Oleh : Abrillioga (Mahasiswa Hukum Universitas Bangka Belitung )
Dunia saat ini sedang dihadapi dengan pandemic global, yaitu wabah virus novel corona atau covid -19 yang pertama kali bermuara di negeri Tirai Bambu, tepatnya Wuhan sejak akhir tahun 2019 lalu, Desember. Namun, siapa sangka jikalau virus covid-19 ini akan menjadi wabah mematikan dan melumpuhkan segala aktivitas yang selayaknya di seluruh penjuru negara. Tak terlewatkan Indonesia itu sendiri, kita tahu bahwa bumi pertiwi bagaikan kehilangan arah dan kelimpungan dalam mengatasi pelbagai masalah yang terjadi.
Di tengah menghadapi Covid-19 sebagai musuh bersama, berbagai kebijakan turut diluncurkan oleh pemerintah Indonesia guna melawan dan menghadapi wabah virus yang mematikan ini, sebagai salah satu kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam upaya preventifnya untuk menghadapi situasi ini adalah dengan menetapkan kebijakan pembatasan social yang berskala besar agar menekan laju penyebaran virus yang lebih luas lagi.
Akan tetapi, penulis elaborasikan pada kesempatan ini tidak hanya membicarakan tentang kasus covid-19 itu saja, melainkan juga tentang RUU Omnibus Law.
Kita tahu saat ini Indonesia sedang dalam kondisi yang tidak baik, ditambah lagi munculnya polemik yang tak kunjung usai dan perdebatan panjang terkait yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam membuat produk hukum sapu jagat sebagai solusi perampingan regulasi yang ada di Indonesia.
Perlu kalian tahu bahwa, rancangan undang-undang omnibus law didaftarkan dalam program legislative nasional atau prolegnas tahun 2020. Hal inilah yang beberapa waktu lalu muncul berbagai opini public tentang ketidaktransparansinya dan terkesan memaksa untuk membahas RUU omnibus law tersebut ditengah wabah covid-19 ini sehingga pemerintah dianggap memanfaatkan situasi dan kondisi.
Jika kita telisik lebih jauh tentang hakikat omnibus law adalah kepentingan pemerintah, pengusaha dan para investor asing. Inilah yang dipertanyakan tentang sisi keadilan bagi para rakyat kelas rendahan seperti nasib para buruh.
Dalam proses pembuatan hukum, dimana hukum dalam pembentukkannya harus didasarkan pada asas kebermanfaatan, keadilan dan keterikatan. Namun dalam rancangan undang-undang omnibus law, asas keadilan serasa tidak tercerminkan dalam regulasi undang-undang sapu jagat tersebut.
Bagaikan jatuh, tertimpa tangga pula. Di tengah pandemic virus covid-19 ini, kita tau semenjak Indonesia dikatakan sebagai kasus positif corona ini. Pemerintah Indonesia yang diamanatkan oleh Bapak Joko Widodo untuk menetapkan status social distancing atau physical distancing.
Kegiatan pendidikan dan segala sifat yang berinteraksi dengan orang banyak ditiadakan. Seperti study from home dan work from home. Hal ini tentunya tidak berpengaruh kepada mereka yang memiliki pekerjaan tetap dan gaji tetap, namun bagaimana dengan rakyat kalangan kelas ke bawah seperti para buruh dan pekerja paruh waktu setiap hari. Inilah yang menciptakan dinamika dalam kesenjangan social yang lebih berat lagi.
Jika ditarik garis analisa penulis secara vertical, menjadi suatu keniscayaan jika Indonesia saat ini disebut sebagai status darurat coronibus. Pemerintah ialah sebagai the guardion of solution, sangat diharapkan dan dipertanyakan oleh seluruh elemen lapisan masyarakat bagaimana untuk menindaklanjuti program rancangan undang-undang tersebut di tengah wabah covid-19 ini.
Penulis berspekulasi bahwasanya saat ini Indonesia sedang dihadapi dengan aroma sentralistik tentang terobosan regulasi yang meneroboskan. Pernyataan penulis ini, sejatinya sejalan dengan pernyataan sikap Menkses republic Indonesia yang kemarin sempat mencuat dan mencuri perhatian public terkait statement yang diungkapkannya dalam upaya pencegahan penyebaran covid-19 ini, rakyat kaya dan rakyat miskin harus saling membantu, yang mana rakyat miskin tidak menularkan penyakitnya kepada rakyat yang kaya dan rakyat kaya membantu rakyat yang miskin dalam bentuk sumbangan APD dan dana sebagainya.
Hal inilah, penulis berani mengatakan bahwasanya Indonesia sedang berada pada rezim sentralistik. Yang dimana penguasa yang berkuasa makin elektabilitas dari segi kedudukannya, dan rakyat kelas kebawah semakin terasa terjepit.
Untuk itulah, kami penulis dari kalangan akademisi mengkaji dan menganalisa untuk mencoba memberikan paradigma berpikir dalam mengejawantahkan dan menyelesaikan masalah regulasi undang-undang sapu jagad bersama juga melawan pandemic global ini yaitu virus novel corona. Sungguh disayangkan, jika aspirasi dan partisipasi rakyat tak gubris.
Kemudian daripada itu, penulis juga merasa sangat menyayangkan sekali terkait statement yang pernah disampaikan oleh Mahfud-Luhut dengan mengatakan bahwa secara harfiah, kami pemerintah lebih mengetahui apa yang dibutuhkan dan diperlukan oleh Negara, seharusnya eleman masyarakat tak usah terlalu ikut campur dengan urusan dapur pemerintah. Jika kita analisa dan Tarik kesimpulan, statement yang disampaikan oleh para menteri ini terkesan bersifat otoriter dalam menetapkan keputusan.
Sejatinya dalam perumusan suatu produk hukum, harus bersifat terbuka dan melibatkan partisipasi masyarakat sebagai cerminan dalam mengimplementasikan nilai instrumental dan nilai praktis pancasila sila ke 4 dan 5 sebagai dasar Negara Indonesia yang bersifat fundamental.
Namun, terlepas apapun itu yang menjadi kendala dan kondisi tersebut. Indonesia saat ini sangat membutuhkan dukungan moril dan materil dari segala elemen masyarakat untuk bersama-sama kembali membawa Indonesia ke ranah yang sebenarnya.
Kita sebagai warga Negara yang baik, harus turut serta dalam menjaga dan membela Negara Indonesia sebagai bentuk sikap nasionalisme kita terhadap bangsa Indonesia, yang dimana hal ini juga diamanatkan dalam konstitusi dasar Negara republik Indonesia pasal 27 ayat 3 ikut upaya bela Negara.
Penulis berharap kepada seluruh elemen masyarakat, untuk menuruti apa yang menjadi kebijakan pemerintah dalam mencegah penyebaran covid-19 ini. Bolehlah saja kita mengutarakan statement dan pendapat sebagai partisipan masyarakat yang peduli kepada apa saja yang menjadi kebijakan pemerintah untuk menuju dan menciptakan Indonesia yang lebih maju, namun disertai dengan solusi yang mantap dan lugas.
Jangan hanya sibuk berkoar dan berkomentar pedas akan tetapi tidak memberikan secercah inisiatif problem solving.
(Abrillioga/Red LPM UBB)