Oleh : Dinda
Di tengah pandemi virus Corona atau Covid-19, tenaga medis mulai dari dokter hingga petugas kebersihan rumah sakit, menjadi pejuang di garda terdepan dalam menolong masyarakat. Namun, rasa takut selalu dapat mempengaruhi nurani tiap orang dimana pasien, keluarga, dan para tenaga medis mendapat perlakuan diskriminaif dari masyarakat berupa cap negatif, pengucilan dan pengusiran dari rumah kos. Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Harif Fadhilah, membenarkan adanya aduan dan keluh kesah dari paramedis tersebut. “Iya ada. Ya mereka kan sejak Rumah Sakit Persahabatan ditetapkan sebagai rumah sakit rujukan itu, bukan hanya perawat, ada juga dokter, mahasiswa juga yang di situ, diminta untuk tidak kos di situ lagi,” tutur Harif (25/3/2020). (Liputan6.com).
Salah satunya Minarsih (47), perawat ruang isolasi RSUD Gambiran, Kota Kediri, Jawa Timur. Ia menceritakan, tidak semua perawat mau ditempatkan di ruang isolasi karena risikonya tinggi. Banyak rekannya yang menolak tugas tersebut, tapi Minarsih justru menerima meski beresiko terpapar virus mematikan dari pasien yang dirawat. Hal serupa juga dialami rekannya, Tri Sudaryati (54) memberikan kesaksian sama. Perawat senior ini bahkan mengalami tekanan mental di luar tempat kerjanya sejak merawat pasien corona. Tak hanya oleh tetangga di rumah, beberapa rekan kerja di rumah sakit turut menjaga jarak dengan para tenaga medis yang bertugas di ruang isolasi. “Mereka mengucilkan saya karena dianggap bisa menularkan virus. Padahal tidak sesederhana itu,” katanya.
Dengan risiko itu, baik Minarsih maupun Tri Sudaryati harus tetap membangun optimise pasien di rumah sakit. Mereka bekerja secara bergilir selama 24 jam untuk memastikan pasien yang dirawat baik-baik saja. Mereka juga selalu siap menjadi tempat curhat saat kondisi pasien sedang drop atau sedih. Para perawat ini juga merangkap menjadi kurir untuk mengantarkan titipan dari keluarga pasien. Karena keterbatasan APD, pengantaran itu tak bisa dilakukan setiap saat dan hal ini diakui oleh Direktur RSUD Gambiran dr Fauzan Adhima mengenai ketersediaan APD yang memang terbatas. (kompas.com)
Tak hanya itu, perlakuan tidak mengenakkan seperti penolakan jenazah covid-19 pun terjadi, salah satunya dilakukan oleh sekelompok warga di daerah Sewakul, Ungaran, Kabupaten Semarang pada Kamis (9/4/2020). Banyak yang menyayangkan kejadian tersebut, salah satunya Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang merasa teriris hatinya tatkala mendengar kabar peristiwa penolakan pemakaman jenazah Covid-19. Ia mengaku terkejut dengan peristiwa tersebut, terlebih saat mengetahui bahwa jenazah yang ditolak pemakamannya itu adalah seorang perawat yang bertugas di RSUP Kariadi Semarang. Dengan sorot mata yang berkaca-kaca, Ganjar pun menyampaikan permintaan maaf dan tak ingin peristiwa penolakan pemakaman jenazah tersebut kembali terulang, dilansir dari laman Kompas.com.
Padahal, pengurusan jenazah pasien Covid-19 sudah dilakukan sesuai prosedur penanganan yang aman baik dari segi agama maupun medis. Mulai dari penyucian secara syar’i kemudian dibungkus kantong plastik yang tidak tembus air hingga dimasukkan peti. Seperti yang sudah ditegaskan para ahli kesehatan, ketika jenazah itu dikubur, secara otomatis virusnya akan mati karena inangnya juga mati sehingga tidak bisa keluar kemudian menjangkiti warga. Mengingat Majelis Ulama pun sudah berfatwa bahwa mengurus jenazah itu wajib hukumnya sementara menolak jenazah itu dosa.
Tak hanya Ganjar, sebagaimana dikutip dari Beritasatu.com, Romo dari Karina Konferensi Wali gereja Indonesia (KWI), Fredy Rante Tarik mengajak umat Katolik untuk tidak mengucilkan sesama yang saat ini menjadi orang dalam pemantauan (ODP) maupun pasien dalam pengawasan (PDP) akibat virus corona (Covid-19). Bahkan pada kesempatan yang sama, Direktur Caritas Indonesia ini juga mengatakan, selama pandemi Covid-19, Gereja Katolik mengambil sikap untuk mendukung kebijakan pemerintah Indonesia.
Kejadian seperti ini menunjukkan minimnya informasi akurat dan edukasi yang sampai ke masyarakat sehingga menimbulkan ketakutan yang berlebihan dan menyebabkan masyarakat melakukan pencegahan sesuai dengan apa yang mereka ketahui. Apalagi dahsyatnya pemberitaan tentang penularan corona secara langsung turut memojokkan para perawat bahkan tak jarang berkembannya isu yang tidak benar atau hoaks yang seringkali memecah belah masyarakat. Hal ini merupakan contoh bahwa Negara lalai dalam menangani pandemic.
Lain halnya dengan penanganan wabah dalam sistem Islam, dimana ketika terjadi wabah penyakit (tha’un) Rasulullah SAW menganjurkan agar melakukan isolasi (jika sekarang seperti lockdown) sehingga tidak menularkan kepada yang lain. Bahkan, Rasulullah SAW sampai membangun tembok di sekitar wilayah yang terjangkit wabah. Namun selama dilakukan isolasi, kebutuhan pokok akan dipenuhi oleh Negara, disiapkan tenaga medis, fasilitas kesehatan, dan obat-obatan terbaik untuk menangani mereka yang terdampak wabah, termasuk penjagaan terhadap kesehatan dan antisipasi penularan kepada tenaga medis.
Selain itu Negara akan melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat untuk menyampaikan informasi yang benar, dengan melibatkan berbagai media serta tokoh umat dalam menjelaskan hakikat wabah, karena bagaimanapun virus corona (covid-19) ini juga makhluk ciptaan Allah. Dengan terjadinya wabah ini harusnya menjadi renungan bahwa hal tersebut bisa jadi karena kufurnya umat manusia sehingga ini sebagai hukuman Allah dan sebagai peringatan bagi mereka agar kembali kepada-Nya. Dalam menyikapi hal ini, seorang mukmin wajib hukumnya untuk ridho terhadap segala ketentuan & ketetapan dari Allah serta menghadapinya dengan bersabar. Dan Allah memberikan balasan pahala yang besar bagi orang-orang yang bersabar, sebagaimana hadis berikut:
“Sesungguhnya (wabah) tha’un itu adalah siksa yang dikirim Allah kepada orang yang dikehendaki-Nya. Kemudian Allah menjadikannya rahmat bagi orang-orang yang beriman. Karena seorang hamba yang tinggal di negerinya yang tengah terjangkit tha’un, lalu ia bersabar dan mengharap ridho Allah, maka ia akan mendapatkan seperti pahala orang yang syahid.” (HR Bukhari)
Selain itu, harus diiringi dengan ikhtiar seperti menjaga kebugaran tubuh, mengikuti kebijakan pemerintah seperti mengisolasi diri, mengurangi interaksi dengan banyak orang demi memutus rantai penularan virus covid-19 ini. Dengan penanganan seperti ini, masyarakat akan menyikapi wabah dengan tepat dan saling mendukung dalam penanganan terhadap wabah.
MasyaaAllah, berkaca dari hal ini harusnya menjadi contoh bagi penguasa bahkan pemimpin. Sudah semestinya yang harus dilakukan oleh kaum muslim adalah kembali kepada aturan Allah dengan mengganti sistem bobrok seperti saat ini dan beralih kepada sistem Islam, yaitu khilafah Islamiyah.
(Red Dinda/LPM-UBB)