Massa aksi Hari Tani Nasional memasuki ruang rapat, menuntut perubahan untuk keadilan agraria. Sumber foto istimewa
LPM Alternatif, Pangkalpinang – Dalam memperingati Hari Tani Nasional, koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Bangka Belitung Raya, Sekolah Mahasiswa Progresif (SEMPRO), BEM KM FISIP, Dema IAIN SAS Bangka Belitung, Politeknik Manufaktur (POLMAN) menggelar aksi di Kantor DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada Jum’at, (27/9). Aksi ini mengusung tema “Rakyat dan Kaum Muda Menangkan Reforma Agraria Sejati” sebagai bentuk perjuangan hak-hak petani, buruh tani, kaum muda dan rakyat tertindas lainnya yang merasa dirugikan oleh tindakan dan kebijakan politik yang tak berpihak kepada kesejahteraan dan kemakmuran rakyat tertindas.
Dalam orasi, para demonstran menegaskan bahwa hak-hak mereka sering kali diabaikan demi kepentingan pribadi segelintir orang. Mereka mengingatkan kembali terkait Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, yang menyatakan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Namun pada kenyataannya tidak sesuai dengan pasal tersebut, bisa dilihat dari maraknya penggusuran terhadap masyarakat pedesaaan, monopoli penguasaan lahan dan rusaknya lingkungan akibat rakusnya pemilik modal untuk mengeruk sumber daya alam demi kepentingan dirinya sendiri.
Muhammad Dzuljalali dari Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Bangka Belitung Raya menjelaskan kronologi aksi hari ini dimulai dengan momentum 24 September 2024, yang diperingati sebagai Hari Tani Nasional. Di momentum ini, sudah selayaknya untuk menyampaikan apa yang menjadi keinginan dalam proses kemerdekaan petani, buruh dan ditransformasikan dalam beberapa persoalan-persoalan yang ada didaerah, salah satunya terkait penguasaan lahan.
Beberapa Point tuntutan :
1. Moratorium pertambangan timah dan perkebunan monoktur skala besar yang meliputi penyetopan izin-izin baru, penangguhan izin yang ada serta mengevaluasi pelaksanaan reklamasi pasca tambang
2. Mendorong pemerintah daerah untuk melakukan investigasi dan pemeriksaan lapangan serta mengeluarkan keputusan gubernur mengenai terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup di Bangka Belitung.
3. Segera selesaikan konflik agraria yang lama maupun baru saja terjadi secara adil, transparan, dan berpihak pada yang tertindas.
4. Wujudkan reforma agraria sejati dengan mencabut UU yang bertentangan dengan cita cita revolusi Indonesia dan semangat UUPA No 5 tahun 1960.
Mahasiswa/i yang turut hadir dalam aksi hari ini, menyampaikan aspirasinya mulai dari orasi, puisi dan sebagainya. Menyikapi hal tersebut, anggota dewan memberikan kesempatan terhadap mahasiswa/i untuk masuk ke dalam ruangan untuk menyampaikan keluhan dan permasalahan yang terjadi di Bangka Belitung.
Ricky Kuswanda – Sekolah Mahasiswa Progresif (SEMPRO)
Ricky mengungkapkan bahwa monopoli penguasaan tanah paling luas mencapai lebih dari 60 ribu hektar, yang akan merampas lebih dari setengah konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) PT Bangun Rimba Sejahtera (BRS). Kemudian, ada konflik di Batu Beriga beberapa PT masuk ke perairan Batu Beriga yang pantainya sangat indah.
“Ketika itu ditambang, siapa lagi yang akan melihat? Tentu anak kecil yang usianya satu tahun hari ini, di umur 20 tahun nanti dia akan melihat kerusakan yang terjadi akibat tambang. Kami ingin memblejeti watak dari DPRD, bahwa DPRD tidak mampu menyelesaikan masalah struktural ini, sehingga gerakan harus dibangun dari bawah tetapi bukan berarti kami harus sujud. Kami akan memaksa kepada bapak/ibu untuk menangani kasus kasus ini, terutama kasus-kasus yang kami dampingi untuk segera ditindaklanjuti sampai dikemudian hari.” tegasnya
Regi- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)
Hari tani merupakan peringatan Undang-Undang Pokok Agraria No 5 tahun 1960. Secara tegas, UU ini menjadi politik agraria, jadi harus seperti apa agraria di Indonesia. Di PERDA sebelumnya, penataan ruang lebih banyak di dominasi oleh korporasi-korporasi ada pertarungan bebas antar masyarakat karena yang tertingal hanyalah sedikit. Karena disinggung perihal korupsi 300 Triliun, akibat perizinan yang tidak jelas. Jadi, korupsi tersebut merupakan contoh atau pemberitahuan kepada kita bagaimana buruknya tata pengelolaan tata ruang yang ada di Bangka Belitung.
Rahul Ikhsan, menambahkan dosa besar di Bangka Belitung bernama ekstraktivisme. Sektor yang bergerak dalam industri ekstraktiv ini bisa dipahami sebanyak 3 sub, pertambangan, perkebunan kelapa sawit, Hutan Tanaman Industri (HTI). Negara hari ini, sudah menunjukkan watak yang sudah mengarah kepada kapitalisme, dimana setiap perusahaan diperuntukkan untuk kepentingan si pemilik modal, dan ini dipahami sebagai akumulasi kapital. Khususnya, di Bangka Belitung hari ini soal korupsi timah, sebagai catatan 271 T merupakan kerugian lingkungan yang menjadi perhatian khusus sudah berapa banyak sumber daya alam di ekstraksi besar besaran. Makanya kami, Walhi bersama dengan teman teman selalu melakukan advokasi terhadap masyarakat. Kuncinya ada di RTRW, Walhi bersama nelayan, masyarakat Beriga, masyarakat Pangkalniur bersama sama ke DPRD meminta stop pembahasan RTRW. Tapi, grasak grusuk, senyap tiba tiba disahkan, ini menjadi kemarahan kami karena tiba tiba disahkannya RTRW
Randi – Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)
Saat ini, GMNI melakukan advokasi di Ujung Bangka Selatan, Kecamatan Lepar Pongok, yang mencakup empat desa yakni Tanjung Sangkar, Kumbung, Penutuk, dan Tanjung Labu. Terdapat sejumlah permasalahan di desa-desa tersebut. Pertama, ada konflik antara masyarakat dan PT Sawit SNS Sentosa, yang dianggap telah merampas lahan di Lepar. Pada tahun 2021, PT ini menguasai 6.111 hektare lahan, dan pada 2023, jumlah lahan yang dikelola meningkat menjadi 8.119 hektare, dengan pengambilan paksa terhadap lahan masyarakat. Tindakan anarkis juga terjadi, dengan kehadiran pihak-pihak tertentu yang mengancam masyarakat. Masyarakat berperan sebagai benteng, sedangkan satpam setempat tampak berfungsi sebagai tameng saat terjadi aksi, seolah-olah mereka di adu domba satu sama lain. Beberapa direktur PT tersebut mengklaim memiliki backingan, yang membuat masyarakat Lepar Pongok merasa terancam. Terdapat pula keinginan dari warga Tanjung Sangkar untuk melakukan kajian kelautan, mengingat 89% penduduk Lepar Pongok adalah nelayan, tetapi mereka kini menghadapi ancaman.
Suchi Melinda – Lingkar Diskusi Gender
“Saya tidak hanya mewakili mahasiswa, tetapi perempuan, anak kelas bawah, anak buruh, anak tambang yang merasa langsung hidup dari tambang, dan lagi lagi ketika konflik agraria terjadi yang paling rentan menjadi korban adalah perempuan.” jelas Suchi
Saat konflik terjadi di Membalong yang menjadi korban dan rentan adalah perempuan, terutama perempuan yang dikontruksikan oleh masyarakat sebagai pekerja rumah tangga. Dalam konflik agraria, banyak ibu-ibu mengalami kesulitan dalam mendapatkan akses air. Lahan itu tidak lagi dikelola oleh masyarakat tetapi oleh perusahaan-perusahaan besar. Sekali lagi, yang menderita adalah perempuan. Di Membalong, sungai yang dulunya luas kini tercemar. Di Bangka, teman-teman yang bergantung pada perkebunan sering mencuci baju, makan, dan minum dari air yang sekarang kotor, karena sumber mata air dari sumur atau sungai sudah tercemar. Lagi-lagi, perempuan yang harus membeli air dengan biaya ratusan ribu per bulan.
Kekerasan di Membalong, 11 rakyat Membalong di kriminalisasi oleh PT. Foresta ditahan (dipenjara) yang mereka merupakan kepala keluarga dan harusnya mencari nafkah. Ketika mereka ditangkap mau tidak mau siapa yang bekerja, lagi-lagi perempuan. Sudah mengerjakan pekerjaan domestik, kerja pula untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Di Bangka, mata pencaharian utama sebenarnya adalah pertanian, bukan pertambangan. Kami ingin mendengar secara jelas bagaimana kalian akan menangani masalah ini. Kami tidak ingin hanya menerima janji-janji atau jawaban normatif. Apa langkah konkret yang akan diambil? Harus ada dukungan nyata untuk rakyat dan mereka yang terpinggirkan. Kami butuh kepastian kapan tindakan akan diambil, kapan janji akan direalisasikan, dan bagaimana kami bisa terlibat. Tentukan juga deadline-nya. Jika perlu, kami siap turun ke jalan.
Muda Afreiyanto- HMI Cabang Bangka Belitung Raya
Muda Afreiyanto mengungkapkan bahwa anggota dewan tampak tidak mendengarkan keluhan masyarakat. Meskipun baru empat hari dilantik, respon mereka dianggap kurang baik, dengan komentar bahwa membahas keluhan secara mendetail hanya membuang waktu. Dalam kesempatan ini, mereka meminta anggota dewan untuk berkomitmen dalam dua hal:
1. Menyelesaikan masalah ancaman konsesi PT BRS Bangka Barat yang berdampak pada 39 desa dan seratus ribu orang, serta mempertanyakan bagaimana kehidupan petani dan pendidikan anak-anak mereka jika konsesi HTI dilanjutkan.
2. Mengatasi isu ilegal mining di Teluk Kelabat, Desa Mengkubung, yang masih berlangsung meskipun telah ada aksi dan audiensi sebelumnya. Mereka berharap anggota dewan dapat berkomitmen untuk menyelesaikan masalah ini.
Bilal – LPM Pramoedya Institut Pahlawan 12
Bangka Belitung menempati posisi ketujuh dalam ekonomi di Sumbagsel. Saat ini, bagaimana kondisi ekonomi di Bangka? Sebagai salah satu anggota dewan yang mewakili daerah ini, bagaimana kita dapat membicarakan regulasi yang dapat mendukung masyarakat Bangka Belitung? Salah satu harapan masyarakat adalah perbaikan kondisi ekonomi. Banyak warga yang memiliki kebun, tetapi harga jual yang diterima tidak sesuai. Kami ingin agar ke depan, ekonomi Bangka Belitung dapat ditingkatkan dan dipulihkan, ini adalah tuntutan dari masyarakat.
Rina Tarol, anggota DPRD dari Fraksi Golkar, menanggapi aspirasi yang disampaikan. Rina menyampaikan bahwa karena baru dilantik beberapa hari, jadi belum memiliki kewenangan. RTRW tidak di desak, karena belum membentuk komisi. Hutan di Bangka Belitung sudah dikuasai oleh perusahaan. Seharusnya masyarakat, terutama mahasiswa, melakukan class action untuk menuntut pemerintah, gubernur, dan bupati yang mengeluarkan izin untuk kapitalisme.
“Masalah pertambangan bukan karena kami tidak bergerak, tetapi kami terbatas oleh aturan yang ada. Kami butuh dukungan dari masyarakat, karena hanya kekuatan masyarakat yang bisa mengubah situasi ini. Dewan tidak bisa disalahkan sepenuhnya, mereka hanya dapat membantu dan mengadvokasi. Kami harus bersama-sama mengajukan gugatan terhadap pemerintah yang menerapkan kebijakan yang merugikan masyarakat. Saya mengerti kekhawatiran tentang Tanjung Labu dan Tanjung Sangkar yang terancam tenggelam. Namun, protes dari masyarakat hampir tidak ada, hanya saya yang bersuara. Jadi, jangan anggap kami tidak peduli,kami peduli.” Jelas Rina
Sementara itu, Imelda, anggota DPRD yang juga terlibat dalam panitia khusus Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) menjelaskan bahwa proses ini sangat panjang, dimulai sejak 2014 dan baru disahkan pada 2024. Kenapa harus disahkan? Jika DPRD tidak mengesahkan, kewenangan akan diambil alih pusat, yang tentunya tidak memahami kondisi daerah.
Sebagai mahasiswa yang turun ke jalan dalam membantu para buruh petani memperjuangkan hak-hak mereka disertai dengan langkah konkret yang diambil oleh mahasiswa dalam mendukung masyarakat, Ricky menjelaskan bahwasannya dalam satu dekade rezim Jokowi mulai dari 2014 hingga 2024, kita rasa tidak ada kebijakan rakyat yang berhasil di loloskan oleh rezim ini. Sebaliknya, kebijakan yang ada lebih banyak mengeksploitasi buruh, merampas tanah petani, dan implikasinya terhadap kaum muda. Kebijakan rezim Jokowi juga melahirkan berbagai skema komersialisasi dan liberalisasi pendidikan. Kita rasa ketika bergantung pada pemerintah atau oligarki hanya akan membuat kita terjebak dalam situasi hari ini. Oleh karena itu, penting untuk terus membangun gerakan pemuda dan mahasiswa yang progresif. Selain itu, mendiskusikan rencana tindakan yang lebih strategis untuk merebut kekuasaan dari rezim oligarki yang semakin otoriter dalam kebijakan dan pendekatannya terhadap rakyat.
“Langkah konkrit tentunya sudah dilakukan oleh beberapa unsur di dalam koalisi masyarakat sipil Bangka Belitung. Kalau Sekolah Mahasiswa Progresif (Sempro), kita setahun terakhir terlibat dalam advokasi masyarakat Membalong, dan kasus itu merupakan kasus yang berkaitan dengan konflik agraria, perampasan tanah secara sistematis mulai dari tahun 1994-1998 terhadap petani dan masyarakat adat Membalong, dan itu memberikan dampak terhadap 7 desa di Membalong. Organisasi lain juga berperan dalam advokasi dan ikut terlibat dalam membangun gerakan rakyat. Contohnya seperti di Batu Beriga, di Bangka Barat yang berhubungan dengan PT BRS, kemudian di Teluk Kelabat Dalam dan tempat lain. Harapan untuk gerakan sosial ini, semoga terus bertumbuh dan mampu merangkul banyak massa, khususnya pemuda dan mahasiswa, serta mengedukasi mereka melalui program-program pendidikan. Berjuang bersama rakyat tidak hanya berarti kita mengajak aksi, tetapi juga membangun agenda, pendidikan, dan rencana jangka panjang yang strategis untuk mengatasi akar masalah penindasan saat ini.” tambahnya
Aksi ini tidak hanya sekedar turun ke jalan, tetapi juga mengajak kaum muda untuk berperan aktif dalam perjuangan reforma agraria yang adil. Dengan semangat solidaritas, mereka berharap suara rakyat dapat didengar dan diperjuangkan di ranah politik, untuk mewujudkan kesejahteraan yang merata.
Reporter: Salwa Nabila
Penulis: Anggie Tri Syafitri & Salwa Nabila
Editor: Debri Liani