Serentakan langkah, ratusan mahasiswa/i serta masyarakat turun ke jalan dengan membawa kekhawatiran terhadap krisisnya demokrasi yang ada di Indonesia. Foto oleh Teguh/Alternatif.

LPM Alternatif, Pangkalpinang – Jum’at (23/8) ratusan massa memadati halaman depan Masjid Kubah Pangkalpinang dalam sebuah aksi protes menentang Revisi Undang-Undang Pilkada yang baru-baru ini diusulkan oleh DPR. Aksi ini diikuti oleh berbagai elemen, yaitu Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Sekolah Mahasiswa Progresif (SEMPRO), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Mahasiswa/i Fisip UBB, Mahasiswa/i FPPK UBB, Mahasiswa/i Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung (UNMUH), Mahasiswa/i Politeknik Manufaktur (POLMAN), Aliansi Jurnal Independen (AJI) Pangkalpinang, serta individu dan masyarakat yang peduli terhadap demokrasi meleburkan diri atas nama koalisi masyarakat sipil Bangka Belitung.

Para demonstran mengkritik revisi UU Pilkada yang dianggap bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai ambang batas pencalonan dan usia calon Kepala Daerah. Mereka berpendapat bahwa perubahan tersebut bisa merusak prinsip demokrasi dan membuka celah bagi manipulasi politik. Dalam aksi tersebut, mereka membawa spanduk bertuliskan “Selamatkan Demokrasi Lawan Pembangkang Konstitusi. Tolak Dinasti Politik” sebagai bentuk penolakan terhadap revisi tersebut.

Perwakilan AJI, salah satu elemen yang turut serta dalam aksi tersebut, menegaskan pentingnya peran masyarakat dalam mengawasi proses demokrasi. “Kita harus bisa terus mengawal kawan-kawan, jangan diam, jangan berpangku tangan. Saatnya rakyat menjadi pengadil di sini,” ujarnya.

Situasi ini semakin memperlihatkan bahwa kondisi demokrasi di Indonesia sedang menghadapi masalah serius, termasuk ibu kota, dan daerah-daerah kecil lainnya. Ada kekhawatiran bahwa upaya tersebut dapat merusak sistem demokrasi. Para kritikus menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia semakin tertekan, dengan menjadikan masyarakat semakin terpinggirkan. Sebaliknya, proses demokrasi tampak dikuasai oleh lingkaran elite yang lebih mementingkan kepentingan pribadi ketimbang aspirasi rakyat secara keseluruhan.

Ariandi Dosen Ilmu Politik UBB, menyatakan, “Demokrasi harus tumbuh dan dijaga. Jangan sampai ada orang-orang yang merasa menjadi Tuhan dalam sistem demokrasi, bertindak semaunya, dan mengubah aturan main sesuka hati. Kita sudah memiliki hukum dan konstitusi sebagai pegangan tertinggi untuk kekuasaan dan tegaknya demokrasi.”

Sementara itu, Ricky Kuswanda dari SEMPRO menambahkan, “Kami yakin bahwa mereka yang merasa tertindas oleh sistem saat ini juga ingin terlibat. Hal ini mirip dengan situasi pada tahun 2019, di mana tidak hanya mahasiswa yang turun ke jalan, tetapi seluruh elemen masyarakat juga berpartisipasi. Jika tidak ada yang peduli, itu berarti mereka mungkin sudah mapan secara ekonomi.”

Aksi ini juga menuntut reformasi menuju dewan rakyat yang lebih representatif, bukan hanya dewan perwakilan rakyat yang cenderung berpihak pada kepentingan pemilik modal. Karena kenyataannya bahwa pejabat saat ini sering kali lebih memperhatikan kepentingan tertentu daripada mewakili rakyat secara adil.

Pertanyaan mendasarnya adalah
jika bukan rakyat yang mereka wakili, lalu siapa yang sebenarnya mereka layani?

Reporter : Esfaranza Ratu Suwendah & Yoga Susanto
Penulis : Anggie Tri Syafitri & Esfaranza Ratu Suwendah
Editor : Debri Liani

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *