Aksi simbolik dalam rangka menindaklanjuti RUU Penyiaran yang membelenggu kebebasan Pers Indonesia. Foto oleh Alternatif.

LPM Alternatif, Pangkalpinang – Dalam rangka menindaklanjuti RUU Penyiaran yang dianggap membelenggu kebebasan pers Indonesia. IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia) menggelar aksi penolakan RUU penyiaran, pada hari Selasa (21/5) pukul 10.00 WIB di gedung DPRD Prov. Kepulauan Bangka Belitung.

Aksi ini dilakukan untuk mendesak pihak pemerintah pusat melalui DPRD Prov. Kep. Babel agar RUU Penyiaran yang berpotensi mematikan kemerdekaan pers dapat dibatalkan. Pihak-pihak yang terlibat dalam aksi ini meliputi organisasi profesi, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) dan rekan-rekan mahasiswa lainnya.

Namun, pihak dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) tidak menanggapi dengan baik dikarenakan kegiatan dinas luar. Dalam kesempatan kali ini para jurnalis dari berbagai organisasi profesi di Babel menyuarakan keluhan, tuntutan, dan petisi yang telah mereka siapkan. RUU Penyiaran yang disusun tanpa adanya andil dari dewan pers yang dimana terdapat pasal yang mengancam kebebasan pers. Bukan hanya ancaman penyiaran dan jurnalisme saja. Tetapi juga ancaman bagi kehidupan demokrasi di Indonesia.

Berikut isi petisi 21 Mei 2024 terkait Pernyataan Penolakan Revisi Undang-Undang Penyiaran Aliansi Jurnalis dan Mahasiswa Bangka Belitung.

Kami, Aliansi Jurnalis dan Mahasiswa Bangka Belitung menyatakan MENOLAK Revisi Undang-Undang Penyiaran (UU Nomor 32 Tahun 2002) yang saat ini akan atau sedang dibahas oleh DPR RI (Komisi I). Sejumlah Pasal-Pasal dalam RUU Penyiaran tersebut, kami nilai berpotensi mengancam Kemerdekaan Pers di Indonesia.

Sejumlah Pasal tersebut, diantaranya Pasal 50 B ayat 2 huruf C yang mengatur larangan penayangan eksklusif liputan investigasi. Padahal liputan investigasi dan eksklusif (indepth reporting) merupakan mahkota jurnalistik. Larangan ini sekaligus melanggar UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Kedua, Pasal 50 B ayat 2 huruf K, soal penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik. Pasal ini berpotensi menjadi alat kekuasaan untuk membungkam dan mengkriminalisasi jurnalis/pers.

Ketiga, Pasal 8 A huruf Q dan Pasal 42 ayat 2 yang menyebutkan penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik Penyiaran dilakukan oleh KPI. Kami menilai pasal ini bertentangan dengan UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers, dimana seharusnya penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan di Dewan Pers bukan di KPI, sementara KPI kami nilai tidak independen karena dibentuk melalui keputusan DPR. Bahwa sejatinya, komunitas pers mendapat mandat untuk membuat regulasi sendiri dalam rangka mengatur kehidupan pers yang sehat, profesional, dan berkualitas melalui self regulation. Karenanya setiap sengketa terkait produk jurnalistik baik itu penyiaran, cetak, digital (online) hanya dapat diselesaikan di Dewan Pers.

Karena pertimbangan di atas, di momentum Hari Peringatan Reformasi, kami menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Menolak dengan tegas dan mendesak sejumlah pasal dalam draf revisi RUU Penyiaran dicabut, karena berpotensi mengancam kemerdekaan pers.

2. Mendesak DPR mengkaji kembali draf revisi RUU Penyiaran, dengan melibatkan seluruh stakeholder termasuk organisasi pers.

3. Jika Petisi ini tidak diindahkan, kami akan melakukan aksi dengan massa yang lebih besar lagi.

4. Meminta DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung untuk menyampaikan aspirasi ini ke DPR di Jakarta, agar Pasal-Pasal yang berpotensi mengancam Kemerdekaan Pers di Indonesia segera dicabut.

Demikian Petisi ini kami buat, sebagai bentuk perlawanan nyata atas upaya-upaya ‘mengkebiri’ dan mengekang kerja-kerja jurnalistik yang independen, dan penuh tanggung jawab.

“Harapannya DPRD dapat segera merespon dan menyampaikan ke DPR pusat dengan cepat sehingga masalah ini tidak sampai berlarut-larut,” ujar Barliyanto, selaku Ketua AJI Pangkalpinang.

Secara nasional IJTI bersama Dewan Pers dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) akan terus menyuarakan hal ini dan melakukan beberapa langkah konsolidasi.

“Kita tahu sekarang negara ini tidak sedang baik-baik saja. Masa keadilan dan kesejahteraan masyarakat masih jauh dari pandang. Masih banyak pencari keadilan yang berkeliaran di sekitar kita. Ada banyak kasus yang tidak terungkap, ada kasus yang terungkap berdasarkan dari investigasi media. Dimana seharusnya menjadi pembelajaran bagi negara ini bahwa jalan mencari keadilan salah satunya dari karya-karya jurnalistik. Pembungkaman terhadap jurnalistik bukanlah cara elegan untuk menjalankan suatu parlemen,” pesan Joko Setyawanto, selaku Ketua IJTI Pengda Babel.

Reporter: Debri Liani dan Salwa Nabila

Penulis: Salwa Nabila

Editor: Esfaranza Ratu Suwendah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *