Ilustrasi oleh : Esfaranza Ratu Suwendah

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran merupakan Undang-Undang yang mengatur mengenai prinsip-prinsip penyelenggaraan penyiaran yang berlaku di Indonesia. Undang-Undang Penyiaran pada draft revisi terbaru menimbulkan kontroversi yang berkelanjutan tanpa ada solusi dan penyelesaian sampai sekarang. Pro dan kontra akibat dari perubahan RUU Penyiaran ini masih berlanjut hingga sekarang. RUU Penyiaran ini diprediksi akan mengancam kebebasan pers dan demokrasi di Indonesia. Sejumlah pasal pada draft revisi terbaru RUU Penyiaran sangat berpotensi menjadi alat kekuasaan untuk membatasi kebebasan sipil dan partisipasi publik. Sebagai pilar keempat demokrasi, media punya peran strategis dan taktis dalam membangun demokrasi. Khususnya yang melibatkan masyarakat sebagai fungsi Watchdog.

Revisi UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang merupakan inisiatif DPR bertolak belakang dengan semangat demokrasi dan menjadi polemik di masyarakat. Hal ini karena draft naskah RUU per 24 Maret 2024 yang sedang berproses di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, terkait Standar Isi Siaran (SIS) yang memuat batasan, larangan, dan kewajiban bagi penyelenggara penyiaran serta kewenangan KPI. Secara tersurat, memuat ketentuan larangan liputan Jurnalisme Investigasi. Rancangan tersebut tentu bermasalah dan patut ditolak agar tidak mengancam kebebasan pers, dan menjadi kabar buruk bagi masa depan gerakan antikorupsi di Indonesia.

Untuk membahas permasalahan ini, Anggie Tri Syafitri dan Kartini dari LPM Alternatif mewawancarai Barlyanto selaku Ketua Aliansi Jurnal Independen (AJI) Kota Pangkalpinang.

Kartini : Bisa dijelaskan sedikit, apa itu RUU Penyiaran dan mengapa banyak menuai pro dan kontra terhadap RUU ini?

Barlyanto :  UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Dalam UU ini, terdapat Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Saat ini, penyiaran masih menggunakan sistem analog dan frekuensi.

Namun, dengan perkembangan teknologi digital, ada keinginan untuk beralih dari analog ke digital, yang mengakibatkan adanya moratorium perizinan. Oleh karena itu, diperlukan revisi UU Penyiaran karena RUU yang ada sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini. Saya sendiri pernah menjabat di bidang penyiaran provinsi selama periode 2014-2018 dan terlibat dalam pembahasan mengenai peralihan dari analog ke digital. Meskipun pada saat itu pembahasan belum selesai, termasuk mengenai siapa yang akan mengelola frekuensi antara single mux dan multi mux. Perdebatan ini terus berlanjut karena frekuensi analog hanya bisa digunakan oleh satu pengguna, sementara frekuensi digital bisa digunakan oleh banyak pengguna.

Frekuensi dalam aturan ini merupakan milik publik dan lembaga penyiaran, baik radio maupun televisi, tidak boleh menyiarkan konten yang hanya untuk kepentingan pribadi. Misalnya, acara pernikahan Raffi Ahmad tidak boleh ditayangkan selama berjam-jam karena hak siar adalah milik publik. Banyak lembaga penyiaran yang mendapat peringatan karena pelanggaran ini. Begitu pula dengan penyiaran lagu Perindo yang melanggar undang-undang, dikenakan sanksi. Selama ini, UU Penyiaran hanya mengatur soal analog dan frekuensi, belum mengatur soal digitalisasi. Hal ini menjadi masalah karena menyebabkan ketertinggalan zaman. Selain itu, ada ketidakjelasan dalam pengaturan pemantauan internet dan data internet, apakah diatur oleh UU ITE, UU Penyiaran, atau Kominfo. Tiba-tiba muncul pasal baru yang tidak dijelaskan dengan baik.

Masalah utamanya adalah mengenai kewenangan. Misalnya, jika lembaga A melakukan pelanggaran, Kominfo yang memberikan sanksi terkait isi penyiaran, apakah itu produk jurnalistik atau hiburan? Jika hiburan, tetap di bawah Kominfo dan KPI. Namun, jika jurnalistik, masuk ke ranah Pers. Hal ini menimbulkan masalah karena Pasal 8 memberikan kewenangan kepada KPI untuk memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan Pedoman Perilaku Penyiaran serta Standar Program siaran, padahal produk jurnalistik sudah diatur oleh UU Pers No. 40 Tahun 1999.

Jadi, masalahnya adalah tumpang tindih kewenangan, bukan pertentangan pasal. Kewenangan dalam pers bekerja seperti, jika terjadi sanksi atau konflik terkait karya jurnalistik, tidak bisa langsung ditangani oleh Kepolisian. Pihak yang merasa keberatan harus melaporkannya ke Dewan Pers terlebih dahulu. Dewan Pers kemudian akan mempertimbangkan apakah kasus tersebut masuk ke ranah jurnalistik atau kriminal/pidana. Namun, jika KPI yang menangani, situasinya menjadi berbeda. Ini adalah inti masalahnya.

UU Pers tahun 1999 sudah jelas dan tidak mengandung sanksi pidana. Jika ada pelanggaran, pelakunya diminta untuk meminta maaf, misalnya dengan memasang iklan selama 10 hari berturut-turut yang bermanfaat. Tidak ada pidana di situ, inilah yang membedakan UU Pers dengan UU ITE dan UU Penyiaran. Teman-teman merasa keberatan jika kewenangan diambil alih oleh Kominfo atau KPI, seperti yang diatur dalam Pasal 50B Ayat 2 yang melarang Jurnalisme Investigasi. Hal ini menjadi masalah karena jurnalisme investigasi adalah puncak karya jurnalistik. Melarangnya berarti menghalangi kebebasan pers, yang fungsinya meliputi pendidikan, hiburan, ilmu pengetahuan, informasi, dan kontrol sosial. Jurnalisme investigasi adalah bagian dari kontrol sosial, dan jika tidak dijalankan, fungsi pers tidak terpenuhi.

Ada juga larangan penayangan isi siaran yang menyajikan konten perilaku homoseksual, biseksual, transgender dan lesbian. AJI sebenarnya bukan membela LGBT-nya, tetapi membela hak-hak mereka. Mereka memiliki hak yang sama sebagai manusia untuk berekspresi dan mendapatkan pendidikan. Dengan adanya pasal ini, dapat menjauhi dan memperburuk keadaan. Jadi, permasalahannya bukan pada pertentangan pasal, tetapi pada kewenangan yang bercampur aduk dengan kewenangan lain.

Anggie: Tadi kamu menyinggung Pasal 50B Ayat 2 tentang larangan Jurnalisme Investigasi. Jurnalisme investigasi ini bagian dari hak masyarakat untuk mendapatkan informasi. Namun dengan adanya RUU ini, masyarakat Indonesia secara perlahan dibungkam dan terbatas dalam mendapatkan informasi. Menurut pendapatmu, bagaimana justifikasi hukum adanya larangan tersebut mengingat jurnalisme investigasi itu penting?

Barlyanto :  Sangat penting, karena undang-undang ini belum final dan belum disahkan. Kita harus menolak karena masyarakat berhak mengetahui detail terkait berbagai persoalan. Bagaimana kita bisa membongkar kasus korupsi jika investigasi tidak dilakukan? Kebebasan masyarakat untuk mengetahui informasi akan dibungkam, sehingga informasi penting tidak akan terungkap. Oleh karena itu, sangat penting untuk menolak. Masyarakat harus mendapatkan informasi, dan wartawan memiliki kewajiban untuk menyampaikan informasi yang benar sesuai dengan kode etik.

Dalam produk jurnalistik, ada 11 kode etik dan di AJI memiliki 23 kode etik yang lebih detail. Ini termasuk larangan membungkam informasi, kecuali jika berhubungan dengan keamanan negara atau bisa memicu kerusuhan dan peperangan. Selain itu, kita harus jujur dalam menyampaikan informasi.

Kartini : Jika RUU ini disahkan, apa respon dan tindakan yang akan dilakukan untuk menolak RUU Penyiaran ini? Apakah ada kemungkinan untuk melakukan aksi lebih lanjut?

Barlyanto : Selama ini, selain menolak secara langsung, teman-teman di AJI Indonesia telah melakukan berbagai uji coba ke Dewan, DPR RI, Dewan Pers, dan KPU. Namun, tidak ada penyelesaian, jadi kami turun ke jalan sebagai salah satu langkah. Kami berkoalisi dengan LBH dan jaringan-jaringan seperti Komnas Perempuan, jaringan-jaringan ini merupakan andalan kami.

Kita fokus pada kemungkinan lobi di pusat, tapi saat ini masih menunggu apakah undang-undang tersebut akan disahkan atau tidak. Baru-baru ini, kami sudah melakukan aksi, bukan hanya di Bangka, tetapi juga di seluruh Indonesia. Setelah aksi tersebut, undang-undang itu ditarik kembali dari badan legislatif dan dikembalikan ke fraksi masing-masing. Sekarang kami menunggu hasil selanjutnya. Alhamdulillah, setelah aksi, pihak legislatif cukup marah dan akhirnya menarik rancangan tersebut untuk diperhatikan lebih lanjut. Kami masih menunggu perkembangan terbaru. Legislatif belum berani mengeluarkan versi baru dari undang-undang itu.

Kami tetap waspada karena kemungkinan ada rintangan baru, terutama dengan pemerintah yang baru ini yang mungkin lebih represif. Kami tidak tahu pasti bagaimana mereka akan mengatur agar pemerintah berjalan lancar tanpa masalah. Itulah yang kami khawatirkan.

Anggie : Seberapa besar ruang bagi para jurnalis untuk menolak adanya RUU Penyiaran ini? Atau mungkin dari AJI memiliki strategi sendiri?

Barlyanto : Sebenarnya sekarang situasinya 50-50 karena kita sudah memberikan pemahaman. Dulu saat kita bergerak sendiri, lalu menggandeng Dewan Pers, setelah itu Dewan Pers bersuara. Kemudian, kita juga menggandeng KPI, dan KPI juga merasa ada tumpang tindih. Sekarang, lobi kita di DPR RI berjalan 50-50. Jadi, seperti yang saya katakan tadi, kami juga terkejut munculnya pasal itu karena selama saya menjadi demisioner di KPI, kami tidak pernah membahas pasal tersebut. Sejak 2019, kami tidak pernah membahas pasal itu dan tidak ada dalam draft kami. Yang kami bahas adalah bagaimana pemindahan dari analog ke digital, migrasinya bagaimana, siapa yang bertanggung jawab, serta frekuensi lembaga penyiaran. Tiba-tiba pasal ini muncul dan kami terkejut. Makanya, kami tidak tahu siapa yang memasukkan pasal-pasal ini, jadi dikembalikan lagi ke fraksi. Jadi, situasinya sekarang 50-50.

Kartini : Tadi kamu menyebutkan pasal yang melarang penayangan isi siaran yang menyajikan perilaku lesbian, homoseksual, biseksual, dan transgender. Bagaimana menurutmu, apakah RUU Penyiaran ini bisa berdampak negatif atau bahkan fatal bagi Komnas Perempuan?

Barlyanto : Di Komnas Perempuan, kebebasan berekspresi sangat penting dan pembatasan tersebut akan menghambat mereka. Komunitas Komnas Perempuan banyak berhubungan dengan isu LGBT, dan mereka berusaha merangkul individu agar tidak semakin terpuruk. Jika kebebasan berekspresi mereka dibatasi, mereka akan kehilangan kepercayaan diri karena mereka sering tampil dalam acara-acara.

Seharusnya pemerintah memberikan solusi yang jelas, termasuk alokasi anggaran dari APBD dan APBN. Dampaknya akan signifikan, terutama bagi komunitas seperti Konde.id yang dikelola oleh orang-orang AJI dan fokus pada isu perempuan. Mereka tidak bisa tampil dan berekspresi jika pemerintah tidak memiliki anggaran yang cukup untuk mendukung mereka. Mereka membutuhkan kontrol, bukan pembatasan, agar dapat mencari mata pencaharian. Pembatasan ini semakin memperkecil peluang kebebasan berekspresi mereka. Hal ini bisa berakibat fatal, karena ini tidak hanya tentang kelompok marginal, tetapi juga proletar. Kita bukan membela LGBT atau hal semacamnya, tetapi mereka juga membutuhkan pengakuan, hak untuk mendapatkan pendidikan, dan penghasilan yang layak.

Anggie : Pasal 34F Ayat 2 yang mewajibkan penyelenggara platform digital penyiaran untuk memverifikasi konten siaran mereka ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) itu bagaimana?

Barlyanto : Jadi, kita kembali lagi ke Undang-Undang Penyiaran. Seperti yang telah saya katakan sebelumnya mengenai Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS), verifikasi telah dilakukan ketika lembaga penyiaran mengajukan izin. Di KPI, ada tiga bidang utama yaitu kelembagaan, struktur penyiaran, dan pengawasan isi siaran. Saat lembaga penyiaran mengajukan izin, semua sudah diperiksa dan di sini sering terjadi tumpang tindih. Misalnya, lembaga A ingin mengisi siaran di Bangka Belitung dan mengajukan proposal, maka kita sudah melihat isi acaranya. Kita akan menanyakan tujuan acara tersebut, waktu penayangannya, sehingga sebenarnya pasal tambahan tidak diperlukan lagi. Ketika mengajukan izin, bidang pengawasan penyiaran sudah melakukan verifikasi.

Misalnya, acara untuk dewasa tidak boleh tayang sebelum jam 9 malam. Iklan rokok juga tidak boleh menampilkan produk rokoknya dan hanya boleh tayang setelah jam 9 malam. Semua ini sudah diverifikasi saat izin diajukan. Jam 7 malam adalah waktu utama dan kita sudah memverifikasi acara apa saja yang akan ditampilkan serta iklannya. Mereka tidak boleh menayangkan berita-berita kotor pada waktu tersebut, karena banyak anak-anak yang menonton. Jika aturan ini dimunculkan lagi, itu aneh karena sudah diverifikasi saat izin diberikan.

Kita juga melihat acara yang tayang setelah jam 9 malam. Jadi, misalnya acara yang tayang jam 7 malam itu adalah acara utama yang banyak ditonton, sehingga memiliki nilai lebih. Mereka harus menyertakan detail jam tayang, durasi, dan model acara dalam proposal mereka secara akurat. Ini sangat bertentangan dengan undang-undang sebelumnya. Verifikasi bisa dilakukan oleh agensi terkait atau Dewan Pers, bukan KPI.

Kartini : bagaimana saran dan harapan kamu terkait RUU Penyiaran ini agar tidak ada pihak yang dirugikan?

Barlyanto : Jadi, yang kami harapkan adalah agar beberapa pasal dalam UU Penyiaran dicabut. Kami tidak mempermasalahkan kapan undang-undang tersebut akan disahkan, tetapi kami menekankan bahwa Undang-Undang Penyiaran perlu di revisi karena sudah tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini yang serba digital, sementara UU Nomor 32 Tahun 2002 masih mengatur penyiaran analog dan frekuensi. Hal ini sudah sangat ketinggalan zaman. Negara-negara seperti, Australia dan Filipina sudah beralih dari analog ke digital sejak lima tahun yang lalu, sedangkan kita masih tertinggal. Seharusnya, perubahan RUU Penyiaran harus segera dilakukan, namun pasal-pasal yang bermasalah harus dicabut. Kami mendukung perubahan ini untuk kemajuan penyiaran, dengan catatan bahwa pasal-pasal yang bertentangan dihapus.

Pada prinsipnya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 memang mengatur tentang Penyiaran, sekaligus penyelenggaraan dalam penyiaran yang berlaku di Indonesia. Akan tetapi, karena kurangnya keterbukaan publik terkait perubahan draft Rancangan Undang-Undang Penyiaran ini menjadi pemicu kontroversi yang menjadi alasan terjadinya aksi massa di seluruh Indonesia. Kontroversi ini semakin membludak di masyarakat khususnya di kalangan jurnalis. Alasan kuat mereka melakukan penolakan terkait Rancangan Undang-Undang Penyiaraan ini dikarenakan adanya perubahan beberapa pasal di dalam rancangan terbarunya yang dianggap tidak sesuai. Sekaligus adanya tumpang tindih bagi penyelenggaraan penyiaran Indonesia ke depannya. Indikasi pembatasan kebebasan pers dalam menyuarakan aspirasi masyarakat juga terancam dengan adanya perubahan Rancangan Undang-Undang Penyiaran ini. Pemerintah diharapkan melakukan evaluasi ke depan nya apabila ingin melakukan perubahan terkait Rancangan Perundang-undangan yang melibatkan hak dan kesejahteraan hidup rakyat. Keterbukaan dan diskusi publik harus terus dilakukan agar transparansi informasi dan aspirasi dapat terealisasi.

Reporter: Anggie Tri Syafitri & Kartini

Penulis: Anggie Tri Syafitri, Esfaranza Ratu Suwendah, Salwa Nabila, & Yoga Susanto.

Editor: Debri Liani

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *