlaku. Banyak aktivitas yang dilakukan di tempat terbuka dengan jumlah massa melebihi ribuan orang dijalankan. Namun hal yang patut kita soroti saat ini mengenai teknis Pemilihan Umum Mahasiswa (Pemilwa) yang tetap dijalankan secara online. Tiga periodeisasi kepemimpinan Presiden dan Wakil Presiden Mahasiswa sebelumnya dipilih melalui mekanisme E-vote. Kemudian tahun ini juga kembali digelar secara eksklusif melalui jaringan. Apa yang menyebabkan panitia pelaksana membuat kebijakan demikian?
Masih ingat betul dalam ingatan, bagaimana para pengurus organisasi mahasiswa sering mengeluh tentang aktivitas di sekretariat pada malam hari yang tidak diperbolehkan hingga batas waktu yang ditentukan. Kemudian kegiatan yang bersentuhan dengan jumlah massa yang banyak juga ikut dibatasi saat itu, tapi mahasiswa keukeuh tetap ingin menjalankan kegiatan tersebut. Nyatanya semangat tersebut hanya ada pada saat menjalankan program kerja, tidak pada seluruh wilayah termasuk pemilwa.
Penulis mengajak para pembaca untuk sama-sama membuka mata terhadap beberapa kejadian di proses pemilihan sebelumnya. Sistem pemilihan umum berbasis online menjadi sebuah ancaman tatkala tak dipersiapkan dengan strategi yang matang. Potensi kecurangan jelas tinggi mengingat akses untuk melakukan manipulasi sangat mudah untuk dilakukan. Seakan-akan tidak masuk akal, jumlah mahasiswa yang berorientasi pada organisasi tak sesuai dengan jumlah total pemilih yang diumumkan panitia pelaksana. Tapi inilah kenyataannya, pihak yang kalah dalam pertarungan akan menjadi pihak yang merasa paling dirugikan karena perhitungan total suara tidak sesuai dengan fakta dilapangan.
Kemudian rentang waktu Pemilwa tidak dipersiapkan dengan bijak oleh penyelenggara. Mengapa demikian, Pemilwa kali ini diselenggarakan ketika kalender akademik sudah berakhir. Artinya mau tidak mau suka atau tidak suka, hal ini akan menjadi dalih mengapa pemilihan dilaksanakan secara online. Hal ini jelas menjadi catatan buruk dalam tiga tahun terakhir proses penyelenggaraan pesta demokrasi mahasiswa di kampus peradaban. Kondisi ini jelas seolah-olah dan seakan-akan harus segera ada pergantian kepemimpinan sebelum berganti tahun. Euforia demokrasi sudah tidak lagi dirasakan. Luber Jurdil hanyalah slogan. Apakah masih layak bermimpi menjalankan miniatur pemerintahan Indonesia di kampus ini?
Seharusnya, melalui pengalaman tersebut lembaga legislatif yang dalam hal ini Dewan Perwakilan Mahasiswa mesti berbenah. Proses pembentukan panitia penyelenggara mesti di lakukan sejak jauh-jauh hari. Pemilihan sudah seharusnya diselenggarakan secara langsung karena proses ini akan menentukan era kepemimpinan mahasiswa pada periode selanjutnya. Kali ini jelas bahwa pihak penyelenggara memilih jalan aman dengan mekanisme online. Baik panitia kerja, Bawaslu-M, serta KPU-M mereka akan berdalih bahwa ini adalah kesepakatan bersama. Apakah ini kemajuan ketika ormawa mendesak kampus untuk bisa menyelenggarakan kegiatan secara langsung sedangkan pemilihan umum dilaksanakan daring? Sepertinya tidak, demokrasi kampus mundur secara perlahan menuju ketidakjelasan karena logika berpikir terbalik dipelihara dan kemudian menjadi kebiasaan.
Selamat atas kontestasi kampus peradaban. Catatan ini hanya sebatas candaan, tapi selalu ada harapan yang terselip dibalik tulisan.