Berlangsungnya sidang Mahkamah Rakyat Luar Biasa dalam menindaklanjuti pertanggungjawaban dan keadilan yang dirampas. Foto oleh : Ghias/Alternatif
LPM Alternatif – Selasa (25/9) Mahkamah Rakyat Luar Biasa digelar di ruang sidang Mahkamah Rakyat sebagai wadah untuk membahas beragam isu yang dihadapi oleh masyarakat. Berbagai aspirasi dan suara masyarakat dari berbagai kalangan akan dibahas secara terbuka. Acara ini dibuka dengan sebuah talkshow menarik yang menghadirkan sejumlah narasumber untuk membagikan pandangan mereka mengenai Mahkamah Rakyat hari ini.
Mahkamah Rakyat Luar Biasa memanggil rezim Jokowi sebagai tergugat untuk bertanggung jawab atas kebijakan-kebijakan yang diduga melanggar hak-hak konstitusi rakyat. Ada sembilan dosa rezim Jokowi atau disebut Nawa Dosa yang telah membuat rakyat sulit mengakses kebutuhan dasar yang seharusnya dijamin oleh negara. Adapun sembilan Nawa Dosa tersebut adalah:
- Perampasan ruang dan penyingkiran masyarakat
- Komersialisasi, penyeragaman, dan penundukan sistem pendidikan
- Sistem kerja yang memiskinkan dan menindas pekerja
- Kekerasan, Persekusi, Kriminalisasi, dan Diskriminasi
- Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) serta perlindungan koruptor.
- Pembajakan legislasi
- Kejahatan kemanusiaan dan pelanggengan impunitas
- Eksploitasi sumber daya alam dan program solusi palsu untuk krisis iklim
- Militerisme dan militerisasi
Dalam talkshow tersebut, dihadiri oleh Asep Komaruddin (Panitia Mahkamah Rakyat), Bivitri Susanti (Penggugat Mahkamah Rakyat), Alif Lathif ( Ketua BEM FH Universitas Indonesia) serta berbagai pihak termasuk perwakilan masyarakat yang terdampak. Mahkamah ini menghadirkan majelis hakim yang terdiri dari perangkat sidang, saksi dan ahli yang akan mengikuti persidangan hari ini.
Asep Komaruddin, sebagai panitia Mahkamah Rakyat, menjelaskan bahwa Mahkamah Rakyat Luar Biasa merupakan persidangan yang diadakan oleh rakyat untuk menyidangkan pelanggaran konstitusional yang terjadi selama rezim dua periode ini. Mahkamah Rakyat sebagai wadah bagi rakyat untuk meminta dan menuntut pertanggungjawaban atas kebijakan-kebijakan rezim yang telah menyengsarakan mereka. Selain itu, momen ini juga merupakan kesempatan untuk konsolidasi rakyat, merefleksikan pengalaman selama dua periode ini, dan merencanakan langkah ke depan.
“Hari ini, 25 Juni 2024, kita akan menggelar peristiwa untuk mencari keadilan yang selama ini hilang dari kehidupan kita. Hari ini bukanlah hari penghakiman, tetapi hari di mana akal nurani, hukum, dan keadilan bertemu. Telah terjadi begitu banyak aniaya dan ketidakberpihakan terhadap yang lemah dan terus dipertontonkan. Jika perencanaan penindasan rakyat ini terus berlanjut, kepada siapa lagi rakyat Indonesia akan mengadu? Hari ini, rakyat telah memutuskan untuk menggugat kepada pengadilan yang lebih berpihak pada keadilan dan membela mereka yang lemah. Demokrasi mengamanatkan bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, maka hari ini kita kembalikan kekuasaan itu kepada yang semestinya. Selamat datang di Mahkamah Rakyat Luar Biasa. Hidup rakyat!” Ujar Peserta Sidang Mahkamah Rakyat Luar Biasa
Pukul 10.15 WIB penggugat memasuki ruang persidangan. Asvinawati, sebagai majelis hakim, mengucapkan terima kasih kepada para penggugat yang dengan penuh keteguhan telah mengerahkan segala daya dan upaya hingga hadir di Mahkamah Rakyat Luar Biasa ini. “Kami memahami bahwa tidaklah mudah untuk membungkus luka, kemarahan, dan penderitaan dalam bentuk gugatan hukum.” ujarnya
Persidangan Mahkamah Rakyat Luar Biasa dengan agenda mengadili pelanggaran konstitusional oleh rezim Jokowi resmi dibuka untuk umum pada pukul 10.21 WIB. Sebelum memulai persidangan, acara dilanjutkan dengan penyampaian legal standing dari setiap penggugat dan penjelasan mengenai siapa saja yang hadir dalam persidangan.
Bambang – Penggugat Perampasan Ruang Hidup dan Penyingkiran Masyarakat
Bambang dari jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng, Kabupaten Pati, Jawa Tengah hadir untuk mewakili saudara-saudara para petani yang ruang hidupnya telah dirampas.
“Ketika Mahkamah Agung tidak dapat dipercaya sebagai institusi peradilan tertinggi, kami menyerahkan perkara ini kepada Mahkamah Rakyat Luar Biasa. Namun, jika nanti Mahkamah Rakyat tidak dapat mengadili perkara ini, maka kami akan menyerahkannya kepada Mahkamah Alam, dan alam yang akan mengadili. Bambang mewakili saudara-saudara yang saat ini sedang berjuang untuk mempertahankan tanah kelahiran mereka, tanah milik mereka yang telah dirampas oleh para penguasa di Negeri ini dengan dalih demi kesejahteraan masyarakat Indonesia, padahal kenyataannya hanya untuk kepentingan mereka sendiri. Bagi kami, tanah dan air adalah ibu bumi yang harus dibela seperti ibu yang melahirkan kami. Kedua, saya juga mewakili saudara-saudara yang terkena banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau, akibat dari proses penataan ruang yang tidak sesuai dengan daya tampung dan daya dukung lingkungan.” Jelas Bambang
Benydictus Siumlala – Penggugat Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
Benydictus Siumlala, salah satu dari 57 pegawai KPK yang dipecat melalui tes kebangsaan, mengajukan gugatan dengan empat poin utama. Menurutnya, berdasarkan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombusman, proses pemecatan tersebut dianggap maladministrasi dengan setidaknya tiga pelanggaran yang dilakukan oleh KPK dan lembaga terkait. Benydictus juga menjelaskan ketidakberpihakan negara dalam pemberantasan korupsi dan penegakan hukum, yang terlihat dari pemecatan pegawai dan perubahan UU KPK serta alih status pegawai KPK menjadi ASN. Selain itu, ia menegaskan bahwa negara tampaknya melindungi koruptor, yang terlihat dari pengurangan hukuman bagi para pelaku korupsi. Terakhir, Benydictus mencatat bahwa korupsi merupakan kejahatan multidimensi yang selalu terkait dengan berbagai kejahatan lain, seperti pengurangan kesejahteraan buruh, penyingkiran masyarakat adat, dan perampasan lahan.
Neneng – Penggugat Militerisme dan Militerisasi
Neneng, seorang warga dari Kampung Cibitung, Desa Sukamulya, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, akan mengungkapkan kasus yang telah dialami selama 18 tahun terakhir. Pada tahun 2007, terjadi klaim atas tanah rakyat mereka sebesar 1000 hektar. Tanah tersebut adalah hak milik warga dan bukan milik pemerintah. Namun, tanpa sepengetahuan mereka, klaim ini diakui oleh pihak yang berwenang. Pada tanggal 22 Januari 2007, mereka telah melakukan aksi di tempat tersebut dan mengalami intimidasi, penembakan, serta kekerasan fisik. Sebagai warga Indonesia, mereka merasa belum sepenuhnya dapat merasakan makna sebenarnya dari kemerdekaan hingga saat ini.
Khariq Anhar – Penggugat Komersialisasi, Penyeragaman, Penundukan Sistem Pendidikan
Sebagai perwakilan dari siswa dan mahasiswa, Khariq Anhar mengemukakan keprihatinannya terhadap kondisi pendidikan di Indonesia. Bulan Mei lalu, ia dilaporkan oleh rektornya sendiri karena mengkampanyekan penolakan terhadap kenaikan Uang Kuliah Tunggal dan Biaya Pendidikan di Perguruan Tinggi. Meskipun kasus ini viral, banyak mahasiswa, termasuk adik- adiknya, masih kesulitan membayar biaya pendidikan mereka.
Terdapat lima isu utama dalam dunia pendidikan Indonesia yang menjadi perhatian saat ini.
- Komersialisasi pendidikan
- Kesejahteraan guru dan dosen.
- Masalah kualitas sarana dan prasarana pendidikan
- Kebebasan akademik yang terancam akibat rezim yang anti-kritik.
- Korupsi yang merajalela dalam sektor pendidikan.
Khariq juga mengingatkan tentang pengorbanan yang telah dilakukan oleh rekan-rekannya dalam perjuangan mereka untuk membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) hingga kehilangan nyawa. Ia menekankan bahwa Pasal 31 UU 1945 menegaskan bahwa pendidikan adalah hak fundamental setiap warga negara yang harus dipenuhi negara.
“Dalam upaya kami menentang komersialisasi pendidikan, kami menggugat kebijakan Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024. Namun, betapa ironisnya, kebijakan ini dibatalkan tahun ini, dan akan dinaikkan lagi tahun depan. Apakah aspirasi kami sudah tidak lagi dihargai? Apakah kita masih bisa berharap untuk mendapatkan keadilan?” ujarnya
Khariq juga menyuarakan keprihatinannya terhadap alokasi anggaran pendidikan yang minim, sementara kebijakan tersebut merugikan banyak keluarga. Dia menekankan perlunya perbaikan kualitas pendidikan, yang saat ini dianggap lebih sebagai alat untuk kepentingan pejabat daripada untuk kepentingan rakyat.
“Pendidikan haruslah benar-benar pendidikan. Bukanlah hanya alat untuk memenuhi kantong-kantong pejabat,” tegas Khariq.
“Sampai kapan siswa dan mahasiswa harus mengais-ngais meminjam online? Sampai kapan protes kami akan dianggap sebagai ancaman dan dilaporkan ke polisi? Kami berharap bahwa Mahkamah Rakyat hari ini dapat mengadili Presiden Jokowi, agar perubahan nyata dapat terjadi di negeri ini.” tambahnya
Muhammad Ruhullah Thohiroh – Penggugat Kejahatan Kemanusiaan dan Pelanggengan Impunitas
Muhammad Ruhullah Thohiroh, sebagai salah satu penggugat dalam kasus kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran impunitas yang dilakukan oleh pihak tergugat, menyuarakan keprihatinannya atas nasib keluarganya yang menjadi korban. Ibu Muhammad, Aminatun Najariah, merupakan korban dalam peristiwa Tanjung Periuk pada tahun 1984. Menurutnya, meskipun telah ada proses pengadilan terkait peristiwa tersebut, namun keadilan sejati tidak pernah terwujud karena semua pelaku yang diadili akhirnya dibebaskan. Keluarga korban, termasuk dirinya, tidak mendapatkan hak yang seharusnya mereka dapatkan.
“Kejahatan kemanusiaan dan impunitas tidak hanya terjadi pada peristiwa Tanjung Periuk. Ada banyak kejadian yang termasuk dalam kategori pelanggaran serius terhadap HAM, seperti Peristiwa 1965, Peristiwa 1966, Penembakan Misterius, Peristiwa Talang Sari, Peristiwa Rumah Gedung dan Sadis di Aceh, Penghilangan Orang secara Paksa, Kerusahan Mei 1998, Peristiwa Tri Sakti, Semanggi I dan Semanggi II, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet, Peristiwa KKA di Aceh, Peristiwa Wasior di Papua, Peristiwa Wamena di Papua, Peristiwa Jambo Keupok di Aceh Selatan, dan banyak sekali kejahatan-kejahatan yang tidak bisa disebutkan.” ungkap Muhammad Ruhullah Thohiroh
“Para korban selama ini belum mendapatkan keadilan karena tergugat telah melaksanakan praktik impunitas. Bahkan, tergugat juga terbukti mengangkat pejabat-pejabat yang terlibat dalam pelanggaran HAM berat. Kami merasa dikhianati karena tergugat sebelumnya berjanji untuk menuntaskan kasus-kasus ini, namun kenyataannya tidak terwujud.” tambahnya.
Muhammad Ruhullah Thohiroh dan pihak-pihak terdampak lainnya merasa bahwa suara mereka dimanfaatkan untuk kepentingan politik tergugat. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk mengajukan gugatan terhadap pihak tergugat untuk menuntut keadilan yang selama ini mereka perjuangkan.
Khanza Vina – Penggugat Kekerasan, Diskriminasi, Persekusi, Kriminalisasi dan Diskriminasi
Khanza Vina, seorang transgender perempuan, hari ini menghadiri persidangan Mahkamah Rakyat Luar Biasa untuk mewakili ribuan teman transpuannya serta anggota komunitas LGBT lainnya. Mereka menghadapi risiko kehilangan kehormatan, martabat, dan hak asasi manusia yang diakibatkan oleh kebijakan pemerintahan Jokowi yang dipandang sebagai bentuk kekerasan, diskriminasi, persekusi, dan kriminalisasi. Khanza menyatakan bahwa kehadirannya di sini didasari oleh keberanian dan solidaritas bersama penggugat lainnya, karena sebagai warga negara, itu yang mereka miliki. Dia menegaskan bahwa hak pendidikan dan hak pekerjaan bagi komunitasnya telah terampas, bahkan hak-hak dasar sebagai warga negara tidak lagi dapat diakses. Khanza mengharapkan bahwa persidangan hari ini dapat mengadili para tergugat dan memastikan pemerintah memenuhi tanggung jawabnya dalam perlindungan hak asasi manusia. Dia juga menggambarkan bahwa tidak hanya kelompok LGBT, tetapi juga berbagai kelompok lain seperti Keluarga Korrban Pelanggaran HAM Masa Lalu, Petani, Nelayan, Buruh, Mahasiswa, dan Masyarakat Miskin Kota turut merasakan harkat dan martabat mereka diperkosa oleh rezim Jokowi.
Sunarmo – Penggugat Sistem Kerja yang Memiskinkan dan Menindas Pekerja
Sunarmo, yang mewakili teman-teman buruh yang terdampak, menggarisbawahi beberapa poin utama dalam gugatannya. Pertama, selama hampir sepuluh tahun kepemimpinan Presiden Jokowi, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan dinilai merugikan kaum buruh. Sunarmo menjelaskan bahwa kebijakan pada tahun 2015 terkait Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 terkait dengan upah yang murah untuk kaum buruh di Indonesia. Bukan untuk diperbaiki, tetapi justru upahnya semakin rendah.
Kedua, pada tahun 2020, Presiden Jokowi bersama kabinetnya mengesahkan Undang-Undang Omnibuslaw Cipta Kerja, khususnya dalam klaster ketenagakerjaan, yang dianggap merugikan kaum buruh. Meskipun disebut sebagai langkah untuk meningkatkan investasi dan menciptakan lapangan kerja, UU tersebut malah menyebabkan banyak buruh di-PHK, memperburuk kondisi upah, dan menghilangkan jaminan kepastian kerja dengan menerapkan sistem kontrak, harian lepas, borongan, bahkan magang yang lebih menguntungkan pihak perusahaan.
Sunarmo juga mengingatkan kebijakan baru-baru ini, di mana Presiden mengeluarkan PP Nomor 21 Tahun 2024 terkait Tapera, yang dinilai sebagai tambahan penderitaan bagi rakyat karena memotong gaji buruh dengan alasan iuran yang dipotong paksa, padahal untuk rumah rakyat yang seharusnya bermanfaat. Hal ini dianggap sebagai bentuk merampok gaji buruh untuk kepentingan yang belum jelas hasilnya.
“Dalam sidang hari ini, kami kaum buruh memohon kepada majelis hakim untuk mengadili rezim Jokowi dan memberikan sanksi seberat-beratnya. Kami berharap agar tindakan zalim ini tidak terulang di masa depan dan pemimpin yang adil dan berpihak kepada rakyat,” ujar Sunarmo dengan penuh keyakinan.
Bivitri Susanti – Penggugat Mahkamah Rakyat
Bivitri Susanti, sebagai perwakilan pendidik, dosen dan guru, mengajukan gugatan terhadap praktik pembajakan legislasi yang dilakukan oleh pihak tergugat. Dalam persidangan Mahkamah Rakyat hari ini, Bivitri mengungkapkan keprihatinan atas kondisi demokrasi yang terus tergerus oleh kebijakan-kebijakan yang diinisiasi pemerintahan Jokowi.
“Pembajakan legislasi yang terjadi saat ini seakan membentuk jaringan di sekitar rezim Jokowi, dimana tujuannya jelas untuk menghancurkan lembaga-lembaga yang menjadi penyangga demokrasi kita,” ujar Bivitri.
Selain itu, Bivitri juga mengkritik bahwa DPR, sebagai lembaga yang seharusnya mengontrol kekuasaan, telah kehilangan fungsinya karena dibatasi secara legal. Menurut Bivitri, Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung pun tidak lagi berfungsi sebagai lembaga yang efektif untuk mengontrol kekuasaan eksekutif. “Mereka justru digunakan sebagai alat untuk melegitimasi pembajakan legislasi secara lebih bebas dan lancar,” ungkapnya.
Di antara kebijakan yang dibahas adalah pengesahan KUHP pada tahun 2023 dan revisi Undang-undang ITE yang dinilai tidak memberikan perubahan signifikan. “Penetapan peraturan presiden terkait sentralisasi pengelolaan sumber daya alam, yang sering disebut sebagai food estate, juga menjadi contoh nyata bagaimana kepentingan kelompok tertentu diutamakan,” paparnya.
Bivitri menambahkan bahwa UU Minerba yang disusun dalam waktu singkat hanya untuk kepentingan oligarki serta UU Pemilu yang tidak mengalami perubahan substansial menunjukkan betapa lemahnya mekanisme legislatif dalam menjamin kepentingan publik.
“Saya tidak hanya berdiri di sini sebagai perwakilan dosen, tetapi juga sebagai bagian dari banyak individu dengan kompas moral yang masih lurus dan melihat ketidakadilan ini,” pungkasnya.
Dengan gugatan ini, Bivitri berharap Mahkamah Rakyat dapat memberikan keadilan dan menegakkan hukum untuk mengakhiri praktik pembajakan legislasi yang merugikan masyarakat.
Keresahan dan Ketidakadilan yang didapatkan oleh Masyarakat Indonesia selama 2 Periode Rezim Jokowi. Foto oleh : Ghias/Alternatif
Kelanjutan Sidang
Pukul 13.29 WIB penundaan sidang dicabut dan persidangan dibuka untuk umum. Sidang dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan saksi. Seorang ahli dari pihak penggugat hanya dapat memberikan kesaksian antara 13.30 – 14.00 WIB karena keterbatasan waktu.
UU dan proyek dikeluarkan secara ugal-ugalan. Eksploitasi terus dijalankan dengan dalih untuk pembangunan. Praktik pertambangan yang merugikan lingkungan hidup dan rakyat. Peningkatan jumlah produksi batubara dan mineral yang fantasis berkaitan dengan perizinan distribusi dari bahan tersebut. Lubang tambang eksisting di seluruh Indonesia 3.092. Telah banyak kerugian yang berdampak pada masyarakat, anak-anak, dan lingkungan.
Polisi menjadi alat pemerintah bukan lagi alat negara. Tentara menjadi multifungsi bukan lagi menjaga pertahanan. Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga berpihakan keluarga. Melakukan pelanggaran HAM dan kemanusiaan. Pembangunan pemerintah datang menyebabkan kemiskinan masyarakat. Akibat dari pencemaran dan sebagainya. Orang-orang yang terlibat mendapatkan jabatan strategis di pemerintahan. Pembatasan hak atas pendidikan, perumahan, kesehatan, rasa aman, bebas perbudakan, hak partisipasi pemerintahan dll. Beberapa bentuknya telah dinormalisasi dan telah terjadi diberbagai tempat. Korban yang berhak mendapatkan pemulihan menjadi sulit mendapatkan pemulihan. Abuse of power. Memundurkan kemajuan demokrasi, Pelanggaran HAM melintas generasi, DPR tidak berfungsi, malah menjadi aktor dalam perbuatan presiden Jokowi. Partai politik mengatur UU menjadi penentuan demokrasi, namun tidak menjalankan demokrasi dalam dirinya. MK kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Persidangan menunjukkan sumpah presiden telah dilanggar, melakukan pelanggaran konstitusi yang melanggar sumpah jabatannya.
Asfinawati selaku Hakim Mahkamah Rakyat Luar Biasa menyampaikan amar putusan. Hakim membagikan amar putusan ini ke dalam dua hal yaitu satu terkait kelompok isu yang dalam paparan penggugat berjumlah 9 dan yang kedua tidak berdasarkan pengelompokan isu melainkan secara holistik. Berdasarkan pengelompokan isu:
1. Menyatakan tergugat telah melakukan pelanggaran hak hidup dan indikasi kuat adanya kejahatan kemanusiaan. Dengan cara memanipulasi kebijakan untuk mengusir secara paksa masyarakat juga petani.
2. Tergugat terbukti melembagakan dan menormalisasikan kekerasan. Kekerasan berazas rasisme, persekusi, kriminalisasi, dan diskriminasi yang menyebabkan penyempitan ruang sipil.
3. Tergugat terbukti melanggar ham dan merusak demokerasi dengan cara memberi ruang bagi pelanggar HAM, HAM berat dan melanggengkan impunitas.
4. Tergugat terbukti telah gagal melaksanakan tugas konstitusi yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan tidak melaksanakan tugas pemenuhan hak atas pendidikan warga negara, terlibat secara aktif melakukan komersialisasi pendidikan dan pendudukan atas kebebasan akademik.
5. Menyatakan tergugat telah melanggar seluruh tabu reformasi dengan menghidupkan kembali korupsi, kolusi dan nepotisme yang bahkan jauh lebih vulgar daripada masa orde baru. Dengan demikian tergugat telah melakukan incredible of venus sebagaimana telah tertuang pada pasal 7 UU Negara RI.
6. Tergugat telah terbukti secara sistematis melakukan kegiatan eksploitasi sumber daya alam demi kepentingan segelintir orang dengan mengorbankan hak masyarakat atas lingkungan hidup yang bersih dan baik.
7. Tergugat telah melakukan secara sistematis memiskinkan hidup buruh dengan cara menghadirkan kebijakan yang mendukung praktik politik upah murah yang mengorbankan buruh.
8. Tergugat telah melakukan kejahatan demokrasi dan konstitusi melalui pembangkangan regulasi yang mengabaikan prinsip kedaulatan rakyat dan negara hukum yang ditujukan untuk kepentingan kelompok dan kekuasaan.
9. Tergugat telah melakukan kejahatan demokrasi dengan cara menghidupkan kembali dwi fungsi abri atau saat ini dikenal sebagai multifungsi tni, melanggengkan impunitas dan operasi militer ilegal.
Secara umum kami juga memberikan putusan sebagai berikut:
1. Tergugat terbukti menyebabkan adanya pelanggaran HAM lintas generasi.
2. Tergugat terbukti memundurkan demokrasi antara lain mengembalikan dwi fungsi tni polri, melemahkan lembaga dan gerakan pemberantasan korupsi serta memberlakukan kembali asas Extrajudicial Killing pertanahan dari masa kolonial.
3. Tergugat gagal memenuhi sumpah dan kewajiban presiden Republik Indonesia yaitu dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya memegang teguh UU NRI Tahun 1945 dan menjalankan segala UU dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti pada nusa dan bangsa.
4. Tergugat terbukti melakukan setidak-tidaknya penghianatan terhadap cita-cita kemerdekaan dan pendirian negara yang ada dalam pembukaan UU 45, korupsi dalam arti luas dan/terbukti melakukan perbuatan tercela.
Putusan Sidang
Anita Wahid, selaku hakim Mahkamah Rakyat, telah mengumumkan keputusan penting atas nama kemanusiaan untuk memutuskan rantai penderitaan yang berlangsung sejak zaman penjajahan. Keputusan Mahkamah Rakyat Luar Biasa ini dipicu oleh tindakan pembangkangan konstitusi yang dilakukan secara sistematis oleh rezim Jokowi di tengah kondisi state capture. Akibatnya, terjadi pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional warga negara. Negara kehilangan kendali yang jelas, dan pertanggungjawaban menjadi kabur. Standar perlindungan lingkungan, sosial, dan integritas manusia terabaikan, yang mengakibatkan ketimpangan yang melebar dan memperdalam kerentanan.
Pengadilan Mahkamah Rakyat Luar Biasa ini diadakan karena secara empiris rezim Jokowi dituduh membiarkan bahkan sengaja mengorbankan lembaga-lembaga negara demi kepentingan kekuasaan, keuntungan jangka pendek, serta akumulasi kekayaan para oligarki atau state capture. Dampaknya, berbagai kebijakan yang dilaksanakan secara langsung atau tidak langsung telah melanggar hak-hak konstitusional rakyat sebagaimana yang dijamin dalam Konstitusi Republik Indonesia. Pengambilan kebijakan dilakukan tanpa partisipasi publik, dan protes tidak didengarkan bahkan direspon dengan represi dan kriminalisasi. Ruang bagi rakyat untuk memperoleh keadilan semakin sempit. Tidak hanya lembaga eksekutif dan legislatif yang terpengaruh, tetapi juga lembaga yudikatif.
Penegak hukum juga dinilai gagal menjaga nilai keadilan dalam masyarakat, bahkan dalam beberapa kasus menjadi alat tekanan bagi masyarakat. Hal ini membuat rakyat semakin merasa tidak berdaulat, dengan rezim Jokowi dinilai menggunakan hukum sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan, dengan mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi dan konstitusi.
Keputusan Mahkamah Rakyat Luar Biasa ini menegaskan bahwa Indonesia, sebagai negara hukum, seharusnya mematuhi nilai-nilai kerakyatan, demokrasi, hak asasi manusia, dan konstitusi sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Namun, selama 10 tahun pemerintahan Jokowi, nilai-nilai tersebut dianggap terabaikan dengan upaya mendorong negara menuju otoritarianisme. Gugatan ini didasarkan pada upaya untuk mengembalikan nilai-nilai hukum, hak asasi manusia, demokrasi, dan konstitusi yang dianggap telah dikorbankan oleh pemerintahan Jokowi melalui kebijakan-kebijakan kontroversial dan kelalaian terhadap kewajiban hukumnya.
Putusan dari Majelis Hakim diakhiri dengan permintaan maaf atas ketidaksesuaian keputusan dengan harapan masyarakat. Sidang berakhir pukul 18.24 WIB dengan harapan akan kesembuhan dari luka-luka yang dialami masyarakat akibat kebijakan pemerintah yang kontroversial.
Sidang Mahkamah Rakyat Luar Biasa menjadi wadah penting bagi masyarakat untuk menyuarakan keluhan mereka terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan. Dalam persidangan ini, sembilan gugatan yang dikenal sebagai “Nawa Dosa” terhadap rezim Jokowi menjadi sorotan utama. Berbagai perwakilan masyarakat, termasuk aktivis, buruh, mahasiswa, dan korban pelanggaran HAM, hadir untuk mengemukakan kasus mereka. Sidang ini diharapkan dapat menjadi langkah awal untuk menuntut keadilan yang telah lama diabaikan dan mengembalikan kekuasaan pada rakyat. Mahkamah Rakyat menegaskan komitmen untuk terus berjuang demi tegaknya keadilan di negeri ini, memastikan bahwa suara rakyat tidak lagi terpinggirkan dan hak-hak konstitusional mereka dihormati. Hidup rakyat!
Reporter: Alternatif
Penulis: Anggie Tri Syafitri dan Salwa Nabila
Editor: Debri Liani