Oleh : Dinda Amelia
(Mahasiswi IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung)
Para ahli berpandangan bahwa tingginya angka kasus baru di berbagai daerah karena pelonggaran PSBB di tengah kondisi ketidaksiapan masyarakat. Karenanya semestinya program new normal dicabut karena pemberlakuan new normal atau kenormalan baru selama pandemi virus corona yang direncanakan pemerintah dinilai belum tepat. Sebab Indonesia masih belum aman dari penyebaran Covid-19. Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dr. Iwan Ariawan menyampaikan, dengan jumlah kasus yang masih terbilang tinggi maka penerapan new normal beresiko tinggi terhadap makin masifnya penyebaran virus corona. Minggu (21/6).
“Seharusnya, mengacu persyaratan WHO, kalau kondisi jumlah kasus tidak naik selama dua minggu baru bisa dilonggarkan bahkan ada beberapa negara yang menetapkan pelonggaran dilakukan kalau sudah menurun selama satu bulan. Jadi sekarang kondisi di Indonesia belum aman untuk keluar dan bergerak, risikonya masih tinggi,” tuturnya. (CNN Indonesia, 22/06/2020).
Menelisik pada awal Juni lalu, dimana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 telah memberikan lampu hijau bagi sembilan sektor ekonomi untuk kembali beroperasi di tengah penerapan new normal. Kebijakan ini diambil dalam rangka menekan dampak ekonomi dan sosial dari pandemi Covid-19. Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo menuturkan langkah itu telah mempertimbangkan risiko penularan yang menggunakan indikator kesehatan masyarakat berbasis data. Jumat (5/6/2020).
Hal ini tentu saja menuai kontroversi dimana sejumlah pakar dan praktisi kesehatan menduga pembukaan sembilan sektor ekonomi dan wacana adaptasi kebiasaan baru atau AKB di tengah masyarakat menyebabkan kenaikan kasus Covid-19 di atas seribu per hari pada sepekan terakhir. Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra menuturkan sikap gegabah pemerintah dalam membuka kembali sembilan sektor ekonomi dan penerapan AKB menimbulkan persepsi yang keliru di tengah masyarakat ihwal pencegahan penyebaran transmisi lokal virus corona. Dia meminta pemerintah untuk kembali mengevaluasi kembali pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) atau keputusan untuk membuka kembali sentra ekonomi dan aktivitas masyarakat secara luas.
Sama halnya dengan Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran dr. Panji Fortuna Hadisoemarto yang menilai pemerintah seharusnya fokus pada menekan angka kasus virus corona dahulu ketimbang berpikir melonggarkan aturan demi ekonomi. Ia juga berpendapat bahwa perekonomian Indonesia pun akan sulit berjalan kalau wabah belum diatasi karena kesehatan masyarakat perlu diperkuat lebih dulu.
Sementara pihak pemerintah beralasan bertambahnya kasus corona karena faktor tes masif dan pelacakan agresif yang dilakukan oleh pemerintah.
“Jika terjadi lonjakan kasus baru tiap harinya di tengah PSBB itu karena memang pengadaan jejaring laboratorium yang semakin banyak di Indonesia,” kata Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Raditya Jati, beberapa waktu lalu. (Bisnis.com)
Senada dengan juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto menyebut masih tingginya kasus baru Covid-19 karena pelacakan yang dilakukan secara agresif. Yuri menyebut, orang yang ditemukan lewat hasil pelacakan itu kemudian dites spesimennya menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Tes Cepat Molekuler (TCM). Yuri menegaskan pelacakan agresif disertai tes masif ini penting untuk menemukan kasus positif di masyarakat. Orang yang dinyatakan positif pun kemudian bisa segera diisolasi atau dirawat agar tidak menjadi sumber penularan. (KOMPAS.com)
Melihat hal ini, memang sudah seharusnya menjadi tanggung jawab negara untuk melakukan tes dan pelacakan agar memastikan individu terinfeksi tidak menularkan ke yang sehat. Negara juga berkewajiban mencari jalan keluar jitu bagi pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat terdampak pembatasan selama masa karantina. Model seperti ini hanya ada dalam sistem pemerintahan Islam yakni Khilafah, dimana pemerintah berfungsi sebagai raa’in (pemelihara) segala urusan rakyat dan khadimatul ummah (pelayan rakyat). Melayani segala kebutuhan rakyat dan memenuhinya dengan sebaik-baiknya. Pemimpin yang diangkat lalu diberi amanah mengurusi urusan umat wajib untuk bersungguh-sungguh mengerahkan segala kemampuannya dan mencurahkan segenap perhatiannya semata agar berkhidmat untuk rakyatnya. Dalam setiap kebutuhan, baik primer ataupun sekunder, pemerintah wajib memastikan pemenuhannya sesuai dengan ketetapan yang telah Allah tetapkan tanpa melanggarnya sedikitpun. Termasuk juga memberi jaminan kesehatan, pendidikan dan keamanan. Sebuah sistem yang berdiri di atas landasan akidah Islam, bukan keuntungan atau lainnya seperti kapitalisme.
Semestinya kelesuan ekonomi yang dialami pelaku ekonomi raksasa/kapitalis tidak menjadi pendorong kuat pemerintah memberlakukan new normal dengan risiko mengorbankan keselamatan jiwa masyarakat luas dan kepentingan rakyat pun terabaikan. Sudah saatnya rakyat harus membuka mata terhadap sistem kapitalisme inj yang terbukti gagal mengatasi problematika umat. Sistem yang rusak dari akarnya. Rakyat juga harusnya paham jika pohon yang berakar rusak mustahil untuk tumbuh baik apalagi berbuah manis.
(Dinda/ Red. LPM-UBB)