Deska Ramadaniati
Mahasiswi Jurusan Hukum Universitas Bangka Belitung
Meningkatnya arus globalisasi yang ditandai dengan peningkatan perdagangan bebas, revolusi teknologi informasi dan komunikasi, kemajuan bidang transportasi, dan meningkatnya kreativitas perekonomian dengan menggunakan komputer dan internet, menuntut adanya penyesuaian perangkat hukum dan lembaga peradilan. Dalam kegiatan usaha pada era global seperti sekarang ini pada kenyataannya tidak mungkin terisolir dari masalah-masalah lain.
Suatu perusahaan yang dinyatakan pailit pada saat ini akan mempunyai imbas dan pengaruh buruk bukan hanya kepada perusahaan itu saja melainkan berakibat global. Keadaan ini pada gilirannya telah melahirkan akibat yang berantai dan apabila tidak diselesaikan akan menimbulkan dampak yang lebih luas lagi. Tidak hanya dalam kelangsungan usaha dan segi-segi ekonomi pada umumnya, tetapi juga kepada masalah ketenagakerjaan dan aspek sosial yang perlu diselesaikan dengan adil dalam arti memperhatikan kepentingan pengusaha sebagai debitor ataupun kepentingan kreditor secara seimbang.
Sebagai contoh, ketika Direktur Utama Yamaichi Securities pada tanggal 1 Desember 1995 mengumumkan kebangkrutan perusahaannya pada suatu konfrensi pers di Tokyo,Jepang. Dari kasus ini dapat dilihat banyak pihak yang jadi korban apabila perusahaan dinyatakan pailit.
Oleh karena itu lembaga kepailitan merupakan salah satu kebutuhan pokok di dalam aktivitas bisnis karena adanya status pailit. Khususnya Indonesia sebagai negara berkembang, harus menyesuaikan diri dengan memperbaiki intrumen badan peradilan, terutama yang berkaitan dengan perdagangan dan dunia usaha. Oleh karena itu untuk kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif sangat diperlukan sarana hukum yang sangat mendukung. Sarana hukum tersebut antara adalah peraturan tentang kepailitan, termasuk peraturan tentang penundaan kewajiban pembayaran utang, sebagai hukum materil dan institusinya yakni Pengadilan Niaga sebagai hukum Formil.
Untuk mengantisipasi adanya perbuatan-perbuatan debitor yang merugikan kreditor maka, pemerintah melakukan perubahan-perubahan yang cukup signifikan dalam peraturan perundang-undangan, salah satunya adalah dengan merevisi Undang-Undang Kepailitan yang ada. Sebelum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 jo Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Penetapan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Jo. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan dikeluarkan, masalah Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di Indonesia diatur dalam Faillisement Verordening (Staasblad Tahun 1905 Nomor 207 jo. Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348).
Kedudukan pengadilan niaga di Indonesia merupakan pengadilan khusus untuk memeriksa dan memutuskan perkara di bidang perniagaan. Keberadaan pengadilan niaga ini sejalan dengan penjelasan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman, bahwa disamping 4 (empat) lingkungan peradilan, tidak tertutup kemungkinan adanya pengkhususan (spesifikasi) dalam masing-masing lingkungan, misalnya dalam lingkungan peradilan umum dapat diadakan pengkhususan berupa pengadilan lalu lintas, pengadilan anak-anak, pengadilan ekonomi dan sebagainya. Lembaga kepailitan bukan merupakan lembaga yang baru dalam sistem hukum Indonesia. Indonesia telah memiliki peraturan yang mengatur tentang kepailitan karena diwarisi dari zaman Hindia Belanda.
Pada 22 April 1998, Pemerintah secara sah mengundangkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang tentang Kepailitan, dan salah satu perubahannya terdapat hal mengenai pembentukan pengadilan niaga. Berbicara pengadilan niaga mungkin masih cenderung asing di telinga masyarakat luas. Pada dasarnya Pengadilan Niaga sangat diperlukan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa niaga seperti masalah kepailitan, untuk menyelesaikan sengketa-sengketa niaga secara cepat, juga menyelesaikan aneka masalah kepailitan, seperti masalah pembuktian, verifikasi utang, actio pauliana, dan lain sebagainya.
Belakangan ini eksistensi Pengadilan Niaga disorot kuat, antara lain karena terjadi penurunan jumlah perkara yang masuk. Di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat terjadi penurunan jumlah perkara yang masuk. Pada tahun 1999 terdapat 100 perkara. Tahun berikutnya menurun jadi 84 perkara dan tahun 2001 menurun lagi menjadi 61 perkara. Dan pada tahun 2002 tinggal 39 perkara. Penurunan jumlah perkara yang masuk ke Pengadilan Niaga dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain faktor ekonomi, sosial dan yuridis. Kemungkinan terbesar yang menyebabkan turunnya jumlah perkara yang ditangani Pengadilan Niaga adalah ketidakpuasan terhadap hasil putusan dan adanya hasil putusan yang tidak mencerminkan asas keadilan.
Putusan-putusan Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung dalam perkara kepailitan ternyata mencerminkan inkonsistensi dalam penerapan hukum kepailitan, yang pada akhirnya melahirkan ketidakpastian hukum. Sampai saat ini Pengadilan Niaga belum mampu melakukan paksaan terhadap debitor yang tidak mematuhi putusan pengadilan, sehingga banyak debitor yang lepas dari jerat kepailitan.
Dalam rangka mengembangkan Pengadilan Niaga di Indonesia, yang diperlukan adalah pembaharuan, terutama di bidang kompetensi dan hukum acara. Perlu diciptakan aturan yang jelas mengenai kompetensi dan hukum acara Pengadilan Niaga. Kinerja Pengadilan Niaga yang cepat karena dibatasi jadwal waktu (time frame) sangat ketat harus didukung kesiapan seluruh infrastruktur penunjang. Misalnya Sumber daya manusia, sarana operasional, kebijakan regulasi dan hukum acara yang terunifikasi dengan baik. Dengan jadwal waktu ketat untuk putusan hakim, maka hal-hal mengenai pembuktian dapat menimbulkan permasalahan. Karena itu, untuk mengisi kekosongan peraturan, perlu ada pasal yang mengatur, seperti terdapat dalam UU Kepailitan.
(Deska Ramadaniati/Red LPM-UBB)