Sebagai mahasiswa, tentunya gerakan mahasiswa merupakan gerakan yang sangat dinantikan. Gerakan aksi unjuk rasa merupakan gerakan kolektif yang dibangun atas dasar keresahan dan kegundahan dengan tujuan masyarakat sejahtera. Kegundahan tersebut timbul atas adanya ketidakadilan dan ketimpangan sosial atas munculnya kebijakan dari pihak pemerintahan. Kebijakan tersebut biasanya menuai kontroversi dan polemik, beragam kajian pada isu-isu yang muncul menjadi pondasi pembahasan bahwa keadilan adalah suatu hak yang mesti diperjuangkan.

Situasi dan kondisi menjadikan gerakan mahasiswa sebagai tendensi yang paling menarik dalam mengawal aspirasi masyarakat. Peristiwa yang terjadi dalam beberapa dasawarsa belakangan ini membuktikan bahwa gerakan mahasiswa mampu menggulingkan rezim kejam yang berkuasa sejak turunnya titah surat perintah sebelas maret (super semar). Artinya gerakan yang dibangun sampai saat ini masih tetap relevan sebagai pijakan untuk mengawal hak dan kewajiban masyarakat yang harus dipenuhi oleh wakil rakyat yang berada pada birokrasi pemerintahan.

Universitas Bangka Belitung, kampus yang sudah berdiri sejak 2006 dan di negerikan pada 2010 tentu menjadi kampus besar di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Berjejer dengan perguruan tinggi yang lainnya, tentu sudah seharusnya menjadi inisiator dalam berbagai kesempatan. Masih ingat proses penegerian UBB yang awalnya kampus swasta menjadi perguruan tinggi negeri begitu banyak peristiwa yang cukup menegangkan.

Sebelumnya, ratusan mahasiswa berbondong-bondongm menuju Kantor DPRD Provinsi Kep. Babel. pada 28 Oktober 2010 menuntut kejelasan atas status ‘Negeri’ bagi kampus UBB. Unjuk rasa tersebut didasari rasa kecewa, 3000 mahasiswa menanti kepastian atas penegerian (Bangkapos.com). Di motori oleh semangat menuju UBB berkemajuan, mahasiswa UBB kala itu. Akhirnya, penantian membuahkan hasil. Tepat pada 19 November 2010, melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 65 Tahun 2010 secara resmi UBB bersama Universitas Borneo Tarakan dan Universitas Musamus dialihkan kepemilikan yang semula dimiliki yayasan menjadi milik negara.

Baik, lepas dari euforia gerakan mahasiswa kala itu adakalanya sebagai ‘lidah masyarakat’ tetap harus merefleksikan diri. Terlalu jauh jika menilik kampus UBB hari ini dengan UBB 11 tahun lalu. Kemudian, bagaimana sebagai masyarakat yang kecil dan terlalu sulit menjangkau pimpinan tertinggi menyampaikan pesan bahwa kampus ini sedang sakit?

Penulis adalah salah satu dari ribuan massa aksi yang ditekan berbagai macam perbandingan yang sangat tak penting dan tak layak untuk dijadikan bahan cercaan. Penting ataupun tidak silahkan ditanggapi dengan cermat.

Kemudian, apa alasan munculnya tulisan ini ditengah keadaan pandemi yang tak berkesudahan dan liberalisasi pendidikan serta carut marut kampus peradaban?

Pertanyaan sederhana, pertama penulis sedang kebingungan terhadap fenomena kebablasan organisasi dalam menjalankan aktivitas. Cukup heran, hari ini sampai saat ini bahwa lembaga eksekutif dan legislatif sama sekali tak ada bedanya. Mengapa demikian, fakta dilapangan hari ini legislatif bertindak seolah eksekutif tetapi pihak eksekutif tak wujud pergerakannya bahkan tak bergerak.

Lihat saja, siapa yang turun melakukan serap aspirasi dan melakukan audiensi ketika mahasiswa Merdeka Belajar tak punya dana untuk menjalankan tuntutan program. Satu contoh yang cukup besar dampaknya, namun menggambarkan bahwa fungsi proporsional dalam berorganisasi tak terjalankan.

Kedua, penulis kembali bingung. Sebesar UBB apakah sudah tidak mampu untuk menginisiasi gerakan dengan eskalasi besar-besaran? Empat periode kebelakang dari lembaga eksekutif saat ini tengah menjalankan roda pemerintahannya, UBB selalu menjadi poros dalam rangkaian pergerakan dalam melakukan kritik terhadap pemerintah yang zalim dan birokrasi perguruan tinggi yang lalai. Namun UBB hari ini hanya mampu menjadi pengekor dari berbagai gerakan, begitu pada selebaran aksi tampak logo lembaga eksekutif sangat bersinar. Tapi kali ini semua tau, bukan UBB yang memimpin.

Ketiga, penulis benar-benar bingung. Mengapa aksi yang biasanya selalu ramai dan hangat pada hari-hari besar malah terkesan hanya meramaikan, sudah tak tampak lagi gagasan dan narasi yang dibangun. Jelas sekali demikian, panggung narasi yang biasa dikenal dengan istilah konsolidasi malah dilakukan H-1 sebelum digelarnya unjuk rasa. Bahkan, tak ada ajakan konsolidasi malah muncul seruan aksi. Lucu sekali.

Begini, penulis mencoba kembali meminta para pembaca untuk berpikir. Apakah kampus UBB sedang baik-baik saja hari ini?

Siapa yang seharusnya berperan, sudah jelas mahasiswa. Yang pasti UBB punya lembaga, tapi tidak seharusnya dituntutkan ke salah satu pihak. Semua punya porsinya masing-masing. Tulisan ini memang sengaja di tulis, bukan bermaksud untuk menyinggung pihak manapun. Kadang jika sudah dekat dengan kontestasi politik, semua hal akan di cocok logikan.

Penulis: Feng (bukan nama sebenarnya)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *