Oleh : Gumiwang Aji Darma, Mahasiswa Jurusan Hukum UBB
Pada tahun 2018 yang lalu Asosiasi Penyelenggara Internet Indonesia (APJII) mengeluarkan hasil survey yang menunjukkan bahwa terdapat sekitar 91% dari jumlah total anak dan remaja usia belajar di Indonesia dinyatakan telah menggunakan akses digital internet, dimana meliputi anak-anak dan remaja yang berusia antara 15-19 tahun. We Are Social Bersama Hootsuite juga melaporkan bahwa terdapat sekitar 12,5% dari pengguna internet di Indonesia ialah pelajar di rentang usia 13-17 tahun (Haryanto, 2021). Angka yang sangat besar, yang faktanya menunjukkan bahwa para pengguna internet di Indonesia sangat banyak digunakan oleh kalangan anak-anak dan remaja.
Di Provinsi Bangka Belitung sendiri, Badan Pusat Statistik Bangka Belitung juga menyatakan bahwa jumlah remaja usia sekolah yang menggunakan akses internet di Bangka Belitung telah menyentuh angka 28,55% dari total keseluruhan remaja yang masih sekolah.
Menurut penulis sah-sah saja apabila terdapat anak atau remaja yang menggunakan akses internet, karena hal tersebut memang merupakan salah satu bentuk dari pengimplementasian konsep society 5.0. Dimana memang zaman sekarang kita sedang mengedepankan pemanfaatan teknologi internet dalam dalam kehidupan sehari-hari yang tentunya dinilai dapat memudahkan aktivitas kita, termasuk dalam hal kependidikan.
Sejak tahun 2020 Indonesia diterpa pandemi Covid-19 yang terpaksa membuat pemerintah membuat kebijakan untuk membatasi aktivitas-aktivitas keseharian masyarakat. Hal tersebut kemudian berimbas dengan adanya pembatasan dalam proses belajar mengajar dalam dunia pendidikan, dimana segala bentuk kegiatan belajar mengajar mau tidak mau harus dilaksanakan secara daring/virtual.
Namun tantangannya tidak semudah seperti membolak-balikan telapak tangan, karena dengan adanya perubahan secara mendadak dalam proses belajar mengajar yang awalnya dilakukan secara tatap muka dan secara tiba-tiba berubah menjadi secara daring/online, pasti akan ada tantangan-tantangan dan permasalahan baru dalam pelaksanaan pendidikan secara daring, tentunya hal tersebut memerlukan suatu pedoman yang bisa dijadikan landasan dalam pelaksanaan menjadi seorang warga negara digital yang baik dalam melaksanakan pendidikan secara daring.
Menurut saya pembahasan “masyarakat 5.0” atau “5.0 society” tidak dapat kita pisahkan dengan konsep “kewarganegaraan digital” yang dikemukakan oleh Mike Ribble, dimana ia menjelaskan bahwa Kewarganegaraan digital adalah seperangkat pedoman kode etik yang membantu orang berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain melalui alat digital. Kewarganegaraan digital juga menetapkan penggunaan sumber daya digital yang tepat dan strategi untuk menjaga keamanan warga negara digital.
Dimana setidaknya menurut Mike Ribble terdapat 9 elemen penting yang harus ada dalam menunjang proses pengaplikasian internet bagi warga negara digital, dimana diantaranya adalah ; Akses Digital (Digital Acces), Etika Digital (Digital Etiquette), Hukum Digital (Digital Law), Literasi Digital (Digital Literation), Komunikasi Digital (Digital Communication), Perdagangan Digital (Digital Commerce), Hak dan Tnggung Jawab Digital (Digital Right and Responsibility), Kesehatan dan Kebugaran Digital (Digital Health and Wellness) dan Keamanan Digital (Digital Security).
Disini penulis mengkategorikan setidaknya terdapat tiga buah elemen paling penting yang berkaitan dengan lingkungan pendidikan secara virtual/daring. Yakni yang pertama adalah akses digital (digital acces), yaitu terkait pemenuhan sarana prasarana demi menunjang kebutuhan para siswa dan guru dalam proses pembelajaran secara daring, seperti perluasan cakupan bandwidth internet, penyediaan perangkat-perangkat penunjang internet seperti gawai, laptop dan komputer, serta aplikasi yang dapat digunakan dalam proses belajar mengajar.
Gubernur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Erzaldi Rohman sendiri mengatakan bahwa berdasarkan data tahun 2020 masih terdapat sekitar 41 Desa yang masih menjadi titik “Blankspot” yaitu daerah yang masih belum memiliki akses rercover sinyal komunikasi apapun atau berjumlah sekitar 10,49%. Sementara itu, untuk wilayah yang hanya bisa mengakses sinyal 2G dan masih belum bisa mengakses internet terdapat sekitar 62 Desa atau 15,86 %. Angka yang sangat besar mengingat bahwa Bangka Belitung merupakan salah satu provinsi yang berbatasan langsung dengan Sumatera.
Selain itu, yang kedua adalah pemahaman dalam komunikasi digital (digital communication), yaitu sebuah proses komunikasi dengan pemanfaatan perangkat elektronik serta jaringan internet yang digunakan sebagai media penghubung antara guru dan siswa. Di-era society 5.0 seperti sekarang ini para guru juga harus memiliki kepiawaian dalam mengoperasikan perangkat elektronik serta memiliki keahlian dalam berkomunikasi dua arah yang dilaksakan secara daring. Sehingga proses pembelajaran dapat lebih interaktif dan aktif. Hal tersebut juga dapat dilakukan dengan pemanfaatan Internet of Thing (IoT) secara maksimal.
Untuk elemen yang terakhir, penulis mengkategorikan literasi digital (digital literation) sebagai aspek yang sangat penting dalam pelaksanaan proses pembelajaran secara daring. Literasi sendiri tidak hanya berupa proses membaca saja melainkan juga proses bagaimana menganalisis dan menggunakan data yang telah diperoleh. Pemahaman terkait literasi digital juga dapat meningkatkan kewaspadaan guru dan siswa dalam memilah berita bohong atau hoax.
Menurut hemat penulis, tentunya dengan masih banyaknya daerah di Bangka Belitung yang belum bisa mengakses internet, menjadi sebuah tantangan bagi pemerintah untuk dapat semakin mempercepat proses pembangunan instalasi komunikasi. Di Era 4.0, dengan tidak adanya akses internet tentunya akan mengganggu kesiapan guru dalam pengusaan teknologi dan semakin menyulitkan kalangan guru untuk mencari media literasi digital.
Oleh karena itulah terkadang kita juga masih dapat menemukan guru dengan kualitas sumber daya manusia yang rendah. Selain masalah pada guru, permasalahan para siswa adalah masih sulitnya untuk memperoleh akses
informasi dan sarana prasarana penunjang pribadi seperti ponsel, laptop dan lain sebagainya.
Dalam implementasi dari 9 elemen kewarganegaraan digital (9 element of digital citizenship) selain guru dan siswa, kepala sekolah juga memiliki peran yang sangat penting dalam memimpin dan membuat kebijakan yang baik di era society 5.0. Tidak hanya menggunakan 3 elemen yang penulis sebutkan diatas saja, melainkan seorang kepala sekolah juga haurs benar-benar menguasai kesembilan elemen kewarganegaraan digital tersebut, karena kepala sekolah adalah kunci yang menentukan keberhasilan suatu sekolahan. Kepiawaian kepala sekolah sebagai pemimpinan sekolah juga merupakan sebuah upaya demi meningkatkan serta mendayagunakan segala bentuk teknologi dan sumberdaya sekolah dan tentunya untuk mencapai tujuan sekolah.
Asep Suryana seorang akademisi dari Universitas Pendidikan Indonesia juga mengatakan bahwa, setidaknya seorang kepala sekolah harus memiliki nilai yang dapat menjual dirinya kepada setiap insan yang ada dalam lingkungan pendidikan, oleh sebab itu nilai yang baik yang dimiliki seorang kepala sekolah tentunya akan ditiru oleh setiap personil yang ada di sekolahnya.
Menurut hemat penulis, tantangan bagi seorang kepala sekolah di era society 5.0 adalah ketika seorang kepala sekolah bisa menjadi role model yang baik bagi setiap personil-personil yang ada di sekolahnya. Yang dalam hal ini, seorang kepala sekolah harus memiliki pengetahuan dan pengalaman yang mumpuni perihal penggunaan dan pemanfaatan teknologi. Kepala sekolah juga harus mampu berinovasi dan cepat mengikuti perkembangan zaman yang berubah secara cepat dan dinamis. Sehingga dapat tercipta sistem pendidikan yang lebih modern dan semakin memudahkan proses belajar-mengajar yang ada di sekolahnya. Setiap proses dapat terwujud apabila kepala sekolah sudah bisa menjadikan setiap personil yang ada di sekolahnya untuk mampu menjalin hubungan yang baik dengan sekolah lain, dunia industri dan sebagainya.
Pada akhirnya penulis menyarankan kepada seluruh personil di lingkungan pendidikan baik itu siswa, guru, dan pimpinan sekolah yang ada di Bangka Belitung. Agar dapat selalu mengedepankan pemanfaatan teknologi yang ada, baik itu pemahaman terkait penggunaan teknologi, jaringan internet, serta perangkat-perangkat pendukung yang lainnya agar dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang bermutu dan berdaya saing. Serta tentunya selalu mengedepankan prinsip 9 element of digital citizenship yang dikemukakan oleh Mike Ribble sebagai landasan pacunya.
Semoga sistem pendidikan di Bangka Belitung dapat semakin menghadirkan penerus-penerus bangsa yang hebat, karena sejatinya kemajuan suatu bangsa dimulai dari kemajuan rakyatnya sendiri.
(Red LPM UBB)