Kevin Aryatama, Lingkar Diskusi Gender
Sebagai peringatan, tulisan ini bermuatan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Jika Anda atau orang terdekat adalah korban kekerasan berbasis gender, segera akses carilayanan.com untuk mendapat bantuan.
“Udah nonton video bocor X, belum? Beuh, boleh juga.”
“Wah, alangkah baiknya share link.”
Ucapan-ucapan serupa yang menghakimi dan menseksualisasi ini pasti pernah kita jumpai di linimasa media sosial atau dari mulut bau orang-orang sekitar. Problematik dan tidak empatik, namun begitulah respons umum dari publik ketika ada konten intim bocor dan tersebar luas di jagad maya. Fenomena ini disebut sebagai NCII (Non-consensual Dissemination of Intimate Images).
Sebetulnya, apa itu NCII? Dan, kenapa bermasalah?
NCII Adalah Kekerasan
NCII (Non-consensual Dissemination of Intimate Images) adalah penyebaran konten intim berupa foto atau video yang dilakukan tanpa consent (persetujuan atau kesepakatan oleh semua pihak secara sadar dan tanpa paksaan). Biasanya, pelaku melakukan NCII untuk mengintimidasi, memeras keuntungan, dan memegang kuasa atas diri korban. Pelaku bisa berasal dari mana saja. Bahkan, tidak sedikit kasus NCII di mana pelakunya adalah orang terdekat korban seperti pasangan, teman, atau keluarga.
Setiap tindakan yang tidak dilandasi consent adalah kekerasan. Dan, setiap kekerasan yang melibatkan ketimpangan relasi gender merupakan kekerasan berbasis gender. Oleh karena NCII dilakukan tanpa consent dan kerap didasari seks dan identitas gender seseorang (dilihat dari korban kebanyakan perempuan), maka ia termasuk Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO).
Dalam memahami kekerasan, termasuk kekerasan berbasis gender, kita harus memiliki perspektif atau keberpihakan terhadap korban. Oleh sebab itu, istilah NCII digunakan untuk menggantikan istilah yang sudah ada sebelumnya, yakni revenge porn. Istilah revenge porn ini menyesatkan sebab menyiratkan perspektif yang menyalahkan korban. Seolah kekerasan terjadi akibat diri korban sendiri, sehingga pelaku melancarkan balas dendam terhadap korban. Padahal, kekerasan berbasis gender tidak bisa dibenarkan atas dasar alasan apapun.
Modus-Modus NCII
Ada beragam modus NCII yang harus kita ketahui agar waspada dan saling jaga.
Pertama, pembuatan dan pengambilan konten yang dilakukan tanpa consent. Pembuatan konten bisa dilakukan dengan paksaan dan ancaman, memotret atau memvideo secara diam-diam dengan kamera tersembunyi, atau pengeditan konten korban dengan artificial intelligence (AI) menjadi konten deepfake. Pengambilan konten tanpa consent dilakukan dengan mencuri atau meretas konten intim korban.
Kedua, penyebaran konten yang dilakukan tanpa consent. Dalam beberapa kasus, pembuatan konten memang dilakukan secara konsensual, namun tidak dengan penyebarannya. Hanya karena konten dibuat dengan consent, bukan berarti otomatis penyebarannya juga.
Ini juga yang kerap disalahpahami publik. Seolah kasus yang terjadi bukan kekerasan dan consent sudah terpenuhi saat pembuatan konten. Padahal, penyebarannya tidak disepakati. Kesalahpahaman ini lengkap sudah dengan bumbu penghakiman atas nama moral, apalagi kalau korbannya perempuan. Tanpa mau melihat secara teliti bahwa yang terjadi sesungguhnya adalah kekerasan.
Dampak yang Diderita
Sebelum melanjutkan, saya mau mengklarifikasi dua hal. Pertama, saya tidak memiliki pengalaman menjadi korban NCII–semoga tidak akan menjadi korban maupun pelaku. Kedua, di sini saya berusaha tidak memuat deskripsi yang kelewat detail terkait dampak yang dialami korban dan penyintas NCII. Oleh karena itu, saya akan menjelaskan sebisa mungkin tanpa sok tahu pengalaman korban dan meminimalisir penyampaian deskripsi yang triggering.
Korban NCII bisa mengalami berbagai tekanan psikis. Rasa malu yang hebat dan depresi yang dirasakan korban dapat berbuntut pada hal-hal buruk yang tidak sepatutnya dialami siapapun. Korban bisa mengisolasi dari lingkungan sosialnya, menderita gangguan-gangguan psikis, melakukan berbagai tindakan yang menyakiti diri sendiri (self harm) bahkan mengakhiri hidup, dan menyimpan trauma yang menyulitkan korban kembali menjalani kehidupannya. Trauma ini juga bisa menjadi bom waktu yang bisa terpicu kapan saja.
Korban juga dapat mengalami kerugian sosial. Dalam masyarakat yang menormalisasi budaya menyalahkan korban (victim blaming), korban rentan menjadi sasaran penghakiman publik atas nama moral. Namun, di saat yang sama, dengan munafik mereka menggunjing, merundung (bullying), dan menstigma korban. Tak berhenti sampai di situ, korban juga rentan dijadikan objek seksualisasi.
Kerugian sosial ini juga dialami korban saat berurusan dengan institusi. Dalam beberapa kasus, institusi tempat korban studi atau bekerja, kepolisian, dan pengadilan malah mempersulit proses korban ketika memperjuangkan haknya atas keadilan. Hal ini disebabkan institusi tempat korban studi atau kerja belum memiliki standar operasional prosedur (SOP) untuk mencegah dan menangani kekerasan berbasis gender. Selain itu, kepolisian dan pengadilan secara umum belum memiliki perspektif korban.
Selain itu, ada kerugian lain yang khas dalam kasus NCII: jejak digital. Konten intim ketika disebarluaskan, penyebarannya tidak bisa diprediksi dan dikontrol. Ia bisa muncul secara publik di media sosial seperti Twitter atau situs-situs. Ia juga dibagikan atau dijual lewat grup-grup seperti di Telegram dan WhatsApp. Karena terlanjur ke mana-mana, sulit sekali men-take down konten. Hal ini juga yang menambah dan memperpanjang tekanan yang diderita korban.
Jangan Hakimi dan Seksualisasi
Sudah saatnya malu dan berhenti menghakimi dan menseksualisasi korban NCII serta bentuk kekerasan berbasis gender apapun. Di saat korban kesulitan bahkan demi sekadar menghimpun keinginan hidup untuk esok hari, reaksi-reaksi nihil empati itu justru memperparah derita korban. Membuat korban menjadi “korban dua kali”. Bahkan, itu pula yang memberatkan langkah korban untuk mendapat bantuan.
Sebagai lawan dari budaya menyalahkan korban (victim blaming), kita harus konsisten memegang dan mempraktikkan perspektif korban.
Jika ada orang terdekat menjadi korban, sambut dan tanggapilah dengan empatik. Dengarkan setiap cerita korban, buat dirinya nyaman bercerita, validasi setiap poin ceritanya, tanpa ada secuil pun penghakiman.
Berangkat dari situ, bersama korban kita dapat mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan korban. Kalau bukan profesional, kita tetap dapat membantu atau menjadi perantara untuk mengakses layanan pendampingan dan pemulihan ketika korban siap dan menyepakati.
Editor: Zahra Zarina