Oleh : Ihtisyamul Fatimah

Kasus disunatnya vonis jaksa Pinangki Sirna Malasari oleh Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta dari 10 tahun penjara menjadi hanya 4 tahun. Vonis yang dilakukan hakim Muhammad Yusuf, Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Reny Halida Ilham Malik ini benar-benar menciderai rasa keadilan masyarakat.

Padahal Pinangki yang merupakan aparat penegak hukum terbukti disebut jaksa menerima suap USD 450 ribu dari Joko Soegiarto Tjandra untuk mengurus fatwa Mahkamah Agung (MA) dan melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Namun sebelumnya hakim Pengadilan Tipikor telah memvonis jaksa Pinangki dengan hukuman 10 tahun penjara. Karena terbukti dinyatakan melanggar Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pinangki juga bersalah melakukan permufakatan jahat melanggar Pasal 15 jo Pasal 13 UU Tipikor. Selain itu, Pinangki melanggar pasal pencucian uang, yaitu Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan TPPU.

Pemotongan hukuman oleh PT Jakarta pun mendapatkan kecaman berbagai pihak. Potongan itu diberikan lantaran Pinangki dinilai menyesali perbuatannya.

“Bahwa Terdakwa adalah seorang ibu dari anaknya yang masih balita (berusia 4 tahun) layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhannya. Bahwa Terdakwa sebagai wanita harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil,” ujar ketua majelis Muhammad Yusuf (Detik.com, 20/06/21).

Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) Pinangki justru pantas diganjar dengan hukuman penjara seumur hidup. Bahkan lebih dari 16.542 orang yang telah menandatangani petisi agar jaksa mengajukan kasasi atas vonis Pinangki Sirna Malasari yang disunat dikutip dari website change.org.

Adapun alasan yang diajukan oleh penandatangan petisi Mikael “Maling ayam, penjambret, perampok, dan beberapa tindakan kejahatan diawali karena faktor ekonomi dan pendidikan tak berkeadilan. Salah satu penyebab ekonomi dan pendidikan tidak berkeadilan adalah korupsi. Sudah saatnya hukuman berat (mati/kebiri) + hukum sosial (bersih-bersih sungai atau jalan) + dimiskinkan bagi para pelaku kejahatan korupsi tanpa toleransi. Selama hukumnya masih terlalu ‘lembut’, Indonesia Raya akan tetap seperti ini.”(detik.com, 20/06/21)

Wajar saja jika berbagai pihak mencurigai ada sesuatu di balik pemotongan vonis Pinangki. Salah satu pernyataan yang dilontarkan Andi “Hukum kok dibuat mainan, apakah ada permainan ‘dibalik potongan 6 tahun ?’ sangat janggal sekali alasan potongan hukuman 6 tahun, yang katanya alasan perempuan, pastinya akan membuat polemik dan masalah, dan dipastikan akan ada protes dari narapidana perempuan yang lain, dari kasus kriminal lainnya.”(detik.com, 20/06/21)

Berdasarkan kasus pinangki ini menjadi salah satu saksi buruknya penegakan hukum di indonesia dari sekian banyak kasus. Hal ini menunjukkan makin kuatnya mafia peradilan di negeri ini, karena aparat penegak hukum tidak lagi berpihak pada keadilan justru terlihat penyalagunaan wewenang.

Alih-alih bisa memberikan efek jera kepada orang-orang yang terlibat dan memberi rasa keadilan sempurna bagi semua pihak, justru meringankan hukuman bagi pelaku kejahatan yang membuat masyarakat semakin hilangnya kepercayaan kepada aparat penegak hukum.

Dari kasus KKN ini tentu saja yang sangat dirugikan ialah rakyat yang menjadi korban ketidakadilan. Bahkan ICW mengatakan sebagian besar koruptor hanya dijerat dua tahun penjara.

Sangat jelas sistem hukum buatan manusia banyak sekali kelemahan, rentan dipermainkan, dan selalu digunakan sesuai kepentingan oligarki kekuasaan.

Tidak heran kalau kasus semacam ini terjadi di sistem demokrasi. Faktanya hampir semua lembaga tinggi negara terjerat kasus Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN). Tidakkah betapa bobroknya sistem kapitalisme sekuler ini? Dari penerapan sistem politik demokrasi secara sadar telah menciptakan habitat yang menumbuh suburkan korupsi dan memakmurkan kalangan elit.

Bahkan saat para penguasa dikenai hukuman penjara masih bisa merasakan kemewahan dan kenyamanan. Fasilitas bak seperti orang yang sedang liburan.

Bukankah sudah jelas sistem demokrasi sekuler buatan manusia yang menjadi sumber dari ketakadilan hukum. Maka, jangan berharap sistem ini bisa mencegah kejahatan dan menciptakan keadilan.

Al Qur’an telah menjelaskan bahwa hak membuat hukum hanyalah milik Allah SWT, bukan buatan manusia dengan mengatasnamakan rakyat. Dalam sistem islam pun hukum tidak bisa ditetapkan sesuka hati oleh penguasa. Karena, hukumnya berasal dari sang pencipta (Allah SWT) sang maha benar yang sumbernya dari al-qur’an dan as-sunnah.

Karena itu, jalan satu-satunya untuk membrantas korupsi mengganti sistem yang rusak ini dengan sistem islam yang akan menjamin keadilan dan kesejahteraan umat. Terbukti dalam sejarahnya sistem islam pernah diterapkan selama 13 abad lamanya dan pernah menguasai 2/3 dunia.

Islam bukan hanya sebagai agama spiritual saja tetapi, juga mengatur segala aspek kehidupan. Mulai dari ekonomi, pendidikan, perpolitikan semuanya suda ada dalam islam komplit. Semua ini akan terwujud jika menerapkan seluruh aturan islam di atas landasan iman.

Maka solusi yang paling tuntas dalam membrantas korupsi dan menciptakan rasa keadilan di tengah masyarakat dengan mencabut sistem kapitalisme sekuler sampai keakar-akarnya. Digantikan dengan sistem islam dan institusi sebagai penegaknya yang terjamin menciptakan keadilan dan kesejahteraan.

(Ihtisyamul Fatimah/Red LPM UBB)

By Mental

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *