Oleh : Ramsyah Al Akhab
Pandemi covid-19 tidak hanya merusak tubuh manusia tetapi turut merusak tubuh ekonomi dunia. Terpaksanya menerapkan lockdown dan social distancing mengakibatkan ekonomi secara global melemah. Pasar dan perputaran uang menjadi tidak stabil. Hal ini mengingatkan kita kepada mimpi buruk 1998 dan 2008. Pada tulisan ini, penulis ingin mengajak pembaca yang budiman melihat kondisi ekonomi di lapangan dan mencari solusi untuk masalah yang sedang dihadapi oleh negara kita Indonesia dan terkhusus untuk Negeri Serumpun Sebalai, Bangka Belitung.
Mari berkaca saat Indonesia mengalami krisis moneter 1998. UMKM (Usaha Mikro, kecil dan Menengah) dan koperasi menjadi penyangga ekonomi nasional saat krisis ekonomi menggerogoti tubuh Indonesia. Sementara itu, pada 2008 di masa krisis keuangan, UMKM tetap kuat menopang perekonomian. Tetapi sialnya, UMKM dan koperasi saat ini justru terancam karena adanya imbas dari lockdown dan social distancing sehingga perlu diselamatkan.
Pembaca yang budiman, terdapat 116 juta orang yang bekerja di sektor UMKM di Indonesia. Data tahun 2017 dari Kementerian Koperasi dan UMKM menunjukkan sektor ini menyerap tenaga kerja hingga 97%, sekaligus penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 60%. Jumlah UMKM yang tersebar di Indonesia sebanyak 62,9 juta unit yang meliputi perdagangan, pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan, pertambangan, pengolahan, bangunan, komunikasi, hotel, restoran dan jasa-jasa. Oleh karena dasar inilah, UMKM dan koperasi menjadi pedang yang harus tetap terjaga tajamnya guna menebas krisis ekonomi akibat pandemi ini.
Bila pembaca budiman melihat dari sisi yang sedikit berbeda maka hal ini memberikan isyarat tantangan untuk Indonesia Berdikari (Berdiri Di Bawah Kaki Sendiri). Pemerintah ditantang untuk dapat saling membahu dengan masyarakat guna menguatkan sektor UMKM dan koperasi. Hal ini tentunya guna menekan angka pengangguran akibat PHK dan menjaga perputaran uang tetap berjalan.
Lalu langkah apa yang dapat diambil? Hal pertama yang kudu dilakukan adalah memprioritaskan pengalokasian dana baik APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional) dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) serta refocusing kebijakan untuk memberikan insentif ekonomi untuk pelaku usaha koperasi dan UMKM. Hal ini dapat diimplementasikan baik untuk pemodalan ataupun pemasaran.
Bila pembaca budiman perhatikan dilapangan, tidak sedikit UMKM yang modalnya dari dana peminjaman sehingga pada masa pandemi ini sulit untuk melakukan pembayaran cicilan. Oleh Karena diperlukan adanya relaksasi kredit berupa penundaan cicilan dan penurunan bunga untuk pelaku koperasi dan UMKM yang melakukan peminjaman modal dan membayar melalui kredit.
Penulis ingin mengajak pembaca yang budiman lebih menjuruskan perhatian di Bangka Belitung. Ada sekitar 18 ribu usaha UMKM di Bangka Belitung. 18 ribu usaha UMKM ini harus kita maksimalkan produktivitas dan pemasarannya. Salah satu usaha yang menjadi prioritas di lapangan Bangka Belitung adalah memaksimalkan pemasaran melalui media online. Pemerintah, terutama dinas koperasi dan UKM (Usaha Kecil dan Menengah) harus sesegera mungkin menyingsing lengan baju untuk melakukan edukasi kepada masyarakat. Selanjutnya, hal yang tidak kalah penting adalah melakukan brending produk UMKM Bangka Belitung oleh setiap lini pemerintah serta melakukan kampanye untuk lebih memprioritaskan belanja produk UMKM kepada masyarakat Bangka Belitung.
Penulis menegaskan kembali kepada pembaca yang budiman bahwasanya ini adalah ajang untuk Indonesia Berdikari. Pemerintah kudu melihat ke bawah dan menciptakan atmosfer yang baik untuk perkembangan koperasi dan UMKM rakyat Indonesia karena pondasi terbesar ekonomi Indonesia saat ini adalah UMKM. Kita sebagai rakyat Indonesia kudu sadar dan insaf untuk lebih menghargai dan memprioritaskan produk UMKM.
(Ramsyah Al Akhab/Red LPM UBB)