Oleh: Inaki
Baru-baru ini Menkeu Sri Mulyani, dalam acara Bedah Buku Mengarungi Badai Pandemi, Sabtu (24/07), menyatakan bahwasannya utang merupakan instrumen whatever it takes, untuk menyelamatkan negara dan perekonomian negeri di masa pandemi ini.
Menurut Luky Alfirman selaku Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), alasan kebijakan Menkeu Sri Mulyani yang berutang kembali dikarenakan untuk fokus tiga hal. Pertama, untuk mendukung sektor kesehatan. Kedua, memberikan perlindungan sosial bagi masyarakat. Ketiga, memberikan dukungan kepada dunia usaha.
Maka menurutnya, untuk memenuhi tiga hal tersebut diperlukan dana yang besar. Yang mana, padahal pendapatan negara mengalami penurunan secara signifikan selama pandemi ini, dikarenakan terjadinya penurunan aktivitas ekonomi. Sementara itu, kebutuhan belanja negara meningkat signifikan. Sehingga untuk mendapatkan dana tersebut negara perlu berutang kembali.
Kemenkeu mencatat jumlah utang pemerintah Indonesia sebesar Rp.6.418,15 triliun atau setara 40,49 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) per akhir Mei 2021.
Alih-alih menyelamatkan warga dan negara, utang ke luar negeri justru menambah beban bagi negeri ini. Utang dalam sistem kapitalisme yang mengandung riba inilah yang membahayakan negeri. Kedaulatan negara terancam, negara menjadi tidak mandiri dan bergantung ke si “negeri pemberi hutang”, yang akhirnya dengan mudahnya “negeri pemberi hutang” campur tangan terhadap kebijakan negeri ini untuk mencaplok SDA dan negeri.
Berutang kembali dengan alasan menyelamatkan negeri bukanlah solusi. Ada banyak cara yang bisa ditempuh untuk menyelamatkan negeri tanpa berutang kembali. Seperti, mengenai proyek ibu kota baru hingga perjalanan dinas sepanjang pandemi sebaiknya ditunda atau dibatalkan. Kemudian, seperti yang diungkapkan oleh Bhima Yudhistira selaku Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies)) yang mengatakan, sebaiknya pemerintah menghemat anggaran belanja.
Dalam Islam, berhutang seperti dalam sistem kapitalisme ini hukumnya haram, karena dalam berhutang sistem kapitalisme terdapat syarat, yang mana syarat tersebut tidak sesuai dengan hukum syara’, seperti terdapat riba’ dan syarat lainnya seperti mudahnya “negeri pemberi hutang” mengontrol kebijakan negeri untuk mendapatkan SDA. Padahal Allah SWT telah berfirman, “…dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnakan orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa: 141)
(inaki/Red LPM UBB)