gambar : tanaman eudamame
Abstrak: Kegiatan pertambangan timah seringkali meninggalkan dampak negatif pada lingkungan, terutama pada kualitas tanah. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi potensi rehabilitasi lahan bekas tambang timah melalui budidaya edamame. Melalui perlakuan rehabilitasi yang tepat, lahan bekas tambang tersebut menunjukkan hasil yang menjanjikan. Tanaman edamame yang ditanam pada lahan bekas tambang memiliki jumlah polong dan bobot polong yang lebih tinggi dibandingkan dengan lahan Ultisol. Hal ini mengindikasikan bahwa lahan bekas tambang dapat direhabilitasi menjadi area pertanian produktif.
Pertambangan timah, khususnya dengan metode penambangan terbuka, telah menyebabkan degradasi lingkungan yang signifikan. Salah satu dampaknya adalah kerusakan tanah, ditandai dengan penurunan pH, kandungan bahan organik rendah, dan ketersediaan unsur hara yang terbatas. PT. Mitra Stania Prima sebagai salah satu perusahaan pertambangan timah di Indonesia berupaya melakukan rehabilitasi lahan bekas tambang dengan memanfaatkannya untuk budidaya tanaman edamame.
Edamame berasal dari bahasa Jepang, yang artinya tanaman yang memiliki buah yang tumbuh dibawah cabang. Tanaman edamame berbeda dengan tanaman kedelai biasa, karena tanaman edamame memiliki ukuran biji lebih besar, rasa lebih manis, dan tekstur lebih lembut. Tanaman edamame secara ekonomi memiliki peluang pasar yang cukup besar, baik dalam permintaan pasar domestik atau permintaan pasar luar negeri (Nur Prihatin et al., 2020).
Penelitian ini dilakukan pada lahan bekas tambang timah milik PT. Mitra Stania Prima. Lahan tersebut diolah dan diberikan perlakuan berupa penambahan bahan organik (top soil dan pupuk kompos), pengapuran, dan pemupukan dengan dosis 400 g urea, 400 g K2O, dan 400 g P2O5 per bedengan. Tanaman edamame ditanam dengan jarak tanam 40 cm. Variabel yang diamati meliputi pertumbuhan tanaman, jumlah dan bobot polong, serta panjang akar.
Penelitian menunjukkan bahwa lahan bekas tambang timah yang telah direhabilitasi memiliki potensi yang menjanjikan untuk budidaya edamame. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata jumlah polong edamame pada lahan pasca tambang mencapai 73 butir per tanaman, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan lahan Ultisol yang hanya menghasilkan rata-rata 33 butir per tanaman. Selain itu, bobot polong edamame pada lahan pasca tambang juga lebih tinggi, yaitu 228,33 gram per tanaman, dibandingkan dengan lahan Ultisol yang hanya 94,79 gram per tanaman (Efriady,2020).
Perbedaan hasil yang signifikan ini disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah populasi gulma yang lebih rendah pada lahan pasca tambang, sehingga tanaman edamame dapat tumbuh lebih optimal. Selain itu, proses rehabilitasi lahan pasca tambang yang melibatkan pengolahan tanah intensif telah memperbaiki struktur tanah dan aerasi, sehingga mendukung pertumbuhan akar tanaman yang lebih baik. Hal ini dibuktikan dengan panjang akar rata-rata edamame pada lahan pasca tambang yang mencapai 38,33 cm, lebih panjang dibandingkan dengan lahan Ultisol yang hanya 22,75 cm (Palupi et al. 2024).
Hasil membuktikan bahwa lahan bekas tambang timah dapat diubah menjadi lahan pertanian yang produktif melalui budidaya edamame. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa dengan pengelolaan yang tepat, lahan kritis dapat direhabilitasi dan dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi pangan. Selain itu, penelitian ini juga memberikan kontribusi pada pengembangan pertanian berkelanjutan dan pelestarian lingkungan.