24 September diperingati sebagai Hari Tani Nasional, sebab Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau kita kenal sebagi UUPA disahkan pada tanggal tersebut. UUPA lahir pada proses sejarah yang rumit, berangkat dari awal kemerdekaan Indonesia pada 1945 lalu persoalan Agraria merupakan persoalan yang sejak awal sudah diperhatikan pemerintah. Pemerintah Republik Indonesia telah menyadari bahwa perlunya suatu program pembangunan, terutama yang memihak kepentingan rakyat, perlu dilandasi terlebih dahulu dengan penataan kembali masalah pertanahan.
UUPA yang lahir pada 1960 dilatarbelakangi oleh paradigma bahwa masyarakat terbanyak pada saat itu bekerja sebagai petani menjadi semangat awal dari kelahiran hukum pertanahan yang baru mengganti produk hukum agraria yang menganut sistem kolonial. Prinsip UUPA adalah menempatkan tanah untuk kesejahteraan rakyat. UUPA mengatur pembatasan penguasaan tanah, kesempatan sama bagi setiap warga negara untuk memperoleh hak atas tanah, pengakuan hukum adat, serta warga negara asing tak punya hak milik.
Kemudian lengsernya Pemerintah Orde Lama yang selanjutnya dipimpin oleh Pemerintah Orde Baru perlahan mengikis semangat reforma agraria. UUPA yang seyogyanya menjadi cita-cita, dicap sebagai produk komunis. Semangat tanah untuk rakyat telah berubah menjadi tanah untuk investasi (Investore Ekstraktive) ditambah dengan banyaknya izin konsesi yang diterbitkan.
Ketimpangan struktur penguasaan dan konflik agraria masih kerap terjadi. Bersumber dari laman Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), monopoli kekuasaan agraria terjadi nyaris di seluruh sektor kehidupan rakyat. Dari seluruh wilayah darat Indonesia, 71 persen berdiri dan berkuasa korporasi kehutanan, 16 persen dimiliki korporasi perkebunan, 7 persen oleh para konglomerat, sisanya sangat sedikit untuk rakyat kecil yaitu 4 persen wilayah darat. Pada tahun 2019, menurut catatan KPA, bahkan telah terjadi sebanyak 279 konflik agraria dengan luasan wilayah konflik mencapai 734.239,3 hektar. Jumlah masyarakat terdampak konflik agraria tahun ini sebanyak 109.042 kepala keluarga yang tersebar di 420 desa, di seluruh provinsi di tanah air. Sedikitnya 455 petani dikriminalisasi/ditahan; 229 petani mengalami kekerasan; dan 18 orang petani tewas di medan konflik agraria. Sedangkan reformasi agraria tak terjalankan.
Di Bangka Belitung sendiri, permasalahan lahan sampai saat ini pun masih belum juga terselesaikan. Wilayah yang kaya akan keaneka ragaman hayati serta sumber daya alam yang melimpah ruah seharusnya mendorong ekonomi yang berkelanjutan. Mari tarik garis lurus ke belakang, tepatnya tahun 2019 dan 2020. Di motori oleh gerakan mahasiswa, BEM KM UBB bersama para mahasiswa yang lain berduyun-duyun menggeruduk Kantor DPRD Provinsi, mempertanyakan soal kesejahteraan tani di Bangka Belitung.
Pemerintah Bangka Belitung dianggap tidak serius dalam menanggapi permasalahan agraria. Keresahan masyarakat dengan hilangnya hak atas tanah dan merosotnya harga komoditi tidak mendapatkan respon serta upaya konkret dari Pemprov Bangka Belitung guna mengatasi permasalahan struktural. Pernyataan sikap KM UBB pada tahun 2019 lalu:
- Cabut izin konsesi HTI PT.BRS di Bangka Barat, kembalikan wilayah kelola rakyat dengan izin Perhutanan Sosial dalam skema Hutan Desa.
- Cabut izin HGU industri kelapa sawit skala besar yang mengekspansi wilayah kelola rakyat dan menimbulkan kerusakan ekologis.
- Laksanakan upaya dalam menghentikan monopoli dagang dan produksi komoditas petani di Bangka Belitung.
- Laksanakan pembangunan industri hilir komoditi lada melalui BUMD.
- Laksanakan sistem resi gudang secara konsisten sesuai ketentuan UU No 9 Tahun 2006.
- Menolak RZWP3K yang tidak berpihak pada hajat hidup masyarakat pesisir dan nelayan.
Sempat disambangi oleh Presiden Mahasiswa serta Gubernur Mahasiswa tiap fakultas yang difasilitasi oleh pihak DPRD Provinsi bertandang ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI pada 2019 lalu namun sampai saat ini tuntutan tersebut masih belum terwujud realisasinya.
Kemudian, berlanjut pada Hari Tani 2020 dalam nuansa Pandemi Covid-19 yang pada saat itu sedang hangat-hangatnya para mahasiswa tetap konsisten membangun gerakan kembali menyuarakan keresahan masyarakat. Melalui audiensi terbuka tuntutan yang disampaikan yaitu:
- Menuntut Pemerintah Pusat (KLHK), Gubernur dan DPRD Provinsi Kep. Babel untuk segera menindaklanjuti, melaksanakan dan melakukan pengawalan secara penuh terhadap tuntutan aksi hari tani 2019, diantaranya :
a. Cabut izin konsesi HTI PT BRS di Bangka Barat, kembalikan wilayah kelola rakyat dengan izin perhutanan sosial dalam skema hutan desa.
b. Cabut izin HGU Industri kelapa sawit sekala besar yang mengekspansi wilayah kelola rakyat dan menimbulkan kerusakan ekologis.
c. Laksanakan upaya dalam menghentikan monopoli dagang dan produksi komoditas petani di Bangka Belitung. - Melakukan Penegasan, peninjauan dan evaluasi terhadap RT/RW di masing-masing kabupaten dalam peruntukan pemanfaatan lahan dan kawasan hutan di Bangka Belitung.
- Meninjau kembali dan mencabut izin terhadap HGU/IUP yang lahan produksinya sudah tidak lagi mumpuni untuk menghindari bencana dan kerusakan ekologis skala besar di Babel dikemudian hari.
- Mendesak Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung untuk memperbaiki harga komoditas pertanian dengan melakukan pengawalan kebijakan mulai dari pembibitan, pengelolaan dan pendampingan terhadap para petani di Bangka Belitung.
- Menutut Pemerintah untuk segera menyelesaikan konflik agraria yang terjadi di Babel agar tercapainya kedaulatan agraria dan reforma agraria sejati.
Bahkan sampai saat ini tuntutan yang dimaksud masih sama, tak kunjung usai dan tak akan selesai. Artinya, gerakan mahasiswa masih tetap dinanti untuk tetap berdiri dibarisan paling depan bersama masyarakat menyuarakan ketidakadilan. Namun, untuk Hari Tani pada tahun ini, BEM KM UBB tampaknya tidak menginisiasikan gerakan. Menjadi tanda tanya di benak mahasiswa yang lain, mengapa tak menuntut lagi?
Padahal beberapa waktu lalu, bersama Polda Babel melakukan kerjasama mensukseskan program pemerintah yaitu vaksinasi besar-besaran. Menjelang hari tani, biasanya seruan konsolidasi selalu tersebar luas ke seluruh lapisan mahasiswa. Aksi musiman yang kerap dijalankan, namun nihil realisasi dari pemerintahan. Apa yang menyebabkan UBB hari ini absen menyuarakan konflik agraria khususnya di Bangka Belitung yang sampai saat ini tak kunjung usai masih belum diketahui. Mungkin BEM KM UBB sedang merencanakan gerakan yang lain, tetapi apa boleh buat. Seruan selalu datang pada puncak tertinggi yaitu BEM KM UBB selaku lembaga tinggi yang bergerak diranah eksekutif. Jika siap mensukseskan program pemerintah besar-besaran, maka artinya siap mengkritisi peran pemerintah habis-habisan.
Oleh Arie Hidayat, Redaktur LPM UBB