Trigger warning: Artikel wawancara ini berbicara tentang kekerasan seksual yang mungkin dapat mengganggu kenyamanan Anda. Jika Anda atau orang terdekat mengalami kekerasan seksual, di penghujung tulisan ini tercantum sejumlah akses layanan konseling berperspektif gender.
Masyarakat kita masih sering tergelincir dalam kesalahpahaman tentang kekerasan seksual. Kesalahpahaman ini wujudnya beragam, seperti mendefinisikan kekerasan seksual dengan tidak tepat, menyalahkan korban kekerasan seksual tanpa berpikir kritis tentang apa yang menjadi akar penyebabnya, dan masih banyak lagi. Oleh karena itu, penting untuk meninjau kembali pemahaman kita tentang kekerasan seksual.
Selain itu, ketika terjadi kekerasan seksual menimpa orang terdekat, kita harus bagaimana? Apa saja yang bisa kita lakukan untuk membantu dengan tetap berpijak dari apa yang dibutuhkan dan dikehendaki korban?
Untuk menelusuri lebih lanjut, Kevin Aryatama dan Lia Bonita Anggreini dari LPM UBB mewawancarai Annisa Azzahra, community leader dan konselor pendamping di Perempuan Berkisah.
Memahami Kekerasan Seksual
Lia Bonita Anggreini (Lia): Menurutmu, apa sih kekerasan seksual itu?
Annisa Azzahra (Nisa): Konsep kuncinya, kekerasan seksual itu aktivitas seksual yang mengandung paksaan. Jadi, indikatornya adalah adanya paksaan, bertentangan dengan kehendak si korban. Tidak harus selalu ada ucapan “tidak”. Seringkali korban tidak bisa mengekspresikan penolakan. Bisa saja dengan orangnya diam dan ragu. Tidak ada kejelasan persetujuan orangnya mau atau tidak.
Kalau secara lebih komprehensif, kekerasan seksual itu perbuatan yang menghina, merendahkan, menyerang, perbuatan apapun pada tubuh, hasrat seksual, serta fungsi reproduksi, yang dilakukan secara paksa. Akhirnya, akan menyebabkan penderitaan, kesengsaraan, dan trauma yang melingkupi fisik, psikis, seksual, juga ekonomi, sosial budaya, dan hak-hak politik korban sebagai seorang manusia. Bicara tentang trauma, itu juga indikator kekerasan seksual selain paksaan.
Lia: Apa saja kesalahpahaman umum orang-orang tentang kekerasan seksual?
Kevin Aryatama (Kevin): Terkait kesalahpahaman umum itu, apakah ada kaitannya dengan ketidakpahaman mengenai konsep “persetujuan”? Misal, orang-orang sering menganggap “persetujuan” dan “suka sama suka” itu sama.
Nisa: Tadi salah satunya sudah Kevin sebutkan. Kesalahpahaman umum bahwa ketika sudah dalam hubungan seperti pacaran atau pernikahan, artinya tidak ada lagi kekerasan seksual karena “suka sama suka”.
Itu disebabkan adanya opini di mana masyarakat merasa pasangan adalah “hak milik”. Karena sudah jadi hak milik–khususnya kalau sudah menikah–dianggap, “Ya sudah, kan sudah menikah, nih. Artinya hak aku, dong, kalau mau berhubungan. Kamu sebagai perempuan atau sebagai pasangan harus menerima, mau tidak mau.”
Akhirnya, ketika ada kejadian di mana korban dan pelaku ada hubungan romantis, orang-orang akan langsung menjustifikasi. “Kan suka sama suka, tidak mungkin ada kekerasan di sana. Kalau memang ada kekerasan, harusnya pergi dong.” Namun, nyatanya tidak semudah itu. Ada berbagai lapisan kekerasan yang membuat korban tidak bisa lepas begitu saja.
Kesalahpahaman umum lainnya tentu saja beragam. Ada kesalahpahaman bahwa kekerasan seksual dianggap sebagai aib. Ada anggapan bahwa kekerasan seksual itu dianggap kesalahan korban. Ada kecenderungan masyarakat menganggap korban menggoda pelaku, pakaian korban salah, tempat dan waktu yang salah. Dan, ketika korban tidak melawan atau menolak secara jelas akan dianggap setuju karena orang-orang tidak bisa membedakan konsep persetujuan atau consent.
Kevin: Mengapa bisa terjadi kekerasan seksual?
Nisa: Saya bahas secara umum dulu. Penyebabnya beragam, seperti normalisasi budaya kekerasan, kurangnya pemahaman consent di masyarakat, serta lemahnya support system untuk memahami kekerasan seksual dan melindungi hak-hak korban, dan implementasi hukum yang tidak maksimal atau bahkan belum dijalankan.
Lalu, ada relasi kuasa. Yang membuat relasi antar manusia buruk adalah ketika ada penyalahgunaan kuasa akibat perbedaan identitas yang hierarkis. Misal, kesenjangan berbasis gender, umur, kelas sosial, jabatan dalam pekerjaan, dan adat yang berlaku. Kesenjangan ini bisa berlapis-lapis dan kelompok minoritas dalam hierarki ini rentan menjadi korban. Orang yang statusnya lebih tinggi akan bisa memaksakan kehendak kepada orang yang statusnya lebih rendah. Oleh karena itu, semakin tinggi kesenjangan dalam kekerasan seksual, semakin sulit korban untuk menolak atau melapor.
Di kampus, contohnya, ada dosen “bercanda” kepada mahasiswinya, “Kamu cantik banget. Malam ini temenin aku tidur ya.” Itu salah satu bentuk penyalahgunaan kuasa. Dia adalah dosen dan menyasar ke mahasiswinya yang notabene posisinya di kampus lebih rendah.
Lia: Kita mendapati survei bahwa banyak korban kekerasan seksual enggan melapor. Mengapa bisa demikian? Adakah kaitannya dengan relasi kuasa yang tadi kamu sebutkan?
Nisa: Korban memang sulit melapor. Sebab, korban seringkali jadi pihak yang bersalah karena dianggap menyumbangkan alasan buat pelaku melakukan kekerasan seksual.
Relasi kuasa juga sangat mempengaruhi korban menjadi enggan melapor. Karena si pelaku punya kuasa lebih besar sehingga seringkali tidak berdaya. Pelaku juga merasa punya kepemilikan atas korban yang diwujudkan dengan ancaman dan iming-iming.
Ada juga normalisasi budaya kekerasan. Dalam kekerasan berbasis gender ada yang kita kenal sebagai ada rape culture atau piramida kekerasan Dalam setiap tingkat piramida itu ada pemakluman.
Pertama, candaan seksis dan cabul. Misal, “Wuih, semok banget deh.” Atau, “Yuk, malmingan di kos berdua”.
Kedua, stereotip negatif. Kita bisa temui salah satu contohnya kalau perempuan habis putus dan punya pacar baru akan disebut piala bergilir, sementara kalau laki-laki disebut, “Wuih, jago cari cewek.” Stereotip terhadap mereka yang dianggap tidak sesuai standar sosial membuat posisi kelompok rentan kekerasan (termasuk perempuan) menjadi semakin rentan.
Ketiga, ancaman pelecehan. Biasanya, ancaman ini berasal dari mereka (pelaku) yang punya kuasa atas korbannya. Kalau ancaman ini disampaikan secara verbal, tak jarang ada pemakluman seperti, “Sudahlah, tidak apa. Kan dia cuma ngomong dan nggak mengganggu.”
Padahal, ancaman ini bisa berlanjut menjadi bentuk-bentuk kekerasan lain. Seperti pelecehan, kekerasan fisik, kekerasan emosional, kekerasan finansial, dan perkosaan. Hingga pada titik korban sulit keluar dari lingkaran kekerasan ini.
Terakhir, ada pembunuhan atau femisida–pembunuhan karena korban adalah perempuan atau minoritas gender.
Lia: Keengganan korban untuk melapor erat sekali, ya, dengan rape culture dan patriarki.
Nisa: Kaitannya sudah jelas dari contoh yang saya sebutkan. Korban sulit melapor karena ada pemakluman kekerasan seksual dari masyarakat. Dari pelecehan verbal sampai femisida, masyarakat tak jarang berusaha “mencari sisi positifnya.”
Rape culture lekat dengan patriarki karena ia adalah produk dari patriarki itu sendiri. Patriarki membuat kita berpikir bahwa masyarakat ideal adalah ketika perempuan berada di kedudukan yang lebih rendah, serba patuh, dan semata-mata di rumah untuk kerja-kerja domestik. Perempuan dianggap tidak perlu terlibat di sektor publik. Padahal itu penting, misalnya untuk pembentukan kebijakan ramah gender. Sehingga, ketika terjadi kekerasan kepada perempuan dan minoritas gender, masyarakat akan menganggap itu akibat mereka tidak sesuai dengan standar ideal menurut patriarki.
Kevin: Bahkan ketika perempuan mengikuti norma-norma patriarki dan menjadi ideal menurut standar patriarki, mereka masih menjadi korban kekerasan. Contohnya, perempuan tetap stay di rumah dan ranah domestik pun masih menjadi korban marital rape (perkosaan dalam relasi pernikahan).
Nisa: Pelaku kekerasan seksual banyak dari orang terdekat. Bahkan, termasuk dari keluarga, seperti suami, ayah, paman, kakek, sepupu, keponakan.
Perempuan didomestikasi dan diposisikan lebih rendah daripada laki laki. Karena pemosisian itu, balik ke soal relasi kuasa, membuat rasa kepemilikan dari pelaku terhadap korban. Ketiadaan kekuatan politik, sosial, dan budaya mengakibatkan perempuan dianggap sebagai aset atau properti keluarga.
Misal, ada seorang ayah, kepala keluarga, menjadi pelaku pemerkosaan terhadap anaknya. Ada rasa kepemilikan terhadap korban yang merupakan anaknya. “Kenapa orang lain harus marah? Kan saya yang selama ini memenuhi kebutuhannya.”
Bisa sekacau itu patriarki membentuk konstruk perempuan sebagai properti tanpa suara dan hak untuk melawan ketika mengalami kekerasan seksual dari orang terdekat. Justru, ketika pelakunya adalah orang terdekat, korban semakin sulit untuk melawan.
Lia: Kalau korbannya laki-laki, bagaimana kita melihat aspek seperti patriarki dan relasi kuasanya?
Nisa: Tentu bisa, karena pada dasarnya kita semua ini adalah manusia yang mempunyai titik rentan dan lemahnya masing-masing. Kalaupun jika dilihat dari patriarki terdengar tidak mungkin, tapi jika dilihat lagi budaya patriarki itu juga menyulitkan laki-laki.
Laki-laki dituntut untuk menjadi penyedia setiap kebutuhan dan mereka dituntut untuk menjadi kuat. Sehingga, ketika ada laki-laki yang menjadi korban dari kekerasan seksual, mereka akan dianggap bukan laki-laki sejati, “Mana mungkin laki-laki betulan jadi korban?” Atau, korban laki-laki rentan dianggap pasti menikmatinya (kekerasan seksual yang menimpanya).
Dan jika kita melihat dari sisi relasi kuasa, karena relasi kuasa itu tidak hanya berdasarkan pada gender saja. Relasi kuasa ini punya banyak aspek. Sesederhana perbedaan usia atau kekuatan fisik yang lebih besar pun bisa menjadi contoh kuasa. Punya senjata, bisa kuasa untuk mengancam, menggunakan nilai-nilai atau apapun itu bisa menjadi bentuk kekuasaan.
Misalnya, meskipun korbannya adalah lelaki berotot, ketika dia di kasih obat bius dia menjadi tidak bisa melawan. Dari contoh ini kita bisa melihat relasi kuasa. Mulai dari bagaimana pelaku bisa mempunyai akses untuk mempunyai obat bius, mempunyai obat, dan kesempatan untuk menjebak korban untuk mengonsumsi obat bius.
Oleh sebab itu, kita perlu mendengarkan cerita korban. Kita perlu menganalisis dan melihat kembali bagaimana kejadian ini bisa terjadi, mengapa korban bisa terjebak, dan mengapa korban bisa merasa terancam.
Lia: Mengaitkan dengan kesulitan melapor. Artinya, laki-laki yang menjadi korban akan tetap sulit untuk melaporkan kekerasan yang mereka alami?
Nisa: Mereka lebih sulit. Mengapa? Karena menurut patriarki dalam masyarakat, laki-laki itu dipandang sebagai seseorang yang harus punya kekuasaan lebih, seseorang yang diekspektasikan harus kuat. Sehingga, ketika mereka menjadi korban kekerasan seksual akan muncul pertanyaan seperti, “Seharusnya kamu jadi pemimpin. Kenapa bisa jadi korban, sih?”
Saya tidak meniadakan kesulitan yang dialami oleh perempuan karena ketika menjadi korban mereka juga akan tetap mengalami kesulitan. Mayoritas korban pun perempuan. Namun, berbeda dengan laki-laki, sekarang sudah banyak ruang bagi perempuan untuk dapat mengaktualisasi dan menumbuhkan kesadaran perempuan agar tahu bahwa kejadian seperti ini adalah kekerasan dan untuk bersolidaritas.
Sedangkan, untuk laki-laki menjadi PR yang lebih panjang. Kita ambil contoh respons umum lingkaran laki-laki jika ada laki-laki yang di-bully, diancam, atau dipukul akan muncul pertanyaan dalam masyarakat seperti “Gila lo, laki masa gak bisa pukul balik, sih? Masa’ lo digituin gak berani ngelawan? Lo laki atau bukan?”
Kevin: Ada maskulinitas toksik.
Nisa : Benar. Maskulinitas toksik memunculkan pemikiran di masyarakat bahwa laki-laki semestinya tidak bisa jadi korban kekerasan seksual. Jika ada yang berani melaporkan kekerasan seksual yang mereka alami, cerita mereka akan dimentahkan secara langsung, dianggap berbohong atau dianggap menikmati.
Oleh karena itu, gerakan untuk memberantas kekerasan seksual ini harus tetap melibatkan laki-laki.
Yang Diperlukan untuk Pemulihan Korban
Kevin: Kita sudah membahas seputar kekerasan seksual dan bagaimana sulitnya menjadi korban kekerasan seksual. Pertanyaan yang kemudian muncul, apa yang bisa dilakukan untuk membantu korban? Mungkin bisa berangkat dari pengalamanmu sebagai konselor pendamping di Perempuan Berkisah.
Nisa: Ketika kalian dihubungi oleh korban kekerasan seksual, hal pertama yang harus dilakukan adalah mempercayai cerita korban, mendengarkan, dan memvalidasi.
Kemudian, kita bantu untuk mengidentifikasi kebutuhan korban. Apakah ia butuh tempat bersembunyi, atau apakah korban membutuhkan pendampingan konseling dan pendampingan hukum.
Sebenarnya, kalau kita merasa tidak mempunyai cukup kemampuan untuk melakukan identifikasi semacam ini, tidak perlu dilakukan. Cukup mendengarkan dan memvalidasi korban. Lalu, ketika korban siap, bisa rujuk ke komunitas, yayasan, atau LSM yang menyediakan layanan konseling. Pada akhirnya, yang dibutuhkan korban adalah penyediaan layanan konseling, khususnya yang gratis, berkesinambungan, dan memiliki perspektif gender yang baik.
Saya akan menjelaskan sedikit tentang Perempuan Berkisah dan yang kami lakukan. Perempuan Berkisah sendiri menyediakan konseling berbasis etika feminisme. Kami mendampingi korban kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan seksual.
Beda konseling umum dan konseling dengan etika feminis atau perspektif gender, kami berfokus membangun kesadaran, keberdayaan korban dari dalam dirinya, dan agar korban dapat mengurai permasalahan yang menimpanya.
Sehingga, ia dapat membangun potensi yang dimilikinya agar dapat melawan ketidakadilan yang terjadi. Melawan dalam artian korban mampu mengenali dan memaafkan dirinya sendiri, mampu berdaya, serta mampu untuk menjadi seseorang yang lebih kuat. Dia lebih kuat dalam artian mempunyai pemahaman baru atas pengalaman buruk yang terjadi kepadanya serta trauma yang ada sudah tidak mempengaruhi interaksinya dengan masyarakat lagi.
Intinya, konseling berperspektif gender atau berbasis etika feminis adalah konseling yang membebaskan karena yang kami lakukan adalah membebaskan diri dan korban dari konstruksi sosial patriarki, seperti stereotip, dikotomi gender, dan lainnya.
Kevin: Jadi, dapat dipahami bahwa konseling berbasis gender itu adalah konseling yang menyadari dan melawan konstruksi patriarki yang menyebabkan dan melanggengkan kekerasan, termasuk kekerasan seksual.
Nisa: Benar, konseling berperspektif gender membantu mencari akar dari permasalahan yang ada. Bahwa ada struktur sosial bukan yang menjadi akarnya. Bukan masalah tunggal pelaku dan korban semata. Sehingga, korban dapat menyadari kalau apa yang terjadi padanya bukan kesalahannya tapi ada akar yang lebih dalam dan masalahnya struktural. Ketika sudah tahu akar masalahnya, maka akan lebih mudah untuk mengidentifikasi langkah-langkah selanjutnya yang paling tepat untuk dilakukan. Apakah berdamai dengan diri sendiri dan trauma sudah cukup? Apakah mau mengambil langkah hukum? Dan seterusnya.
Maka, peran pendamping dan konselor di ruang aman adalah membantu korban untuk mengidentifikasi masalahnya sendiri dan mengetahui akar dari masalah. Supaya dalam prosesnya korban mampu mengenali permasalahan serta akarnya secara persona dengan didampingi konselor pendamping.
Superhero-nya korban adalah dirinya sendiri. Yang paling penting adalah korban bisa berdiri sendiri atas kesadaran dan kemampuannya.
Kevin: Selama menjadi konselor pendamping, adakah semacam pola umum yang kamu temui pada para korban? Seperti apa saja?
Nisa: Tentunya ada. Setiap kasus kekerasan seksual berbasis gender pasti akan meninggalkan trauma kepada korban. Bentuknya beragam. Bisa berupa seperti menarik diri dari masyarakat, bahkan paling parah bisa sampai ia harus di rawat di rumah sakit karena tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari seperti makan dan minum.
Pola yang lain adalah korban merasa kesulitan untuk bercerita. Sebab, ada ketakutan ceritanya tidak patut didengar. Bisa juga korban denial dan mengerdilkan perasaannya bahwa kekerasan seksual yang dialaminya “tidaklah seberapa” dengan penderitaan orang lain. Padahal, penderitaan sudah membuat dirinya tidak bisa menjalani kehidupannya seperti biasa.
Ada juga pola di mana korban sulit untuk mengenal dan memaafkan dirinya sendiri. Kekerasan seksual yang terjadi seperti melemparnya dari dunia nyata. Korban menjadi kehilangan konsep dirinya sendiri. Sehingga, korban sangat kesulitan untuk berdamai dengan diri sendiri.
Terkait relasi korban dan pelaku, setidaknya ada dua pola umum. Pola pertama adalah korban tidak mau memaafkan pelaku. Namun, pola kedua, ada juga korban yang mau pelaku bertanggung jawab dan membangun interaksi lagi dengan pelaku.
Untuk pola kedua, biasanya kami bantu korban untuk melihat kembali apakah keputusannya diambil dengan penuh kesadaran atau tidak. Dan, kita bantu lagi korban untuk memetakan pilihan dan konsekuensi yang menyertainya. Ini penting agar korban terbantu dalam menyusun pertimbangan dan mengambil keputusan.
Jika korban sudah menumbuhkan kesadaran dan pengetahuan, dia akan mulai sadar untuk melakukan terapi self healing atau cara-cara lain untuk pulih. Di tahap inilah korban dapat disebut sebagai penyintas.
Sekilas informasi, korban adalah mereka yang belum mempunyai kesadaran dan keberdayaan atas apa yang terjadi terhadap mereka. Dalam artian, korban mengetahui mereka itu korban kekerasan seksual, namun belum memiliki kekuatan untuk bangkit dari keterpurukan. Yang dilakukan konseling berperspektif gender adalah membuat korban bertransformasi menjadi penyintas.
Kevin: Kita sudah ngobrol panjang soal Perempuan Berkisah menyediakan konseling. Bisa kamu bagikan informasi terkait akses layanan konseling berperspektif gender lainnya?
Nisa: Akses layanan konseling sendiri sekarang sudah banyak. Korban kekerasan seksual dianjurkan untuk mengakses konseling melalui komunitas-komunitas yang berfokus di isu gender.
Beberapa di antaranya bisa kita akses melalui Perempuan Berkisah bersama @konselorfeminis, carilayanan.com, Samahita Bandung, dan Yayasan Pulih. Untuk kasus kekerasan oleh pasangan ada HelpNona. Untuk konseling berbayar ada TigaGenerasi. Bisa juga akses lewat akun-akun media sosial jaringan feminis, seperti @jakartafeminist dan @_perempuan_. KOMPAKS (Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual) juga punya layanan yang bisa diakses lewat komunitas-komunitas tadi.
Lia: Kalau orang awam yang bukan konselor, bagaimana cara yang bisa kami lakukan untuk mendampingi korban kekerasan seksual?
Nisa: Sambut mereka dengan penuh empati. Saat mereka datang menangis atau terdiam, tawarkan saja mereka mau apa. Entah mereka mau cerita, minum, dipeluk, ditemani karena takut sendiri, atau apapun itu.
Kalau mereka bercerita, dengarkan dengan seksama dan validasi ceritanya dengan menunjukkan lewat ekspresi dan gestur bahwa kita betul-betul peduli dengan ceritanya. Kalau kita tidak bisa memahami ceritanya dengan baik, jujur saja kepada korban. Katakan bahwa kita tidak sepenuhnya paham betapa sakitnya kejadian yang menimpanya. Namun, pastikan korban tahu kita berada di sisinya dan mau membantu apa saja yang saat ini dia butuhkan. Kalau tidak cukup bercerita saja, tawarkan untuk konseling. Jangan memaksa, tawarkan saja.
Itu yang bisa dan penting dilakukan orang terdekat korban. Kalau melakukan tahap-tahap selanjutnya, orang awam belum tentu berkapasitas untuk itu.
Jangan lupa pula untuk sadar kesehatan diri sendiri. Kalau sedang lelah, kasih jarak dulu dari korban. Apabila energi kita habis, maka akan sulit untuk menemani dan membantu korban. Maka dari itu, tidak dianjurkan untuk menemani korban sendirian tanpa dampingan dari pihak eksternal “netral”, seperti penyedia layanan konseling. Orang terdekat bisa mudah terpengaruh energi negatif dari korban yang berujung pada burn out dan depresi.
Jadi, ketika ada korban kekerasan seksual meminta bantuan, jangan jadikan upaya kita untuk membantu malah menginternalisasi patriarki ke korbannya. Akibat kita merasa paling tahu korban butuh apa dan mendiktenya, sampai lupa bertanya korban butuh apa. Misalnya, ngotot memaksa menempuh jalur hukum atau speak up padahal korban tidak atau belum butuh.
Kebutuhan korban adalah prioritas. Yang paling baik menurut kita belum tentu benar. Oleh karena itu, ketika menjadi pendamping sebagai orang terdekat korban, pikirkan kondisi korban dan jangan gegabah.
Reporter: Kevin Aryatama dan Lia Bonita Anggreini
Penulis: Kevin Aryatama dan Lia Bonita Anggreini
Editor: Zahra Zarina