Oleh : Muhammad Gifari
UU ITE jika di tarik secara filosofis sudah mulai di wacanakan pada era presiden ke-empat Republik Indonesia yang kala itu di amanahkan kepada Abdurrahman Wahid atau kerap disapa Gusdur. Lalu dalam perjalananya pada era setelah Gusdur yang saat itu kursi kekuasaan di pegang oleh Megawati Soekarno Putri, hal ini kembali di bahas oleh Universitas Padjajaran dan Universitas Indonesia mengkaji dan menyusun konsep tentang UU cyberlaw, karena dirasa saat itu masih terjadi kekosongan hukum di ranah dunia maya atau siber, ini lah awal mula sebelum lahir dan disahkan nya UU ITE. Lalu pada zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pembahasan terkait UU ITE di kaji dan di bahas lebih dalam oleh Departemen Kominfo saat itu yang membentuk tim PANJA (Pantia Kerja) berjumlah 50 orang dan memakan waktu kurang lebih 3 tahun hingga akhirnya UU ini di sahkan pada 2008 menjadi UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang di sahkan DPR pada tanggal 25 Maret 2008.
Dalam perjalanan peraturan ini setelah di sahkan dan di jadikan UU, menimbulkan berbagai fenomena yang dalam implementasi nya di dalam masyarakat di rasa tidak efektif sehingga terjadi beberapa konflik. Korban pertama dari adanya UU ini adalah seorang ibu rumah tangga bernama Prita Mulyasari yang memiliki dua anak yang saat itu mengirim email terkait kekecewaannya terhadap pelayanan rumah sakit Omni Internasional, Alam Sutra. Lalu merespon terkait hal ini, pihak rumah sakit melaporkan ibu rumah tangga ini dengan kasus perdana dan perdata dengan dalih pencemaran nama baik. Lalu prita di vonis penjara beberapa bulan. Setelahnya juga terjadi beberapa kasus serupa yang cukup massif. Lalu pada tahun 2016 pemerintah merevisi UU ini karena dinilai mudah meng kriminalisasi pengguna internet. Pemerintah merevisi sebanyak 7 ketentuan dari 54 pasal UU ITE. Bahkan setelah di revisi pada tahun 2016 menjadi UU No 19 tahun 2016 dalam pelaksanaannya masih banyak terdapat gejolak yang terjadi di dalam masyarakat. Tercatat dari data yang tercantum oleh SAFEnet (South Asia Freedom Or Expression Network) dalam proses implementasi UU ini dari tahun 2016-2020 tercatat kasus terkait UU ITE ini mencapai 96,8% atau sekitar 744 perkara serta tingkat pemenjaraannya sebesar 88% atau sekitar 676 perkara. Hal ini disinyalir terjadi karena masih terdapat beberapa pasal karet dalam UU ITE No 19 Tahun 2016 ini yang masih multitafsir yang dapat meng kriminalisasi kan pengguna internet.
Akibatnya stigma yang menjamur di kalangan masyarakat terhadap politik itu menakutkan dan seringkali masyarakat cukup takut untuk membicarakan hal-hal yang berkenaan dengan politik. Masyarakat cenderung waspada apabila ingin mengungkapkan pandangan atau pun pemkiran kritisnya melalui media sosial karena UU ITE ini di anggap sebagai penghalang masyarakat untuk ber ekspresi di media sosial secara lebih luas. Hal ini pula yang menjadikan Indeks Demokrasi di Indonesia kian menurun hingga saat ini.
Menelaah perkataan Presiden Indonesia saat ini Joko Widodo pada saat konferensi pers, beliau menyebutkan bahwa jika masyarakat menilai UU ITE ini cukup memberikan beban terhadap kebebasan berekspresi masyarakat sebaiknya di lakukan revisi. Namun implementasi perkataan dari Presiden Jokowi seakan-akan hanya buah manis diawal saja karena jika dilihat dari pembahasan dalam Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) yang di kelola DPR, UU ITE tidak masuk kedalamnya. Karena sebetulnya jika pemerintah ingin jika UU ITE ini direvisi, mereka bisa meng-intervensi DPR untuk mem priotaskan UU ITE ini untuk direvisi, karena sebagian besar fraksi yang ada di DPR ialah orang-orang nya pemerintah.
Disini terlihat ketidak seriusan pemerintah dalam menanggapi respon masyarakat dan aspirasi yang ada untuk mengkaji UU ITE dan menghapus pasal-pasal karet yang di anggap sebagai masalah dan mencekik kebebasan berpendapat serta menciderai Demokrasi di Indonesia. Hal ini di nilai sebagai ketidak konsisten-an nya pemerintah untuk menyelesaikan ketidak adilan dan permasalah Demokrasi di Indonesia. Terlebih lagi dengan kebijakan baru terkait adanya Police Virtual yang di sinyalir juga ditakutkan menjadi babak baru dalam proses pencideraan Demokrasi di Media sosial sebagai Implementasi dari pasal karet di UU ITE.
Hal ini cukup di sayangkan oleh berbagai kalangan masyarakat sipil, akademisi serta para aktivis pejuang kebebasan menanggapi kebijakan yang di buat oleh pemerintah. Tercatatat dalam Indikator Politik Indonesia sebesar 57,3 % anak muda di Indonesia setuju jika UU ITE ini direvisi, beberapa persen cenderung tidak peduli dan apatis terkait adanya UU ini dan beberapa persen menolak untuk UU ini direvisi. Kondisi seperti ini yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah, karena media sosial menjadi sarana komunikasi politik yang paling efektif di masa sekarang ini. Adapun beberapa hal yang seharusnya di lakukan oleh pemerintah dalam merespon gejolak yang terjadi di dalam masyarakat serta konflik yang dihasilkan dari implementasi UU ITE yang cenderung banyak memakan korban, agar terciptanya kesejahteraan di dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Beberapa point penting yang seharusnya dilakukan dan diperhatikan pemerintah ialah antara lain :
- Memasukan UU ITE dalam Prolegnas untuk di revisi
- Mencabut pasal-pasal karet yang tidak ada standarisasi khusus dan sangat samar dalam penafsiran
- Tidak ada duplikasi pasal antara UU ITE dan KUHP serta harus adanya kepastian hokum
- Menciptakan budaya saling lapor yang dapat memecah belah masyarakat Indonesia serta mengancam kebebasan ber-ekspresi dalam Negara Demokrasi
- Membuat celah terjadinya kriminalisasi terhadap kebebasan ber-ekspresi
- Melibatkan segala stakeholder dalam proses revisi.
Dalam beberapa point solusi yang saya tawarkan mungkin sekiranya dapat menjadi solusi alternatif dalam implementasi ada UU ITE yang di sinyalir tidak tepat sasaran dan cenderung melemahkan ruang gerak demokrasi. Harapannya pemerintah dalam hal ini para pemegang kekuasaan dan pembuat kebijakan dapat memprioritas kan isu ini serta dikaji lebih mendalam karena hal ini dapat menghambat kebebasan ber ekspresi masyarakat dan membuat masyarakat cenderung lebih takut untuk bersuara serta menuangkan pandangan kritisnya.
(Muhammad Gifari/Red LPM UBB)