Oleh Gumiwang Aji Darma
(Mahasiswa FH UBB)

Sebagaimana berdasarkan data yang dikeluarkan oleh APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), hasil survey menunjukkan bahwa pada tahun 2020 terdapat 72% penduduk Indonesia yang telah mengakses internet. Hal ini tentunya secara tidak langsung berdampak kepada pengaruh yang akan ditimbulkan, dimana bisa mempengaruhi perilaku pemilih hanya berdasarkan interaksi intens yang terjadi di dunia maya. Termasuk penyebaran hoax dan aktivitas kecurangan yang terjadi dalam lingungan internet, sehingga sangat penting apabila harus adanya lembaga-lembaga yang melakukan pengawasan terhadap hal-hal tersebut.

Selain permasalahan hoax dan kecurangan di media sosial, terdapat tantangan lain dari masih adanya kelemahan-kelemahan dalam landasan peraturan-perundangannya seperti UU No. 7 Tahun 2017 dan UU No. 10 Tahun 2016 yang dinilai masih memiliki beberapa kekurangan dan semestinya direvisi agar bisa menyiapkan Pemilu Serentak 2024 yang lebih baik.
Satu hal yang harus menjadi catatan kita dalam memproyeksikan pemilu tahun 2024 adalah harus adanya perubahan terhadap UU pemilu yang diharapkan masuk kedalam proglegnas tahun 2021, namun yang pada kenyataannya untuk tahun ini tidak masuk kedalam daftar proglegnas DPR. Perubahan terhadap UU ini tentunya memiliki dasar diantaranya karena adanya penyatuan dalam pemilu ditingkat pusat dan ditingkat daerah yang harus adanya pembaruan dan penyesuaian regulasi yang ada.

Menurut Dr. Ratna Dewi Pettalolo, S.H., M.H. (Anggota Bawaslu RI 2017-2022), sebaik apapun penyelenggara Pemilu namun apabila UU nya bermasalah, maka potensi nya akan tetap sama dan sulit untuk diselesaikan. Selain itu, setiap tahun kontestasi pemilu yang orientasinya lebih kepada ketokohan dan belum bergeser kepada bagaimana kontestasi itu menghadirkan sebuah pencerahan dengan melakukan adu gagasan yang bisa mengadukan konsep-konsep baru untuk melahirkan kepemimpinan yang dapat membawa perubahan kepada periode-periode berikutnya.

Berkaca dari Pemilu tahun 2019 sebelumnya, dikarenakan penyelenggaraan pemilu yang menyatukan antara pemilu legislatif dan pemilu eksekutif, dimana pada pelaksanaannya hanya menjadikan masyarakat lebih berfokus kepada pemilihan eksekutif/presiden saja. Dan sangat sedikit masyarakat yang fokus terhadap pengenalan mengenai siapa saja calon-calon yang terdapat dalam pemilihan legislatif. Hal ini juga dibuktikan oleh Bawaslu pusat yang menyatakan bahwa ada banyaknya surat suara legislatif yang rusak. Sehingga untuk permasalahan yang terjadi adalah adanya konsentrasi masyarakat yang lebih condong untuk berfokus pada pemilihan presiden. Dikhawatirkan apabila tidak adanya perubahan terhadap UU, desain surat suara, serta tidak adanya perubahan terhadap pelaksanaan terhadap keserentakan pemilihan eksekutif dan pemilihan legislatif akan kembali terulang dalam pemilu tahun 2024.

Selain produk hukum, yang menjadi tantangan besar dalam pelaksanaan pemilu adalah distribusi logistik, proses pemungutan dan penghitungan suara, hingga ke tahapan rekapitulasi. Dan berkaca pada pemilu tahun 2019 yang secara teknis menelan korban jiwa, yaitu penyelenggara. Ditambah lagi sejak tahun 2020 kita sedang menghadapi Pandemi Covid-19. Yang menimbulkan pertarungan antara keselamatan kemanusiaan dan kepentingan melaksanakan demokrasi yang ada di Indonesia.

Tantangan terakhir yang menjadi tantangan utama adalah cepatnya perkembangan teknologi informasi di Indonesia, yang tanpa kita sadari telah menjadi sumber masalah yang mengganggu pelaksanaan pemilu di Indonesia.
Sisi positif perkembangan teknologi dalam penyelenggaraan pemilu, adalah dengan adanya teknologi akan semakin memperpermudah dan mempercepat proses teknis pelaksanaan tahapan pemilu dan percepatan sampainya informasi, serta membuka transparansi terhadap proses pemilu. Namun, terdapat juga sisi negatifnya dapat menjadi salah satu indikator perubahan perilaku masyarakat yang sangat cepat dan terjadi secara umum, serta mengubah perilaku pemilih secara khusus. Karena bisa memunculkan oknum-oknum tidak bertanggungjawab yang memanfaatkan untuk kepentingan dalam proses kemenangan dalam konstentasi pemilu.

Di dunia modern ini mayoritas pemilih adalah orang muda yang tergolong kedalam pemilih pemula, yang dikhawatirkan dapat menjadi kelompok rentan dan akan terbawa arus perkembangan teknologi yang dimanfaatkan hanya untuk kepentingan kontestasi politik yang tidak bernilai positif, namun dapat terjerumus dalam penyebaran berita bohong atau konten-konten yang dapat merusak tatanan kehidupan dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia.

Pada pemilu tahun 2019 yang lalu, permasalahan hoax juga terjadi di daerah jawa tengah, dimana ada oknum-oknum yang melakukan penyebaran ribuan eksemplar tabloid/majalah yang berisi berita bohong dan adanya permasalahan terhadap survei hitung cepat yang beredar dimana-mana. Kembali lagi, hal-hal seperti ini terjadi karena tidak adanya ketentuan dalam UU Pemilu yang secara eksplisit yang menjelaskan mengenai larangan penyebaran berita bohong.

Permasalahan ini juga terjadi karena adanya UU yang dinilai dibuat sudah terlalu lampau waktunya dan tidak sesuai dengan perkembangan teknologi yang berubah secara cepat. Sehingga UU Pemilu tidak dapat menjangkau perubahan disrupsi informasi yang ada sekarang ini, padahal sejatinya UU yang baik adalah UU yang bisa memprediksikan perubahan-perubahan yang akan terjadi dimasyarakat, dan dalam hal ini menjangkau perkembangan teknologi.

Dikarenakan tidak adanya ketentuan dalam UU pemilu yang mengatur mengenai permasalahan hoax, menjadikan setiap pelanggaran yang terjadi diselesaikan dalam penanganan pelanggaran dalam tindak pidana umum, dan tidak melalui penanganan pelanggaran melalui tindak pidana pemilu.
Berdasarkan data Pilkada tahun 2020 dan disandingkan dengan dengan pemilu-pemilu di tahun sebelumnya, menurut hemat penulis, pemilu di Indonesia belum mencapai pemilu yang ideal, jujur dan adil. Permasalahan dalam pemilu kecenderungan permasalahan pemilu bukannya semakin menurun malah semakin naik, oleh sebab itu dalam penanganan permasalahan pemilu ini tidak bisa hanya jika diserahkan kepada KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara, melainkan untuk menjaga pemilu yang berkualitas dan tetap berada di tangan rakyat secara keseluruhan sebagai pemilik kedaulatan rakyat. Baik antara penyelenggara pemilu dan rakyat memiliki tanggung jawab yang sama dalam menjaga keberlangsungan pemilu yang ideal, jujur dan adil.

(Red LPM UBB)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *