Masih tak basi diperbincangkan, negara Indonesia yang kini berubah status dari negara berkembang menjadi negara maju. Wah, tapi respons masyarakat sebagian besar malah menunjukkan kecurigaan yang dalam mengenai kabar ini, tak sedikit meradang dengan status palsu yang baru tersematkan. Wajar saja, dari segi mana AS menilai Indonesia sebagai negara maju? Indeks Pembangunan Manusia kah? Pendapatan Domestik Bruto (PDB) kah? Transportasi? Perkembangan anak? Atau apa? Tentunya AS punya parameter untuk mengukur status negara maju ini? Dan nyatanya semua parameter di atas tadi malah memiliki masalah yang tak kunjug tuntas.
Tak salah jika banyak masyarakat menaruh prasangka buruk mengingat kondisi Indonesia yang pada saat ini menjadi surganya para importir. Sistem politik yang pro dengan pengusaha, dan kebijakan-kebijakan neoliberal yang semakin menyengsarakan saja. Oh ya, Indonesia yang amat kaya ini, dengan potensi alam yang besar dan dibutuhkan oleh dunia seharusnya menjadikan Indonesia dari dahulu kala sudah menjadi negara maju tanpa tipu-tipu jika dikelola dengan sistem aturan yang baikbaik. Namun sayang, potensi besar tersebut tidak menjadi jaminan untuk kemajuan dan kesejahteraan.
Lagi, dipertanyakan kembali, apa parameter AS menjadikan Indonesia sebagai negara maju? Padahal sebagai masyarakat Indonesia sendiri kita merasakan lesunya perekonomian hari ini, lelahnya masyarakat mencari nafkah sendiri membayar banyak tanggungan yang seharusnya ditanggung oleh negara (Pendidikan, Kesehatan, dll). Ternyata ini adalah kebijakan sepihak oleh AS. Boleh berprasangka ada udang dibalik batu? Jelas boleh, karena negara adidaya ini punya intrik politik yang cerdik lagi licik demi hegemoninya. Ada apa dibalik status negara maju versi AS ini? Semanis itukah memang negeri kiblatnya demokrasi ini?
Ada sesuatu tentunya, Indonesia akan kehilangan beberapa fasilitas perdagagan dengan AS, misalnya GSP (Generalized System of Preferences). GSP merupakan program yang memberikan pembebasan tarif bea masuk negara-negara berkembang dari AS. Tanpa adanya GSP dikhawatirkan daya saing produk Indonesia akan menurun. Trump sedang ingin memperbaiki neraca perdagangannya, sementara 1 dari 15 negara penyumbang defisit bagi AS adalah Indonesia (Katadata, 25/2).
Meskipun demikian, sebenarnya tidak masalah jika AS mencoret Indonesia dari daftar negara berkembang jika pengaruhnya hanya membuat Indonesia terkena Countervailing Duties (CVDs), yaitu tambahan bea masuk yang dikenakan untuk mengimbangi efek dari subsidi yang diberikan oleh negara untuk eksportir. Hanya saja, tentu penggantian status Indonesia ini akan menjadi aneh. Karena AS menjadi inkonsisten dan double standard dengan kebijakannya sendiri. Terlebih, status Indonesia sebagai ‘negara maju’ hanya berlaku di satu UU tapi tidak di UU yang lain yang sama-sama mengatur perdagangan. Artinya, di satu sisi status Indonesia ibarat dilambungkan, namun di saat yang sama juga dijerumuskan. (muslimahnews.com, 28/2)
Masih bayak lagi alasan-alasan yang membuat kita justru semakin berburuk bukan senang terhadap status baru ala negeri adidaya. Mengingat negeri ini merupakan negeri yang kaya akan sumber daya alam dan memiliki potensi demografi yang menguntungkan bagi pihak kapitalis. Hal ini tentu sejalan dengan rentetan program-program negara adidaya untuk menguasai Indonesia dan dunia.
AS pun berlindung dengan peraturan-peraturan untuk tetap menjaga keamanan kepentingannya seperti menggencarkan isu terorisme dan radikalisme, sebagaimana tercantum dalam dokumen RAND Corporation. Setelah China menggencarkan megaproyek OBOR-nya dan negara ini sedang melemah dengan adanya musibah virus corona, maka AS pun mulai mengambil alih dan menguatkan kembali cengkramannya atas negeri muslim ini.
Atas semua ini, sungguh Allah ‘Azza wa Jalla telah melarang memberikan jalan apa pun bagi orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman, dalam firman-Nya:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
“Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 141)
Tentunya proyek demi proyek yang digencarkan oleh kaum kapitalis adalah dalam rangka menguasai suatu negeri, terutama negeri muslim, karena memang Allah sudah berikan anugerah kekayaan bagi negeri-negeri muslim. Ujung-ujungnya sebagai penduduk negeri ini, kita akan merasakan hidup terjajah dan kesusahan dalam banyak hal.
sudah lelah hidup dibawah kaki orang-orang rakus bernafsu dunia, rindu dengan kehidupan Islam yang memanusiakan manusia dan mensejahterakan umat. Daulah Islamiyah lah perisai dari segala kadzaliman orang-orang kafir dan merupakan sebuah janji Allah atas kembali berkuasanya Islam atas dunia.
(Meliani/Red LPM UBB)