Oleh : WINDI
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung
Konsentrasi : Hukum Tata Negara
Sebelum saya memulai mengupas kajian hukum dalam pembentukan Peraturan Rektor Universitas Bangka Belitung Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Kemahasiswaan. Mewakili diri secara pribadi, saya mengucapkan terima kasih kepada Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Universitas Bangka Belitung yang telah mengundang saya selaku Narasumber dalam kegiatan Bincang Peradaban dengan tema “Jalin Komunikasi, Angkat Bicara, Solusi Terbuka” yang oleh karena itulah inisiatif opini ini bisa saya munculkan di ruang publik.
Berbicara mengenai Peraturan, tentu publik akan memahami bahwa Peraturan adalah suatu kaidah yang di dalam perumusannya memuat suatu penormaan yang harus dijalankan dan dipatuhi dan tentu sifatnya pun tertulis. Sama seperti Peraturan Rektor Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Kemahasiswaan yang secara umum mengatur tentang Garis Besar Halauan Organisasi Kemahasiswaan di Universitas Bangka Belitung baik pengaturan Organisasi Kemahasiswaan di Tingkat Fakultas maupun di Tingkat Universitas.
Berbicara mengenai Peraturan, tentu saja tidak terlepas dari bagaimana suatu Peraturan tersebut dibuat mulai dari proses pembentukan sampai dengan pengesahan. Dalam perumusan suatu Peraturan itu sendiri tentu harus memiliki landasan yang kuat dalam pembentukanya. Adapun landasan pembentukan Peraturan itu sendiri diantaranya adalah landasan filosofis, yuridis dan sosiologis serta harus mampu menghasilkan tujuan yang nyata dalam pembentukannya yakni harus adanya jaminan atas kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan.
Dalam pembuatan Peraturan Rektor tentu salah satu dasar acuan yang digunakan dalam perumusannya adalah Peraturan Rektor Universitas Bangka Belitung Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Tata Cara Penetapan Peraturan Senat Universitas, Peraturan Rektor dan Keputusan Rektor Universitas Bangka Belitung.
Berbicara mengenai Peraturan Rektor Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Kemahasiswaan yang telah disahkan beberapa waktu yang lalu ternyata menuai polemik yang berkepanjangan bagi mahasiswa dalam pelaksanaannya. Polemik ini tentu saja akan sangat panjang bila harus dipaparan dalam tulisan singkat ini. Oleh karena itu, pada tulisan ini saya akan lebih mengkaji dalam aspek sudut pandang kacamata hukum berbicara.
Pertama, saya akan memulai tulisan ini dari landasan filosofis dalam pembentukan Peraturan Rektor Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Kemahasiswaan. Dalam pandangan filosofis pembentukan Peraturan harus mampu mempertimbangkan esensi atau dasar dari keberadaan Organisasi Kemahasiswaan itu sendiri dan harus mampu melihat suasana batin dan suasana lahirnya Organisasi tersebut sehingga Peraturan yang dibuat nantinya akan mampu mengakomodir semua kebutuhan tersebut secara baik sehingga tidak terjadi pertentangan dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu apakah landasan ini sudah anda dapatkan dalam muatan Peraturan tersebut?
Kedua, landasan yuridis dalam pembentukan Peraturan Rektor Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Kemahasiswaan di dalam poin Mengingat tercantum landasan hukum berupa Keputusan Kemendikbud Nomor 155/U/1998 Tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi. Dalam Pasal 2 dinyatakan : “Organisasi kemahasiswaan di Perguruan Tinggi diselenggarakan berdasarkan prinsip dari, oleh dan untuk mahasiswa dengan memberikan peranan dan keleluasaan lebih besar kepada mahasiswa”. Kemudian dalam Pasal 6 dinyatakan : “Derajat kebebasan dan mekanisme tanggungjawab organisasi kemahasiswaan intra Perguruan Tinggi terhadap Perguruan Tinggi ditetapkan melalui kesepakatan antara mahasiswa dengan pimpinan Perguruan Tinggi dengan tetap berpedoman bahwa pimpinan Perguruan Tinggi merupakan penanggungjawab segala kegiatan di Perguruan Tinggi dan/atau yang mengatasnamakan Perguruan Tinggi”.
Apakah anda merasa Keputusan Kemendikbud Nomor 155/U/1998 tersebut telah dijalankan secara baik dalam perumusan Peraturan Rektor yang bersangkutan, apalagi Keputusan Kemendikbud Nomor 155/U/1998 ini dijadikan dasar dalam pertimbangan Mengingat?
Selain itu terdapat pertimbangan dalam Pasal 57 Peraturan Rektor Nomor 3 Tahun 2018 yang menyatakan ayat (1) Sivitas Akademika berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan Peraturan Rektor dan ayat (2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui : rapat dengar pendapat; kunjungan kerja; sosialisasi dan/atau seminar, lokarya dan/atau diskusi. Dalam hal ini apakah anda menemukan hal tersebut dalam perumusan Peraturan Rektor tersebut. Tetapi pasti anda akan menjawab jangankan menemukan, keberadaan atas pembuatan Peraturan tersebut pun kami tidak tahu dalam pembuatannya?
Ketiga, landasan sosiologis dalam pembentukan Peraturan Rektor Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Kemahasiswaan yang sampai saat ini pun ditolak keras secara umum oleh Mahasiswa dalam pelaksanaannya. Hal ini terbuti dengan banyaknya mahasiswa yang mengkritisi Peraturan tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung.
Terakhir sebagi penutup dalam tulisan ini, saya berkesimpulan Peraturan Rektor Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Kemahasiswaan ini telah gagal dalam pelaksanaannya. Hal ini dibuktikan dengan pihak Rektorat yang telah melakukan pengecualian atau memberhanguskan beberapa Pasal yang kontroversi sehingga mahasiswa tidak perlu menjalankannya dan menjadi pertanyaan apakah hal tersebut benar untuk dilakukan? dan berpendirian terkait Pasal 28 ayat (3) huruf b yang mengatur tentang maksimal semester dan huruf c yang mengatur tentang minimal IPK tetap harus dijalankan. Kemudian menjadi pertanyaan apakah peraturan yang telah disahkan dapat diperlakukan seperti itu. Lantas dimana letak kepastian hukum dari Peraturan Rektor tersebut dan dimana letak kewibawaan sebuah Peraturan bila Pasal-pasal yang dimuat dalam Peraturan tersebut masih bisa dinego dalam pelaksanaannya. Karena dalam kacamata hukum sebuah Peraturan dibuat tentu untuk dijalankan secara keseluruhan, bukan hanya dijalankan sebagian Pasal saja dan tentu Peraturan Rektor ini telah kehilangan marwah dan kepastian hukum dalam pelaksanaannya.
(Windi/Red LPM UBB)