Oleh: Deby Ramadhani – Mahasiswa Sosiologi FISIP UBB

Perkembangan teknologi di abad ke 20 salah satunya ditandai dengan kehadiran internet. Berdasarkan hasil laporan terbaru Hootsuite dan We Are Social bahwa jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 202,6 juta hingga Januari 2021. Jumlah ini mengalami peningkatan 15,5% dibanding tahun 2020 atau lebih dari 27 juta orang menggunakan internet dalam kurun waktu 12 bulan terakhir. Penggunaan internet ibarat dua mata pisau, di satu sisi memberikan kemudahan dalam memperoleh informasi namun di sisi lainnya membuat seseorang dapat mengakses situs apapun tanpa batas. Remaja sebagai generasi milenial menjadi pihak yang paling sering menggunakan internet, mengingat mereka adalah generasi yang lahir di era kemajuan perkembangan teknologi. Remaja merupakan usia transisi yang memiliki rasa ingin tahu yang besar, maka tak heran jika remaja banyak mengakses situs pornografi seperti film porno dan konten vulgar lainnya yang bertebaran di internet. Munculnya rasa keingintahuan membuat remaja mencari materi seks yang berbau pornografi dari berbagai sumber di internet dibandingkan mempelajarinya dalam bentuk pendidikan.

Salah satu Industri perfilman yang berkembang pesat adalah film porno, hal ini karena film porno banyak dicari dan dapat ditemukan dengan mudah. Menurut Burhan (2005), film porno adalah gambar-gambar perilaku pencabulan yang lebih banyak menonjolkan tubuh dan alat kelamin manusia, dengan sifatnya yang seronok, jorok, vulgar, dan membuat orang yang melihatnya terangsang secara seksual. Susanto selaku Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyampaikan bahwa menurut hasil survei nasional KPAI di situasi pandemi Covid-19 saat ini 22 persen anak Indonesia masih melihat tayangan tidak sopan. Tayangan tidak sopan tersebut terdiri dari tayangan hingga konten yang berbau pornografi. Fenomena perilaku seksual remaja saat ini menggambarkan bahwa bangsa ini sedang mengalami krisis moral. Sama seperti penggunaan narkoba, remaja yang sudah pernah menonton film porno akan menimbulkan kecanduan pada otak dan mengeluarkan hormon dopamin yang membuat remaja ingin menonton secara terus menerus. Dampak dari menonton film porno bagi remaja yakni dapat menyebabkan kemunduran pola pikir yang berdampak terhadap kepribadiannya. Tak menutup kemungkinan pula, remaja yang sudah kecanduan film porno ingin mempraktikkannya kepada lawan jenis sehingga berpotensi bagi remaja melakukan tindak asusila.

Lantas bagaimana cara mencegah remaja agar tidak kecanduan film porno? Pemahaman serta pengetahuan mengenai pornografi dapat dilakukan oleh keluarga. Keluarga menjadi agen sosialisasi pertama bagi seorang anak. Di dalam keluarga anak pertama kali berinteraksi dan diajarkan mengenai nilai dan norma yang baik. Keluarga menyediakan lingkungan pembelajaran mendasar atau menjadi sekolah pertama bagi anak. Adanya hubungan interaksi yang baik di dalam keluarga sangat berpengaruh dalam tumbuh kembang anak. Oleh karena itu keluarga hendaknya dapat menjalankan fungsi sosialisasi kepada anak.

Fungsi sosialisasi keluarga dapat dilakukan dengan memberikan pemahaman mengenai nilai dan norma sejak dini serta mengajarkan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Bagaimana keluarga produktif terhadap sosial dan bagaimana keluarga memperkenalkan anak dengan dunia luar dengan belajar disiplin, mengenal budaya dan norma melalui hubungan interaksi dalam keluarga sehingga mampu berperan dalam masyarakat (Arinda, 2014).

Berkenaan dengan fungsi sosialisasi yang dapat diberikan oleh keluarga kepada remaja agar terhindar dari kecanduan film porno adalah dengan memberikan edukasi sejak dini kepada remaja mengenai pornografi dengan bahasa yang mudah dipahami. Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa masih ada segelintir keluarga yang masih tabu dalam memberikan pendidikan seks kepada anaknya. Pada akhirnya keluarga membiarkan anak untuk mencari tahu sendiri. Bahkan, ada pula keluarga yang menganggap menjelaskan tentang edukasi seks sama saja dengan mengajarkan anak berhubungan seks. Oleh karena itu menurut penulis dalam penyampaiannya, keluarga yang dalam hal ini adalah orang tua harus menciptakan suasana yang nyaman sehingga remaja dapat terbuka dan leluasa bertanya segala rasa keingintahuannya kepada orang tua. Setelahnya orang tua dapat mengarahkan kepada mereka mengenai hal yang tidak boleh dilakukan dan dampak dari film porno. Selanjutnya keluarga hendaknya dapat menjalankan fungsi Afeksi. Fungsi Afeksi dapat dilakukan dengan pemberian kasih sayang dari keluarga salah satunya melalui perhatian. Remaja dalam masa peralihan menghadapi berbagai permasalahan, salah satunya rasa penasaran yang tinggi. Agar rasa penasaran tersebut tidak berdampak terhadap hal yang negatif (kecanduan film porno) maka keluarga hendaknya dapat memahami remaja dengan bijak sesuai dengan kebutuhannya.

Kualitas hubungan dengan keluarga sangat menentukan bagaimana remaja bertindak. Apabila keluarga kurang memberikan perhatian kepada remaja maka remaja sering kali merasa kesepian dan penuh tekanan sehingga berpotensi untuk melakukan perbuatan menyimpang sebagai cara untuk menghibur diri.

(Deby Ramadhani/Red LPM UBB)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *