Ricky Kuswanda, mahasiswa Jurusan Ilmu Politik, Universitas Bangka Belitung.
Tepat 21 Maret lalu, DPR RI mengesahkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang melalui Sidang Paripurna ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2022-2023.
UU Cipta Kerja bertujuan untuk memperdalam proses deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi secara meluas, di antaranya terhadap ketentuan mengenai perizinan berusaha, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, termasuk pengadaan lahan, pengembangan kawasan ekonomi, pelaksanaan proyek pemerintah serta ketentuan mengenai administrasi pemerintahan dan pengenaan sanksi pidana yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Selain itu, upaya ini dianggap menjadi cara ampuh dalam merespons perkembangan ekonomi global, kompetisi dunia usaha, inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi, serta dampak-dampak perang seperti yang terjadi antara Rusia dengan Ukraina, di mana kondisi tersebut sebelumnya menjelma momok yang menakutkan. Pada level yang sangat optimistis, meloloskan UU Cipta Kerja bahkan dianggap sama dengan membuka gerbang untuk Indonesia mengisi posisi yang strategis dalam dinamika ekonomi-politik global di masa depan.
Namun pada saat yang sama, kelas-kelas sosial yang terdampak UU Cipta Kerja mengandaikan kebijakan ini sebagai salah dari sekian banyak cara mengamplifikasi proses ekstraksi nilai yang terkandung dalam alam murah (cheap nature) dan masyarakat di lapisan sosial terbawah. Klaster ketenagakerjaan merupakan satu di antara aspek lain yang sangat bermasalah. Mengingat wacana revisi UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan sudah ditolak oleh aliansi gerakan multi-sektoral—dan rencana itu juga telah berkali-kali digagalkan—maka kebijakan yang baru disahkan ini menyiratkan sesuatu hal yang bertentangan sama sekali dengan kepentingan kelas pekerja. Selain materi UU Cipta Kerja mempertontonkan pereduksian hak-hak normatif pekerja secara gamblang, alasan penolakan lainnya tampak dalam hal-ihwal pengangkangan konstitusi dan cacat prosedural.
Kapitalisme-Neoliberal Sebagai Dalang Utama
Penting untuk disadari bahwa UU Cipta Kerja tidak berasal dari ruang hampa. Tentu ada hal-ihwal yang mendasari keberadaannya, di mana ia berada secara inheren dalam relasi sosial dominan sebagai hasil perkembangan material-historis di bawah mode produksi kapitalisme.
Bermula ketika perekonomian berbasis manufaktur dan keuangan dilanda badai krisis profitabilitas sejak medio 1970-an, Amerika Serikat dan Inggris sebagai pemain utama pasar menggagas ideologi politik neoliberalisme untuk menggantikan sistem pasar lama yang tak mampu mengatasi krisis pada satu sisi, dan sebagai upaya untuk mengembalikan tingkat keuntungan yang runtuh di masa lampau.
David Harvey lebih lanjut menguraikan neoliberalisme dalam karyanya A Brief History of Neoliberalism. Ia menerangkan paham itu mengandaikan pemusatan jaminan bagi terselenggaranya kemerdekaan dan kebebasan individu dalam mekanisme pasar bebas, kebebasan pribadi atas hak milik properti, termasuk penekanannya terhadap liberalisasi perdagangan [1]. Ini adalah pandangan yang mengandaikan subordinasi struktur politik dan pemerintahan di bawah kombinasi antara paham liberalisme dengan doktrin ekonomi pasar bebas pada fase neoklasik (dengan kata lain, fundamentalisme pasar ada di atas segala-galanya).
Pada tataran praktis, neoliberalisme mengemuka dalam agenda “Konsesus Washington”, di mana sepuluh kebijakan ekonomi, yaitu: 1) Disiplin anggaran pemerintah; 2) Pengarahan pengeluaran pemerintah dari subsidi ke belanja sektor publik, terutama di sektor pendidikan, infrastruktur, dan kesehatan, sebagai penunjang pertumbuhan dan pelayanan masyarakat kelas menengah ke bawah; 3) Reformasi pajak, dengan memperluas basis pemungutan pajak; 4) Tingkat bunga yang ditentukan pasar dan harus dijaga positif secara riil; 5) Nilai tukar yang kompetitif; 6) Liberalisasi pasar dengan menghapus restriksi kuantitatif; 7) Penerapan perlakuan yang sama antara investasi asing dan investasi domestik sebagai insentif untuk menarik investasi asing langsung; 8) Privatisasi BUMN; 9) Deregulasi untuk menghilangkan hambatan bagi pelaku ekonomi baru dan mendorong pasar agar lebih kompetitif; 10) Keamanan legal bagi hak kepemilikan, ditawarkan sebagai obat defisit dan inflasi yang tinggi kepada negara-negara Amerika Latin, yang kemudian menyebar ke berbagai belahan dunia lain [3]. Tak tanggung-tanggung, bantuan keuangan akan disalurkan oleh agen utama neoliberal seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dan Bank Dunia (WB) kepada negara-negara yang membutuhkan.
Indonesia secara historis sudah mengadopsi berbagai formula pengobatan itu melalui sejumlah kebijakan nasional di detik-detik akhir kejatuhan rezim Orde Baru Soeharto. Konsekuensinya, Indonesia pasca krisis moneter atau di bawah rezim reformasi menjadi pasien IMF untuk waktu yang lama. Salah satu implikasinya ialah penerapan model pasar tenaga kerja fleksibel secara masif.
Model hubungan kerja ini menekankan setidaknya empat hal: 1) kemudahan perekrutan dan permintaan (hire and fire) sesuai kebutuhan produksi atau permintaan pemberi kerja (secara teknis dikenal dengan sistem outsourching); 2) menyelaraskan pengaturan jam kerja yang kasual berdasarkan target produksi; 3) spesialisasi pekerjaan buruh dalam berbagai tugas-tugas kerja; 4) ekuivalensi kebijakan upah dengan permintaan dan penawaran di pasar tenaga kerja [5]. Secara manajerial, perusahaan kecil maupun besar sama-sama mencari fleksibilitas pada banyak aspek, termasuk diimplementasikan demi pembaharuan relasi manajemen-buruh. Akan tetapi, perusahaan-perusahaan raksasa dengan jangkauan transnasional adalah pihak yang paling memiliki pengaruh untuk mengatur perampingan, pengalihdayaan, dan pemekaran jejaring produksi yang luas secara spasial [6], misalnya Facebook dan Google [7].
Para pendukung model ini meyakini bahwa terdapat penyerapan besar-besaran terhadap pekerja informal yang rentan dan di luar jangkauan perlindungan hukum akan terserap ke dalam ekonomi formal, di mana kemunculan kondisi ini ditandai dengan berkurangnya jumlah pengangguran akibat pembukaan lapangan pekerja dengan skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dengan kata lain, pekerja mengalami peningkatan keterampilan, dipayungi hukum, mendapat jaminan sosial dan kesehatan, serta mobilitas tinggi untuk berpindah-pindah tempat kerja [7].
Ekses Negatif Pasar Tenaga Kerja Fleksibel di Indonesia
Faktanya, mengikuti penjelasan Harrison, model produksi fleksibel beserta ilusi yang dipresentasikan serupa di atas jelas problematis. Hal ini dapat dilihat dengan maraknya fleksibilitas upah; fleksibilitas numerik atau pengurangan kerja penuh waktu (formal) menjadi beragam pekerjaan paruh waktu, kontrak, dihitung satuan dan bersifat sementara, jauh dari perlindungan yang sangat diperlukan; dan outsourching yang digawangi perusahaan alih daya [8].
Konsekuensinya, lazim ditemukan kerentanan multidimensional secara berkelanjutan yang mendegradasi taraf hidup buruh. Sementara itu, yang menjijikan, harta kekayaan pemilik perusahaan-perusahaan yang terdiri dari orang kaya justru meroket pesat di antara massa rakyat yang ditimbun kemelaratan. Inilah sistem yang dikultuskan sebagai juru selamat atas krisis yang merusak tatanan dunia sebelumnya, di mana realitas menunjukkan penghisapan nilai alam dan manusia tanpa batas.
Dibuktikan dalam laporan World Inequality tahun 2022, kita melihat jurang ketimpangan sangat menganga. Selama dua dekade belakangan, 50% lapisan terbawah hanya menghasilkan pendapatan rata-rata dikisaran Rp 22,6 juta per tahun atau Rp 1,9 juta per bulan. Sedangkan 10% lapisan masyarakat teratas rata-rata pendapatannya adalah sebesar Rp 285 juta per tahun atau Rp 23,7 juta per bulan. Di samping itu, terdapat 1% populasi penduduk super kaya di Indonesia yang menghasilkan 73 kali lipat pendapatan lebih banyak daripada penduduk miskin dengan penghasilan rata-rata yakni Rp 1,2 miliar atau 105,1 juta per bulan [11]. Kemudian melansir data Badan Pusat Statistik tahun yang dirilis pada tahun 2022, proporsi buruh informal menggelembung lebih daripada buruh formal, di mana persentase masing-masing berjumlah 59,31% berbanding 40,69% [10].
Meskipun pemerintah Indonesia selalu membanggakan pertumbuhan ekonomi nasional yang angka Produk Domestik Bruto-nya mencapai US$ 1,19 triliun, dan PDB per kapita tercatat sebesar Rp 62,2 juta pada 2021—bahkan berada di urutan keempat di antara negara-negara Asia lainnya mengalahkan Turki dan Arab Saudi—nyatanya tidak mampu mengentaskan persoalan ketimpangan pendapatan yang tajam menganga.
Dalam kondisi demikian, tak heran pekerjaan layak (decent work) yang dikejar sebagian besar manusia semacam impian utopis. Mengaitkannya dengan kerangka konseptual Marx tentang “surplus populasi relatif”, mereka terjerat dalam apa yang disebut massa mengambang yang setengah dipekerjakan hingga “stagnan”—tanpa upah untuk waktu tertentu [12]. Mereka diklasifikasikan dengan beragam, terdiri dari jenis pekerjaan berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar, pekerja bebas di pertanian, pekerja bebas di non pertanian, pekerja keluarga yang seringkali tidak dibayar, dan pengangguran [14]. Jika mereka diserap ke dalam angkatan kerja, mereka tentu bergantung terhadap hubungan kerja-upahan. Namun ketika permintaan terhadap tenaga kerja menyusut, mereka sangat mungkin terlempar ke pinggiran pekerjaan untuk tetap menjalankan kehidupan subsistensi mereka.
Strategi Pengerdilan Kekuatan Serikat Buruh
Penerapan pasar tenaga kerja fleksibel secara masif, terutama pasca pengesahan UU Cipta Kerja selalu mendapat resistensi dari serikat buruh bersama organisasi gerakan rakyat lainnya. Bahkan, jauh sebelum pengesahan itu, ketika hubungan kerja fleksibel masih berjalan secara parsial, buruh sudah merasakan kerentanan yang dalam, sehingga akhirnya pengorganisasian penolakan terus dilancarkan [15].
Akan tetapi, memang terdapat perbedaan khusus mengenai konteks UU Cipta Kerja. Meski letupan protes menjalar di mana-mana, kemudian kecacatan substansi dan prosedural terekspos sebagai bentuk pengkhianatan vulgar, kombinasi kekuasaan politik-ekonomi mampu meredam gerakan rakyat. Masih membekas di ingatan kita saat pemerintah mengerahkan seluruh aparatus propaganda dan kekerasannya. Buzzer pemerintah di satu sisi melakukan pendistorsian melalui media [16]. Di sisi lain polisi-TNI mengopresi gerakan rakyat dengan buas—apalagi ketika KUHP sudah efektif berlaku. Pada saat bersamaan, ancaman bermunculan dari pengusaha kepada buruh, misalnya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan institusi pendidikan yang melanggar hak-hak politik pelajar dan mahasiswa.
Namun, yang lebih mencemaskan terkait pemberangusan gerakan rakyat, bukan saja dengan cara terbuka, UU Cipta Kerja berimplikasi terhadap pengerdilan gerakan rakyat, termasuk pada serikat buruh. Melalui pasar tenaga kerja fleksibel yang destruktif, buruh langsung berhadap-hadapan dengan ancaman akan upah murah [17], outsouching, kontrak Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), pembredelan hak cuti, penurunan jumlah pesangon, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Menjadi sulit untuk memprotes layaknya beberapa tahun belakangan karena hal ini sudah membahayakan sumber penghidupan subsistensi buruh.
Dibuktikan melalui data BPS, Persentase Union Density Rate (UDR) di tahun 2019 merosot drastis dibandingkan 2018, dari sebesar 14,54% turun drastis menjadi 13,2%. Angka tersebut dapat diartikan, hanya 13 orang tergabung dalam serikat pekerja dari 100 orang yang bekerja dengan status buruh dan pekerja bebas di Indonesia pada 2018) [18]. Dan tahun 2022 lalu, jumlah buruh yang bergabung dalam serikat semakin lemah dari 7,53 juta (UDR 12,04%) menjadi 7,50 juta (UDR 11,76%) [19].
Namun, pada dasarnya, pasar tenaga kerja fleksibel melalui UU Cipta Kerja memang menghendaki pelemahan kekuatan politik buruh. Sebagaimana doktrin neoliberalisme, pasar bebas adalah satu-satunya pranata sosial yang mengatur kehidupan yang harus diikuti secara utuh, maka hal-ihwal yang mengganggu perjalanannya tidak lain merupakan musuh yang harus dideklinasi. Karena serikat buruh seringkali diidentifikasi sebagai pemicu perlawanan, tentu saja pelemahan terhadapnya adalah kemestian, bahkan jika harus menggunakan cara-cara kekerasan dan melanggar hukum yang ada.
Referensi
[1] | C. H. Pontoh and A. Sangadji, Neoliberalisme: Konsep dan Praktiknya di Indonesia, Jakarta: Pustaka IndoPROGRESS, 2021, p. 120. |
[2] | Ibid, p. 124 |
[3] | B. H. Juliawan, “Extracting Labor From Its Owner,” Critical Asian Studies, vol. 42, no. 1, pp. 28-29, 2010. |
[4] | I. Suwandi, Rantai Nilai: Wajah Baru Imperialisme Ekonomi, Yogyakarta: Penerbit Independen, 2022, p. 76. |
[5] | P. Jones, Pekerja=Pekerja Hantu: Agenda Tersembunyi di Balik Kemegahan Plaftform Digital, Yogyakarta: Literasi Litani, 2022, p. 6. |
[6] | H. W. Nugroho and I. Tjandraningsih, “Fleksibilitas Pasar Kerja dan Tanggung Jawab Negara,” AKATIGA, p. 5, 2007. |
[7] | I. Suwandi, loc. cit., p. 77 |
[8] | A. L. Triono, “Data Ketimpangan di Indonesia: Mulai Pendapatan, Gender, hingga Ekologis,” NU Online, 4 3 2022. [Online]. Available: https://www.nu.or.id/nasional/data-ketimpangan-di-indonesia-mulai-pendapatan-gender-hingga-ekologis-xSN1T. [Accessed 22 5 2023]. |
[9] | R. Mustajab, “Mayoritas Tenaga Kerja RI dari Sektor Informal pada Agustus 2022,” Data Indonesia, 30 11 2022. [Online]. Available: https://dataindonesia.id/sektor-riil/detail/mayoritas-tenaga-kerja-ri-dari-sektor-informal-pada-agustus-2022. [Accessed 22 5 2023]. |
[10] | P. Jones, loc. cit., p. 10. |
[11] | M. Habibi and B. H. Juliawan, “Creating Surplus Labour: Neo-Liberal,” Journal of Contemporary Asia, vol. 48, no. 4, p. 7, 2018. |
[12] | M. Habibi, “Gerakan Buruh Pasca Soeharto: Politik Jalanan di Tengah Himpitan Pasar Kerja Fleksibel,” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, vol. 16, no. 3, p. 201, 2013. |
[13] | “Jokowi Minta Dikritik, Warga Dibayangi Buzzer dan UU ITE,” CNN Indonesia, 9 Februari 2021. [Online]. Available: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210209150236-32-604214/jokowi-minta-dikritik-warga-dibayangi-buzzer-dan-uu-ite. [Accessed 23 5 2023]. |
[14] | A. D. Wulandari, “Pukulan Mundur Upah Minimum dalam Omnibus Law,” detikNews, 20 10 2020. [Online]. Available: https://news.detik.com/kolom/d-5220548/pukulan-mundur-upah-minimum-dalam-uu-cipta-kerja. [Accessed 23 5 2023]. |
[15] | D. H. Jayani, “Minat Pekerja Ikut Serikat Berkurang,” Katadata Media Network, 17 10 2019. [Online]. Available: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/10/17/kepersertaan-serikat-pekerja-menurun. [Accessed 23 5 2023]. |
[16] | E. Santika, “Pekerja yang Gabung Serikat Buruh di Indonesia Mengalami Penurunan pada 2022,” Katadata Media Network, 18 4 2023. [Online]. Available: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/04/18/pekerja-yang-gabung-serikat-buruh-di-indonesia-mengalami-penurunan-pada-2022. [Accessed 23 5 2023]. |
[17] | G. Intan, “Bank Dunia: 115 Juta Masyarakat Indonesia Rentan Kembali Miskin,” VOA Indonesia, 30 1 2020. [Online]. Available: https://www.voaindonesia.com/a/bank-dunia-115-juta-masyarakat-indonesia-rentan-kembali-miskin/5266914.html. [Accessed 22 5 2023]. |