Anggun Rotami
Mahasiswa Jurusan Hukum Universitas Bangka Belitung
BUMN merupakan badan usaha milik negara yang memiliki peranan penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang ada di Indonesia. BUMN merupakan salah satu pelaku kegiatan ekonomi dalam perekonomian nasional. BUMN berperan aktif dalam menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak.
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN), BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Berbicara mengenai kepailitan, pengaturan kepailitan bagi BUMN sendiri masih dianggap tumpang tindih yang mengakibatkan inkonsistensi pada putusan hakim dalam memutus perkara kepailitan tersebut.
Sebut saja contohnya seperti kasus kepailitan P.T Dirgantara Indonesia (Persero) dan juga kepailitan P.T Istaka Karya (Persero). Pada kasus P.T Dirgantara Indonesia (Persero) berdasarkan Putusan Kasasi Nomor 075 K/Pdt.Sus/2007, Mahkamah Agung membatalkan putusan pailit yang telah dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Mahkamah Agung menilai bahwa hanya Menteri Keuangan yang berhak mengajukan permohonan pailit terhadap PT. Dirgantara Indonesia (Persero). Sedangkan pada kasus P.T Istaka Karya (Persero) pada Putusan Peninjauan Kembali Pernyataan Pailit P.T Istaka dibatalkan.
Menurut saya, konsep kepailitan pada BUMN tidak boleh dibedakan antara kepailitan terhadap badan hukum privat dan badan hukum publik seperti BUMN. Baik BUMN yang berbentuk Persero, maupun Perum dapat dipailitkan sebagaimana layaknya badan hukum privat dapat dipailitkan. Pertama karena Undang-Undang Kepailitan tidak membedakan antara kapasitas badan hukum publik BUMN dengan badan hukum privat, kedua, karena dalam pengaturan mengenai BUMN sendiri, dimungkinkan terjadinya kepailitan bagi BUMN baik Persero (pasal 7 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 1998) tentang Perusahaan Perseroan (PERSERO) maupun Perum (pasal 25 Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1998) tentang Perusaan Umum (PERUM).
Mempailitkan suatu BUMN yang berbentuk badan hukum persero, tidak ada masalah karena memang Undang-Undang Kepailitan dan PKPU juga tidak memberikan privilege terhadap BUMN pada umumnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menentukan bahwa Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan yang berwenang, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih Kreditornya.
Selama pembuktian sederhana yang meliputi syarat adanya dua Kreditor atau lebih serta minimal satu utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, artinya apabila syarat-syarat tersebut telah terbukti maka hakim harus mengabulkan permohonan pailit tanpa mempertimbangkan bagaimana kondisi keuangan Debitor, dengan demikian Debitor dengan mudah dapat dinyatakan pailit.
Pada dasarnya, sebelum melakukan pernyataan pailit hak-hak Debitor dalam melakukan semua tindakan hukum berkenaan dengan kekayaan harus dihormati. tentunya dengan mempertimbangkan hak-hak serta kewajiban Debitor menurut prosedur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Putusan pernyataan pailit membawa akibat hukum bagi Debitor. Secara umum hal tersebut diatur dalam Pasal 21 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU.
Kepailitan pada BUMN dapat mengakibatkan hilangnya segala hak debitor untuk mengurus segala harta kekayaan yang termasuk ke dalam harta pailit (boedel pailit). Perlu diketahui bahwasanya putusan pernyataan pailit tidak mengakibatkan debitor kehilangan kecakapannya untuk melakukan perbuatan hukum (volkomen handelingsbevoegd) pada umumnya, tetapi hanya kehilangan kekuasaan atau kewenangannya untuk mengurus dan mengalihkan harta kekayaannya saja. Kewenangan debitor tersebut selanjutnya diambil alih oleh kurator. Ketentuan tersebut berlaku sejak diucapkanya putusan pernyataan pailit.
Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004, Kurator sendiri merupakan Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangka oleh Pengadilan untuk mengurus serta mebereskan harta Debitor Pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang tersebut. Terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan, debitur pailit tidak lagi diperkenankan untuk melakukan pengurusan atas harta kekayaannya yang telah dinyatakan pailit. Selanjutnya, pelaksanaan pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit tersebut diserahkan kepada kurator yang diangkat oleh pengadilan, dengan diawasi oleh seorang Hakim Pengawas yang ditunjuk dari Hakim Pengadilan. Pengangkatan tersebut harus ditetapkan dalam putusan pernyataan pailit tersebut oleh kurator bersifat seketika, dan berlaku saat itu pula terhitung sejak tanggal putusan ditetapkan meskipun terhadap putusan kemudian diajukan kasasi atau peninjauan kembali.
Dalam menjalankan tugasnya kurator tidak diharuskan memperoleh persetujuan dan menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada Debitor, meskipun dalam keadaan di luar Kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan. kurator dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, hanya dalam rangka meningkatkan harta pailit. Bila dalam melakukan pinjaman kepada pihak ketiga Kurator perlu membebani harta pailit dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya maka pinjaman tersebut harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari hakim pengawas.
(Anggun Rotami/Red LPM-UBB)