Oleh: Siti Nafsiah
Kelangkaan minyak goreng di seluruh daerah Indonesia, tak terkecuali Bangka Belitung menunjukkan adanya problem distribusi yang serius. Tata kelola distribusi barang dalam sistem ekonomi Kapitalisme nyatanya selalu menimbulkan masalah yang berulang terutama pada komoditas kebutuhan pokok rakyat.
Dilansir dari finance.detik.com (15/3/22), Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Yeka Hendra Fatika menyebutkan masalah kelangkaan minyak goreng saat ini terjadi karena kebijakan yang ditempuh pemerintah dalam mengintervensi tata niaga minyak goreng tidak tepat sasaran. Setidaknya, ia menyebutkan ada tiga dugaan alasan yang mendukung statement tersebut. Pertama, penerapan DMO alias pemenuhan stok CPO untuk kebutuhan dalam negeri di bagian hulu yang cenderung mengutamakan eksportir daripada produsen minyak goreng dalam negeri. Akibatnya, banyak produsen minyak goreng tak kebagian jatah stok CPO murah. Bila CPO yang didapatkan lebih mahal maka harga produksi akan lebih besar, ujungnya barang yang dihasilkan menjadi mahal harganya. Produsen minyak goreng diduga mengurangi produksi bila tidak mendapatkan stok CPO yang murah.
Kedua, masih adanya perilaku panic buying alias pembelian yang berlebihan di tingkat konsumen. Yeka mengatakan banyak masyarakat yang meningkatkan stok minyak gorengnya di rumah. Bukan menimbun, namun menambahkan cadangan minyak goreng untuk konsumsi. Hal itu bisa terjadi karena belum adanya jaminan ketersediaan minyak goreng di pasar.
Ketiga, munculnya pelaku spekulan di pasar. Mereka menimbun stok minyak goreng, ataupun menyelundupkan minyak goreng untuk konsumsi untuk dijual lagi. Menurut Yeka, spekulan ini memanfaatkan disparitas harga besar antara HET dan harga di pasar. Aktivitas spekulan inilah memunculkan dugaan penyelundupan minyak goreng. (https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5984208/ombudsman-beberkan-biang-kerok-minyak-goreng-langka)
Ketiga alasan di atas telah mengindikasikan adanya problem hulu yang dimainkan oleh oligarkh dengan legitimasi regulasi. Kemudian, pada hilirnya, terdapat problem yang serius pada distribusi barang. Kapitalisme yang menjadi payung sistem ekonomi hari ini akan selalu menjamin adanya liberalisasi kepemilikan. Karenanya, siapapun bebas memiliki barang apapun dengan cara apapun. Bahkan dengan adanya konsep liberalisasi (kebebasan) ini, peran negara dalam distribusi kebutuhan rakyat pun sangat minim. Semua diserahkan kepada mekanisme pasar bebas ala Kapitalisme yang sangat memungkinkan terjadinya kesenjangan bahkan dominasi pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah.
Karenanya, wajar saja jika dugaan alasan yang dikemukakan Ombudsman RI di atas menjadi realitas yang terjadi saat ini. Terutama dengan tidak adanya jaminan distribusi minyak goreng yang merata pada setiap individu rakyat bahkan dengan munculnya permainan para spekulan, ini telah jelas menunjukkan lemah dan kacaunya distribusi kebutuhan rakyat dalam sistem hidup Kapitalisme.
Sungguh, jika memandang realitas ini dengan perspektif Islam, tentu adanya kelangkaan minyak goreng di tengah masyarakat adalah kedzaliman. Sebab Allah mensyari’atkan adanya pengaturan yang harus dilakukan oleh Negara melalui pemimpinnya.
Oleh karenanya, dalam syari’at, dikenal adanya politik Islam yang berisi pengaturan seluruh urusan umat (masyarakat) dengan menggunakan aturan-aturan Islam yang ditetapkan Allah, al-Mudabbir. Syari’at Islam mampu menyolusi semua aspek kehidupan masyarakat, tak terkecuali aspek ekonomi, yang dikenal pula dengan sebutan Politik Ekonomi Islam.
Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya, Sistem Ekonomi Islam menyebutkan politik ekonomi Islam akan menjamin terpenuhinya kebutuhan setiap individu rakyat/warna negara, yakni kebutuhan primernya, termasuk kebutuhan sekunder dan tersier sesuai dengan kesanggupannya. Untuk itu, termasuk dalam memenuhi kebutuhan minyak goreng seperti pada kondisi saat ini misalnya, politik ekonomi Islam mampu memberikan solusi secara benar agar kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi. Dalam distribusi minyak goreng ke tengah masyarakat, politik ekonomi Islam akan menjamin penerapan beberapa aturan berikut.
Pertama, politik ekonomi Islam menjamin distribusi minyak goreng secara merata pada setiap individu rakyat. Hal ini karena orientasi jaminan kemakmuran masyarakat bukan dengan perhitungan rerata, namun pada terjamin tidaknya setiap orang dalam negara untuk menikmati hidup. Islam memandang setiap orang secara individu, bukan secara kolektif sebagai komunitas yang hidup dalam sebuah negara. Karenanya, Islam memandang setiap orang sebagai manusia harus dipenuhi semua kebutuhan primernya secara menyeluruh. Hal ini menjadi kewajiban negara (melalui penguasanya) terhadap rakyat. Hadirnya peran negara secara penuh dalam pemerataan distribusi kebutuhan primer ini berkonsekuensi pada dosa di hadapan Allah jika ada penguasa yang lalai dalam kewajibannya ini.
Sangat wajar jika dalam sejarah dapat ditemukan betapa seriusnya para Khalifah terdahulu dalam memastikan setiap rakyatnya dalam keadaan kenyang. Semisal Khalifah Umar bin Khaththab ra. yang memanggul sendiri gandum dan daging bahkan memasakannya sendiri untuk rakyatnya seorang janda dan anak-anaknya yang kelaparan di malam hari.
Karenanya, politik ekonomi Islam pun akan menyolusi kelangkaan minyak goreng saat ini dengan turun langsungnya para penguasa secara serius untuk mencari penyebab utamanya yang diikuti dengan keluarnya regulasi yang akan menghentikan setiap kebijakan maupun praktik ekonomi yang tidak sesuai dengan syari’ah Islam, baik di hulu maupun hilir. Hal ini sejalan dengan fungsi pemimpin negara yang ditetapkan oleh Allah SWT melalui risalah-Nya pada Rasulullah saw.
“Imam (Pemimpin) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Bukhari)
Kedua, politik ekonomi Islam akan memberantas para spekulan yang melakukan penimbunan minyak goreng untuk meraup keuntungan. Praktik penimbunan dengan tegas dilarang oleh Allah SWT dan hukumnya haram. Rasulullah saw bersabda:
“Tidak akan melakukan penimbunan selain orang yang salah” (HR. Muslim)
Syari’at menetapkan, disebut penimbunan jika memang memenuhi syarat, yakni sampai pada batas yang menyulitkan warga setempat untuk membeli barang yang ditimbun. Kemudian, dalam penimbunan ini terjadi penumpukan barang dengan tujuan tertentu seperti menaikkan harga seperti yang dilakukan para spekulan.
Maka kondisi ini akan dihentikan dalam politik ekonomi Islam sehingga tidak ada hal-hal yang menghambat pemerataan distribusi kebutuhan pada setiap individu rakyat. Terlebih, politik ekonomi Islam akan menyelamatkan siapapun dalam Negara Islam dari praktik yang mengandung keharaman seperti penimbunan ini.
Bahkan, termasuk jika ada yang melakukan penimbunan barang bukan untuk menaikkan harga, namun demi kepentingan tertentu semisal untuk prestise agar mendapat simpati masyarakat atau untuk menyukseskan program tertentu sedangkan telah jelas terjadi kesulitan di tengah masyarakat untuk mendapatman komoditas tersebut, maka tentu Negara juga tidak akan diam. Akan diberlakukan tindak tegas pada oknum yang memanfaatkan kesempatan di tengah kesulitan rakyat secara umum.
Terjaminnya distribusi yang merata dengan politik ekonomi Islam ini tentu menjadi regulasi yang kontradiktif dengan realitas hari ini. Politik ekonomi Islam hadir sebagai kebijakan yang manusiawi karena berasal dari Zat yang mustahil keliru memberikan aturan terbaik pada makhluk-Nya, yakni Allah SWT. Dan ini berkebalikan dengan politik ekonomi ala sistem Kapitalisme hari ini yang murni berasal dari akal manusia sehingga wajar menyebabkan problem yang tak berkesudahan. Jelas sudah komparasi kedua sistem ini, tidakkah kita ingin menjadikan Islam sebagai alternatif solusi problem negeri ini?
Wallahua’lam bishshawwab. []