Ilustrasi oleh : Esfaranza Ratu Suwendah

Kenaikan UKT adalah tantangan bagi mahasiswa. Mahasiswa bersatu demi hak pendidikan yang layak, bukan hanya untuk segelintir privilige

Penerimaan calon mahasiswa baru tahun 2024/2025 memunculkan polemik baru terhadap kebijakan UKT (Uang Kuliah Tunggal). Huru hara  kebijakan UKT masih terus berlanjut hingga sekarang. Adapun kenaikan UKT tertuang dalam Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024 yang dilanjutkan dengan Keputusan Mendikbud Nomor 54/2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Memendikbud Ristek), Nadiem Makarim, mengatakan kenaikan UKT hanya berlaku untuk mahasiswa baru bukan untuk seluruh mahasiswa. Saat ini, kenaikan UKT di perguruan tinggi menjadi topik yang hangat diperbincangkan, tidak hanya di kalangan mahasiswa, tetapi juga di masyarakat luas. Salah satu perguruan tinggi yang sedang menghadapi permasalahan serius terkait hal ini adalah Universitas Bangka Belitung (UBB). Baru-baru ini, terjadi kenaikan golongan UKT dari yang awalnya hanya sampai golongan 6 menjadi golongan 8. Situasi ekonomi yang tidak stabil saat ini memperburuk kondisi, sehingga banyak mahasiswa baru memilih untuk mengundurkan diri sebelum melakukan pendaftaran ulang.

Pada kegiatan talkshow pimpinan ormawa, delegasi KM FPPK menyampaikan berbagai keluh kesah, terutama mengenai UKT yang dianggap memberatkan dan fasilitas yang kurang memadai. Mahasiswa merasa dibungkam oleh konstitusi yang ada di UBB. “Izin para pimpinan, ketika berbicara mengenai persepsi di sini, harapan saya adalah agar kawan-kawan pimpinan tidak hanya berdiam diri. Saya ingin menambahkan bahwa kawan-kawan ormawa bisa membentuk satuan tugas (satgas) di masing-masing fakultas dan turun langsung ke jurusan untuk mengumpulkan data sebagai bahan audiensi. Karena jika turun tanpa landasan dan data, hal tersebut sama saja omong kosong. Di fakultas kami, ada beberapa mahasiswa baru yang terpaksa mengundurkan diri karena UKT yang tinggi dan ketidakmampuan keluarga mereka. Harapan saya, ini bisa menjadi momentum untuk mempersatukan KM UBB. Berbicara tentang masalah di luar UBB akan menjadi omong kosong jika di internal kita masih belum beres.” Ujar Kendra

Untuk memperjuangkan hak-hak tersebut, perwakilan ormawa mengadakan audiensi bersama rektor pada tanggal 5 Juni 2024 untuk menyampaikan berbagai aspirasi dan keluhan terkait dinamika yang sedang terjadi di kampus peradaban. Rektor Universitas Bangka Belitung dalam audiensi tersebut menjelaskan bahwa kebijakan peningkatan golongan UKT bertujuan untuk menyesuaikan dengan kondisi ekonomi mahasiswa. Mahasiswa yang keluarganya memiliki pendapatan lebih dari 40 juta rupiah per bulan tidak dianggap layak menerima UKT yang rendah. Pihak universitas memberikan penjelasan mengenai kebijakan UKT yang mereka terapkan. Mereka menegaskan bahwa UKT harus adil dan proporsional sesuai dengan kemampuan finansial keluarga mahasiswa. Mereka yang memiliki penghasilan lebih tinggi diharapkan membayar UKT yang lebih tinggi, sementara mahasiswa yang kurang mampu dapat mengajukan beasiswa. Oleh karena itu, penambahan golongan UKT dari golongan 6 menjadi golongan 8 ditujukan untuk mereka yang berpenghasilan tinggi. Namun, kebijakan ini ditunda untuk sementara waktu dan akan dievaluasi kembali di masa mendatang.

Tahun 2023, Kementerian Kajian Aksi dan Strategis (Kemenkastrat) BEM KM UBB menginisiasi survei persepsi mahasiswa terhadap biaya kuliah. Survei ini dilakukan sebagai respons terhadap upaya mahasiswa dalam memperjuangkan hak-hak mereka untuk biaya kuliah yang sesuai dan transparansi dalam sistem pendidikan. Tujuan survei ini adalah untuk memahami secara lebih mendalam masalah yang dihadapi mahasiswa terkait besaran biaya kuliah yang harus mereka keluarkan setiap semester. Dalam rangka mendapatkan gambaran yang komprehensif, survei ini dibuat untuk memenuhi berbagai aspek, mulai dari tingkat kesulitan finansial hingga mengatasi keberatan dalam membayar UKT. 

Berdasarkan data survei Kementerian Aksi dan Strategi (Kastrat) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Bangka Belitung tahun 2023 dengan 376 responden mahasiswa/i UBB menunjukkan bahwa biaya UKT sangat memengaruhi kesehatan mental mahasiswa serta dapat mengurangi motivasi belajar.  Hasil survei menjukkan bahwa beban biaya kuliah memiliki dampak yang signifikan terhadap kondisi fisik dan mental mahasiswa . Dari 254 jawaban yang terkumpul, banyak yang menunjukkan bahwa biaya kuliah yang tinggi menyebabkan tingkat stres yang tinggi pula. Sebagian besar responden mengungkapkan bahwa mereka merasa tertekan dan cemas karena harus menghadapi biaya kuliah yang tidak sebanding dengan kondisi ekonomi keluarga mereka. Stres yang diakibatkan oleh biaya kuliah tidak hanya mempengaruhi kesehatan mental, tetapi juga memengaruhi kesejahteraan fisik. Beberapa responden mengungkapkan bahwa mereka merasa terbebani secara finansial, sehingga harus mencari cara untuk mengurangi pengeluaran pribadi atau mencari tambahan pendapatan. Hal ini dapat berdampak negatif terhadap kesehatan fisik mereka karena mengalami kelelahan dan kurangnya perhatian terhadap pola makan yang sehat. Selain itu, ada juga yang merasa kehilangan semangat untuk melanjutkan studi karena beban biaya kuliah yang berat, terutama ketika mereka menyadari bahwa tanggung jawab ini tidak hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk membantu keluarga. Kondisi ini menambah tekanan psikologis yang dapat mempengaruhi fokus dan motivasi belajar mereka.

Beban Kuliah Tinggi (BKT)

Mahasiswa Universitas Bangka Belitung semakin sering mengeluhkan besaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang dianggap memberatkan. Proses pengajuan penurunan UKT dinilai berbelit-belit dan tidak transparan. Beberapa mahasiswa merasa kesulitan untuk mendapatkan penurunan UKT meskipun kondisi ekonomi keluarga mereka tidak mampu. Salah satu mahasiswa UBB menuturkan bahwa “Proses penurunan UKT sangat sulit dan memakan waktu lama. Banyak teman saya harus bekerja paruh waktu untuk membayar UKT, sehingga mengganggu waktu belajar mereka.”

Menanggapi berbagai keluhan tersebut, Rektor Universitas Bangka Belitung, Prof. Dr. Ibrahim, M.Si. menyatakan bahwa pihak universitas sedang berusaha melakukan perbaikan. “Masalah penaikan UKT itu bukan dinaikkan tapi hanya penambahan golongan saja yang sebenarnya lebih menguntungkan karena semakin banyak golongan maka semakin rendah UKT karena terbagi menjadi beberapa golongan, misalnya dari 3,5 juta menjadi 3,2 juta.”

Terkait permasalahan UKT, mahasiswa meminta agar pihak universitas melakukan transparansi data dan mempercepat proses pengajuan penurunan UKT. Mahasiswa berharap agar universitas segera menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada. “Kami hanya ingin sistem UKT yang lebih transparan dan adil,” ujar salah satu mahasiswa UBB.

Dalam survei persepsi mahasiswa terhadap biaya kuliah yang diselenggarakan oleh kemenkastrat BEM U periode 2023, sebanyak 42,6% responden menyatakan bahwa biaya kuliah yang harus dibayar per semester berkisar antara Rp 3 juta hingga Rp 4,5 juta. Namun, pandangan mereka tentang biaya kuliah yang ideal sangat bervariasi. Mayoritas responden menyebutkan bahwa biaya ideal adalah kurang dari Rp 500 ribu (14,45%), Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta (33,8%), Rp 1 juta hingga Rp 2,5 juta (36,4%), dan Rp 2,5 juta hingga Rp 3 juta (11,4%). Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata mahasiswa menginginkan biaya kuliah sebesar Rp 500 ribu- Rp 1 juta per semester. Menurut mereka, sistem biaya kuliah sebaiknya disesuaikan dengan kondisi ekonomi mahasiswa serta menggunakan penghitungan biaya yang partisipatif dan transparan.

Sumber : Survei Kajian Aksi dan Strategis BEM U 2023

Biaya kuliah per semester saat ini dianggap tidak sesuai dengan kondisi ekonomi sebagian besar mahasiswa. Akibatnya, banyak mahasiswa mengajukan permohonan keringanan biaya kuliah. Dalam survei kastrat, terdapat 14,8% dari permohonan penurunan UKT tidak diproses dan 27,8% masih dalam tahap peninjauan. Beberapa masalah yang muncul dalam proses pengajuan keringanan biaya kuliah meliputi persyaratan yang tidak masuk akal (seperti orang tua harus meninggal), dokumen yang diperlukan sangat birokratis dan memberatkan, mahasiswa baru tidak diperbolehkan mengajukan keringanan, serta adanya permohonan yang ditolak.

Sampingan  Kerja Semester (SKS)

Sumber : Survei Kajian Aksi dan Strategis BEM U 2023

Dalam survei tersebut, sekitar 12,5% ayah responden bekerja sebagai pegawai swasta dan 8,5% adalah pegawai negeri. Hal ini, menunjukkan sebesar 21% responden yang keadaan finansialnya terjamin. Selanjutnya, 7,2% ibu responden bekerja sebagai pegawai negeri dan 2,7% sebagai pegawai swasta. Penghasilan orang tua per bulan berkisar Rp 500 ribu-Rp 2 juta. Artinya, sebagian besar responden orang tua nya bekerja di sektor non formal. Dimana, penghasilan tidak dapat ditentukan sehingga merasa keberatan untuk biaya yang akan dikeluarkan di setiap semesternya karena penghasilan total kedua orang tua berkisar Rp 500 ribu- Rp 2 juta/bulan.

Seorang mahasiswa mengungkapkan kebingungannya mengenai penetapan UKT yang dirasa tidak konsisten dan terkadang tidak adil. Dia menceritakan pengalamannya mendapatkan UKT yang berbeda-beda di dua jurusan yang berbeda meskipun kondisi ekonomi keluarganya tidak berubah signifikan. Hal ini menunjukkan adanya kemungkinan kesalahan manusia dalam proses penetapan UKT. Selain itu, mahasiswa lain juga mengungkapkan kesulitan finansial yang dihadapi keluarganya untuk membiayai kuliah, terutama bagi mereka yang memiliki pendapatan rendah. Mereka merasa bahwa meskipun ada bantuan Kartu Indonesia Pintar (KIP), bantuan tersebut tidak selalu mencukupi untuk menutupi semua kebutuhan kuliah selama satu semester. Akibatnya, banyak mahasiswa yang harus bekerja paruh waktu untuk memenuhi kebutuhan mereka, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi kinerja akademis mereka.

Rute Pembayaran Semester (RPS)  

Ilustrasi oleh : Esfaranza Ratu Suwendah

Tingginya biaya pendidikan memaksa banyak mahasiswa untuk mencari sumber penghasilan tambahan demi membiayai kuliah dan kehidupan mereka. Sebanyak 37,5% atau 15 mahasiswa memilih untuk bekerja sebagai freelance. Sebanyak 20% atau 8 mahasiswa memilih untuk berjualan.  7,5% atau 3 mahasiswa bekerja paruh waktu.  Upaya yang dilakukan oleh mahasiswa ketika menghadapi kesulitan membayar biaya kuliah. 48% mahasiswa memilih untuk mengangsur pembayaran.  Selain itu, 44,9% responden mengajukan penundaan pembayaran sebagai cara lain untuk meringankan beban biaya kuliah.

Apa pekerjaan anda sebagai mahasiswa? 

Sumber : Survei Kajian Aksi dan Strategis BEM U 2023

Sebanyak 42,9% mahasiswa mencari beasiswa sebagai salah satu langkah untuk mendapatkan bantuan finansial. Menyisihkan dana dari penghasilan mereka sendiri juga menjadi opsi yang diambil oleh 35,7% responden. Bekerja sambil kuliah tetap menjadi pilihan penting, dengan 31,6% responden melaporkan bahwa mereka bekerja untuk membayar biaya kuliah. Menjual atau menggadaikan barang menjadi pilihan bagi 23,5% mahasiswa. Pilihan lainnya termasuk mengajukan pinjaman pendidikan (3,1%), mencari pinjaman dari koperasi atau bank (1%), meminjam uang dari keluarga atau teman (1%), dan bekerja serabutan (1%). Survei yang dilakukan oleh kemenkastrat hanya mencakup sebagian kecil mahasiswa, dan kemungkinan masih banyak mahasiswa lain yang mengalami situasi yang serupa.

Kondisi Rata-rata Semester (KRS)

Ilustrasi oleh : Esfaranza Ratu Suwendah

Polemik pembayaran UKT ini saat ini sangat berdampak pada mahasiswa. Banyak mahasiswa/i yang merasa tertekan dengan biaya UKT yang semakin mahal dan memberikan dampak yang signifikan terhadap  mahasiswa sehingga menyebabkan mahasiswa menjadi stress secara finansial. Hal ini dikarenakan adanya rasa khawatir dan cemas dari para mahasiswa terkait beratnya pembayaran UKT yang ada.  Untuk mengatasi perasaan stress ini, kebanyakan dari mahasiswa memilih untuk bekerja sambilan, meminjam uang, menggadai barang, bahkan menjual barang-barang yang ada.

“Karena biaya kuliah yang tidak sebanding dengan kondisi ekonomi keluarga saya, saya terpaksa mengurangi makan dari dua kali menjadi sekali sehari. Hal ini sangat memengaruhi kesehatan mental saya. Selain biaya UKT, saya juga harus memikirkan biaya keluarga, termasuk hutang atau kredit, karena saudara laki-laki saya memiliki kebutuhan khusus yang memerlukan perhatian lebih. Beban yang saya tanggung menjadi semakin berat.” Ujar salah satu responden

“Karena orang tua saya kurang mampu, mereka harus sangat memperhatikan penghasilan dan pengeluaran bulanan, yang sangat mengganggu kesehatan mental saya karena kekhawatiran tentang masa depan. Awalnya, saya menerima beasiswa provinsi selama dua semester, yang sangat membantu meringankan beban orang tua. Namun, karena beberapa alasan, saya dipindahkan ke Bansos, yang hanya akan diberikan untuk dua semester berikutnya, yaitu semester 4 dan 5. Setelah itu, Bansos pengalihan akan dihapus dan kami harus mengikuti seleksi untuk Bansos reguler. Pertanyaan saya, bagaimana jika saya tidak terpilih sebagai penerima Bansos reguler? Hal ini sangat mengganggu mental dan pikiran saya, karena orang tua saya hanya mampu menyediakan uang untuk makan yang sudah diatur ketat agar cukup dalam sebulan, meskipun kadang masih kurang. Ditambah lagi, uang kos juga harus dibayar setiap bulan. Saya cukup kecewa dengan seleksi KIP tahun lalu, karena saya merasa pantas mendapatkannya dengan ayah saya yang hanya seorang buruh tani.” Jelas responden lainnya.

Kelanjutan History Semester (KHS)  

Ilustrasi oleh : Esfaranza Ratu Suwendah

Seperti sebuah bom waktu yang siap meledak, krisis Uang Kuliah Tunggal (UKT) telah menjadi momok yang menakutkan bagi ribuan mahasiswa di Universitas Bangka Belitung (UBB). Berdasarkan data kuesioner yang dihimpun oleh Kastrat (Kajian aksi dan strategi) BEM KM UBB 2023, tidak kurang dari hampir setengah mahasiswa di kampus ini mengaku telah mengajukan permohonan penurunan UKT. Angka yang sangat memprihatinkan, mengingat UKT seharusnya menjadi cerminan kinerja akademik yang sehat, bukan beban yang membelenggu masa depan mahasiswa.

Ironis memang, di saat seharusnya mereka fokus mengejar gelar dan cita-cita, para mahasiswa UBB ini justru harus berjuang melawan sistem yang membebani mereka. Dalam kuesioner tersebut, 25,1% responden melaporkan begitu rumitnya birokrasi yang harus mereka hadapi, mulai dari mengumpulkan berkas, mengurus administrasi, hingga mendapatkan jawaban yang seringkali tidak memuaskan. Situasi ini semakin memperburuk kondisi mental para mahasiswa yang terjebak dalam ketidakpastian. Data kuesioner menunjukkan bahwa 14,8% responden saat mengajukan keringanan tidak dikabulkan oleh pihak birokrasi. Mereka merasa hak-hak mereka sebagai mahasiswa terabaikan, seolah-olah sistem UKT hanya menjadi alat untuk membebani dan menyengsarakan generasi muda.

Akibatnya, gelombang protes pun tak terelakkan. Kementerian Kastrat BEM U tahun 2023 mencatat, setidaknya ada  2 aksi demonstrasi yang dilakukan di kampus, menuntut percepatan proses penurunan UKT dan perbaikan sistem yang lebih adil. Mahasiswa berharap agar permasalahan ini segera diatasi demi masa depan pendidikan yang lebih baik. Sayangnya, upaya perbaikan sistem UKT di UBB seolah berjalan di tempat. Berbagai kendala birokrasi, keterbatasan anggaran, dan kurangnya komunikasi yang efektif antara mahasiswa dan pihak akademik menjadi penghalang utama. Sementara itu, angka pengajuan penurunan UKT terus meningkat dari waktu ke waktu. Aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa UBB, meskipun masih terbatas, telah berhasil menarik perhatian publik. Banyak pihak yang menyatakan dukungan dan solidaritas mereka. Mereka berharap agar pemerintah dan pihak kampus segera merespon tuntutan mahasiswa dan mengambil langkah nyata untuk memperbaiki sistem UKT yang dianggap tidak adil dan memberatkan. Sementara itu, para mahasiswa UBB yang terjebak dalam krisis UKT ini terus berjuang, berharap agar suara mereka tidak sekadar menjadi angin lalu. Mereka yakin, dengan persatuan dan keteguhan, akhirnya sistem yang memberatkan ini dapat diubah demi masa depan pendidikan yang lebih baik di Indonesia, khususnya di Universitas Bangka Belitung.

Permasalahan UKT ini sebenarnya bukan hal baru di dunia pendidikan Indonesia. Sejak lama, sistem penilaian akademik berbasis indeks ini telah menuai kritik dari berbagai kalangan. Banyak yang menilai bahwa UKT tidak cukup komprehensif dalam mengukur kemampuan mahasiswa secara holistik. Selain itu, penerapannya yang kaku dan kurang fleksibel sering kali mengabaikan faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi kinerja akademik. Salah satu kritik yang sering disuarakan adalah mengenai masalah transparansi dan konsistensi dalam penilaian. Seringkali, mahasiswa merasa bahwa proses penilaian UKT tidak jelas dan terkadang subjektif. Mereka juga mengeluhkan adanya inkonsistensi antara satu dosen dengan dosen lain, bahkan dalam satu mata kuliah yang sama. Selain itu, masalah beban akademik yang berlebihan juga menjadi perhatian. Sistem UKT yang terlalu ketat seringkali memaksa mahasiswa untuk mengambil beban studi yang berat, bahkan dengan mengabaikan aspek kesehatan dan kesejahteraan mereka. Hal ini tentu saja dapat berdampak negatif pada kualitas pembelajaran dan pencapaian akademik yang optimal.

Menanggapi situasi ini, banyak pihak, terutama kalangan akademisi, telah menyuarakan perlunya reformasi sistem penilaian akademik di perguruan tinggi. Gagasan-gagasan seperti penggunaan penilaian berbasis kompetensi, evaluasi holistik, dan pengembangan sistem umpan balik yang lebih komprehensif mulai mendapat perhatian. Perubahan tentu saja tidak akan terjadi dalam sekejap. Dibutuhkan komitmen dan kerja sama yang kuat antara pihak mahasiswa, universitas, dan pemerintah untuk mewujudkan sistem pendidikan yang lebih adil dan berpihak pada kebutuhan mahasiswa. Namun, dengan semangat juang dan determinasi yang ditunjukkan oleh mahasiswa UBB, setitik harapan untuk masa depan yang lebih cerah mulai terlihat.

Ketidakadilan terhadap Mahasiswa (KTM)

Ilustrasi oleh : Esfaranza Ratu Suwendah

Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 menekankan dua hal utama yang menjadi pertimbangan dalam penentuan UKT, yakni asas berkeadilan dan asas inklusivitas.  Pernyataan Permendikbudristek diatas masih menjadi pertanyaan besar bagi kita semua. Apakah ke depannya pertimbangan tersebut masih menjadi indikator utama atau hanya sebagai rencana semata tanpa pembuktian nyata?

 Di era sekarang yang segala sesuatu berhubungan dengan pergerakan mahasiswa dalam misi menyampaikan aspirasi mereka. Dengan harapan besar rintihan suara-suara keluh kesah dan resah mereka didengar. Tapi malah mereka yang dibungkam dan dibiarkan tanpa kepastian. Hingga banyak mahasiswa dengan berat hati harus meninggalkan kesempatan mereka untuk mengeyam pendidikan di jenjang perkuliahan. Jika mereka membela keadilan pasti selalu ada intervensi dari pihak kampus maupun luar kampus. Menekan mereka dengan berbagai ancaman seperti DO, sanksi skorsing hingga mendoktrin pemikiran para mahasiswa untuk menerima dengan ikhlas besaran UKT yang mereka dapatkan.

Dengan meningkatnya resistensi terhadap kenaikan UKT, suara mahasiswa semakin membesar. Namun, apakah protes mahasiswa akan menjadi titik balik dalam kebijakan UKT?

Pertanyaan ini menggantung dibenak orang yang terbebani oleh lonjakan biaya pendidikan. Akankah kita akan menyaksikan perubahan substansial? Atau apakah kita akan terus terperangkap dalam siklus kenaikan yang tak berujung?

Semua menjadi tanda tanya besar yang selalu menantikan jawaban.

Reporter : Alternatif
Penulis : Alternatif
Editor : Alternatif

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *