Oleh Arie Hidayat (Mahasiswa Universitas Bangka Belitung)
Penambangan timah ilegal kian marak di kawasan Teluk Kelabat Dalam, masyarakat yang mencoba menghentikan aktivitas tersebut dihajar dan dipukul oleh pihak penambang sehingga mengakibatkan dua orang luka lebam. Mendengar hal tersebut, masyarakat yang berada di darat Desa Pangkal Niur melakukan pembakaran pada sebuah rumah yang disinyalir sebagai tempat hunian para penambang.
PT. Timah selaku Badan Usaha Milik Negara yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) berstatemen bahwa mereka tidak mengeluarkan Surat Perintah Kerja (SPK) di wilayah Teluk Kelabat. Berangkat dari konflik yang berlangsung menjadi tanda tanya besar, siapa yang bertanggung jawab atas kejadian tersebut? Kemudian, bagaimana peran pemerintah dan penegak hukum dalam menangani konflik tersebut?
Lebih dari seribu keluarga mengandalkan hasil laut dari wilayah kurang lebih seluas 13.000 hektar tersebut. Setiap tahun, jumlah tangkapan nelayan kian menurun akibat terjadinya pencemaran. Tak jarang, kapal nelayan sering kandas di beberapa titik dikarenakan adanya pendangkalan hasil buangan tailing ratusan ponton timah. Bahkan, ratusan pohon bakau rusak parah.
Jauh sebelum terbitnya Perda No. 3 Tahun 2020 Tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, wilayah tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak wilayah IUP PT. Timah yang akan berakhir pada 2025 mendatang. Perjuangan masyarakat sangat berat pada saat itu untuk menjaga kelestarian alam Teluk Kelabat. Mereka tidak bisa berbuat banyak karena terganjal IUP yang sedang berlaku.
Pada Perda tersebut, Teluk Kelabat ditetapkan dalam beberapa wilayah zonasi. Pasal 17 (a) yaitu zona pariwisata yang mencakup Pulau Dante, pasal 26 (b) Teluk Kelabat sebagai zona perikanan budidaya, serta pasal 29 (a) bahwa Teluk Kelabat sebagai zona perikanan tangkap. Artinya, Teluk Kelabat secara sah sudah zero tambang.
Pun demikian, masyarakat yang menggantungkan mata pencaharian sebagai nelayan tetap tak mendapat kabar baik. Beberapa kali melakukan aksi massa hingga audiensi tetap tidak mampu menghentikan aktivitas tambang tersebut. Padahal sudah jelas pada pasal 80 butir (j) terkait pelarangan aktivitas penambangan pasir yang secara teknis, ekologis, sosial, dan budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan merugikan masyarakat sekitar.
Desas desus akan adanya penertiban tambang timah oleh aparat penegak hukum tak membuat masyarakat bergembira, informasi akan hal itu selalu bocor ke pihak penambang. Sehingga pada saat operasi berlangsung, para penambang sudah siap siaga menyembunyikan ponton mereka dan menghentikan aktivitas penambangan beberapa waktu, setelah itu mereka akan kembali beraktivitas seperti biasanya. Seolah tak ada efek jera bagi para penambang atau mungkin mendapat kawalan khusus dari pihak aparat.
Kemudian UU No. 3 Tahun 2020 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara pada pasal 145 ayat 1 butir (a) dan (b) menerangkan bahwa masyarakat berhak menerima ganti rugi akibat kesalahan dalam pengusahaan kegiatan Pertambangan dan masyarakat berhak mengajukan gugatan ke pengadilan terhadap kerugian akibat pengusahaan Pertambangan yang menyalahi ketentuan. Bahkan, pada pasal 158 mempertegas bahwa setiap orang yang melakukan Penambangan tanpa izin dipidana paling lama 5 tahun dan denda paling banyak seratus miliar rupiah. Berkaca hingga persoalan hari ini terjadi, masihkah peraturan tersebut ditegakkan?
Hari ini masyarakat nelayan semakin resah mengingat gugatan yang mereka lontarkan tak kunjung menuai kepastian. Buntut akan hal ini, konflik horizontal antara masyarakat nelayan dan penambang akan terus terjadi apabila pemerintah daerah tetap abai. Pemerintah semestinya bertindak serius agar persoalan ini tidak berlarut-larut. Penertiban mesti dilakukan dengan prosedur yang baik dan benar, pemerintah berhak menyidak penambang yang beraktivitas pada bukan wilayahnya. Bukan tidak mungkin, rusaknya ekosistem laut dan matinya biota endemik khas Teluk Kelabat jika hal ini terus saja dibiarkan.
(Arie Hidayat /Red LPM UBB)