Pangkal Pinang, LPM UBB – Aktivitas tambang timah tidak berizin di Teluk Kelabat Dalam telah menyebabkan konflik horizontal antara nelayan dengan penambang, kendati di Perda Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K), perairan Teluk Kelabat Dalam masuk ke dalam kawasan zero tambang. Namun fakta yang terjadi, kegiatan tambang ilegal terus beroperasi di perairan tersebut.
Lantaran persoalan yang terus memanas, Solidaritas Selamatkan Teluk Kelabat Dalam membuat langkah dan mendesak Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Erzaldi Rosman segera melakukan langkah preventif dan mitigasi terhadap potensi konflik yang meluas, Rabu (5/5/2021).
Bertempat di Kantor Walhi Kep Babel, Solidaritas Selamatkan Teluk Kelabat Dalam menggelar jumpa pers guna menyikapi kondisi yang terjadi di Teluk Kelabat Dalam.
Beberapa organisasi tergabung dalam aksi solidaritas ini, diantaranya Walhi Kep Babel, Forum Nelayan Pecinta Teluk Kelabat Dalam (FNPTKD), Bara Institute, GMNI Babel, HMI MPO Babel Raya, BEM KM UBB, DEMA KBM IAIN SAS, BEM Polman, dan BEM Pahlawan 12.
Presiden Mahasiswa Universitas Bangka Belitung (UBB), Rio Saputra berencana akan menyusun laporan untuk diserahkan ke Mabes Polri dan Gakkum Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan. Hal ini dilakukan karena pengusaha tambang ilegal tidak jera dalam melakukan aktivitas penambangan liar di kawasan tersebut.
“Kawasan Teluk Kelabat Dalam merupakan penyangga Taman Nasional Gunung Maras. Dalam Perda RZWP3K sendiri pun, kawasan tersebut juga merupakan zona perikanan budidaya dan zona perikanan tangkap, bukan zona tambang. Kemudian pengusaha tambang ini tidak mengantongi izin legal dan ini sudah melanggar hukum,” kata Rio saat jumpa pers.
Rio kembali mengatakan, tim eksplorasi terumbu karang dari Universitas Bangka Belitung pun menemukan data kondisi terumbu karang di pulau Bangka kondisinya kurang bagus. Kerusakannya pun beragam. Mulai dari penurunan tutupan karang hidup hingga tertimbunnya ekosistem karang akibat sedimentasi yang parah. “Aktivitas tambang laut mulai dari penurunan tutupan karang hidup hingga tertimbunnya ekosistem karang akibat sedimentasi yang parah,” tambahnya.
Berdasarkan data yang didapatkan oleh Rio, 50% ekosistem terumbu karang di pulau Bangka mengalami kerusakan. Begitu juga padang lamun dan aliran sungai sudah menampakkan status gawat.
Menurutnya, terumbu karang, padang lamun dan mangrove merupakan rumah bagi keberagaman hayati flora dan fauna pesisir-laut.
“Selain itu, seperti mangrove memiliki peran sentral dalam menyimpan karbon dan menyerap emisi karbon, pemecah ombak dan angin-badai, mencegah intrusi air laut ke darat dan mencegah terjadinya abarasi,” kata Rio.
Sementara itu, Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Bangka Belitung, Ahmad Subhan Hafiz mendesak pemerintah segera melakukan upaya tegas dalam penindakan hukum. Berdasarkan pasal 158 UU No. 3 Tahun 2020 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, pelaku yang menambang secara ilegal dapat terkena sanksi pidana berupa pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak seratus miliar rupiah.
Hafiz menyayangkan ketika ada ketentuan hukum yang mengatur perihal sanksi pidana kepada penambang tak berizin, faktanya belum mampu memberikan efek jera kepada pengusaha tambang ilegal di Bangka Belitung, terutama di Teluk Kelabat Dalam.
“Akibatnya pencemaran lingkungan dan konflik sosial akan terus berlanjut. Padahal perlindungan terhadap nelayan Teluk Kelabat Dalam terkait resiko pencemaran telah diatur dalam pasal 30 ayat 1 UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam, serta Perda No 2 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan,” terangnya.
Selain itu, Hafiz meminta perbaikan, pemulihan, dan penyelamatan lanskap ekologis esensial dan nilai-nilai kebudayaan bahari yang lestari, serta penghormatan terhadap hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat, mitigasi konflik dan bencana menjadi langkah yang pertama harus dilakukan.
“Gubernur harus menentukan blueprint pembangunan kelautan di Teluk Kelabat Dalam sesuai alokasi ruang dalam Perda RZWP3K. Sehingga tidak lagi ada celah untuk mafia tambang ilegal mengokupasi kawasan tersebut,” jelasnya.
Pada kesempatan yang sama, Manajer Organisasi Bara Institute, Mardiansyah Putra mendesak Gubernur Babel untuk membentuk panitia khusus independen guna menyelesaikan konflik di Teluk Kelabat Dalam.
Mardi mendesak pemerintah daerah, melalui tim gabungan mendirikan posko pengawasan untuk memantau aktivitas pertambangan di Teluk Kelabat Dalam, agar terdapat tindakan pendeteksian dini potensi konflik di kawasan tersebut, serta tidak ada lagi pembiaran, dan kebocoran informasi saat dilakukan penertiban oleh petugas.
“Pemerintah Daerah, dalam hal ini Gubernur DPRD, maupun aparat hukum bersama masyarakat juga harus bekerjasama memecahkan persoalan ini dari hulu hingga ke hilir,” lanjut Mardi.
(Ricky Kuswanda/Red LPM UBB)