Oleh : Meiiko
Covid-19 belum minggat dari kenyataan hidup hari ini. Mempengaruhi segala tatanan kehidupan manusia, hampir diseluruh dunia. Makhluk kecil “tak kasat mata” kini menjadi lawan berperang bagi seluruh dunia. Indonesia pun tak luput dari serangannya. Tercatat 11 April 2010, sudah 3500 orang yang terdeteksi positif covid-19, virus yang berasal dari kota Wuhan, Tiongkok ini. Semakin hari, semakin bertambah, bisa jadi seperti yang dikatakan banyak pakarnya, manusia Indonesia yang positif covid-19 lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan apa yang dirilis setiap hari oleh pihak terkait.
Secara garis besar, serangan virus ini sudah menghambat laju perekonomian negara, PHK terjadi dimana-mana karena adanya himbauan bagi pelaku usaha untuk menutup sementara usahanya, ada yang sengaja menutup usaha karena sepinya pelanggan, menurunnya daya beli, ada yang memotong gaji karyawannya, dan masih banyak kisah pilu lainnya. Permasalahan baru pun muncul bertubi-tubi. Pengangguran kian banyak jumlahnya, daya beli menurun membuat laju perekonomian terhambat. Masyarakat diminta untuk berdiam diri di rumah, sementara kebutuhan hidup harus tetap dipenuhi ditengah kemelut ekonomi yang menghimpit.
Pemerintah sebagai “orangtua”nya masyarakat pun mulai kelabakan untuk menyelesaikan problem mendadak ini. Disaat perkonomian Indonesia sedang tak baik-baik saja, Corona datang menghantam, dan terjadilah “ketidakberhargaan” mata uang rupiah, jatuh tanpa harga diri, terusak sepanjang sejarah. Ya, rasanya wajar saja terjadi dalam bencana non-alam seperti ini. Pemerintah mulai putar otak, dilansir dari Merdeka.com, pemerintah berencana akan membuka rekening khusus untuk menampung donasi dari pelaku usaha guna membantu penanganan virus corona di Indonesia, yang nantinya BNPB sebagai gugus tugas akan mengelola rekening tersebut. Padahal sudah tertera di atas, bahwa banyak sekali sector yang “bau-bau gulung tikar” karena Covid-19 ini. Bagaimana dengan dana pembangunan ibukota baru. Banyak sekali pihak yang menyarankan pemerintah untuk mengalokasikan dana Ibukota baru untuk menangani covid-19, misalnya Gupardi Gaus, Anggota Komisi II DPR. Ia menimbang bahwa minimnya sarana-prasarana yang dibutuhkan dan santunan untuk para tenaga medis yang telah menjadi korban penanganan pandemic ini (MediaIndonesia, 7 April 2019).
Untuk mengatasi covid-19 ini tentunya pemerintah harus jor-joran mengeluarkan dana, karena ini menyangkut nyawa rakyat, semestinya harus lebih jor-joran dan lebih serius dibandingkan membangun insfrastruktur atau hal lain untuk kepentingan asing dan aseng. Dikutip dari Vivanews.com (28 Maret 2019), Wakil Ketua Policy Center Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI), Haryadin Mahardika mengatakan, bahwa lebih dari 50% tenaga kerja Indonesia bekerja harian, mereka harus mendapatkan BLT, memberikan intensif kepada UKM seperti pedagang kaki lima, pedagang keliling yang terpaksa menutup dagangannya Karena covid-19 dan untuk APD, Ventilator, tempat tidur Isolasi, dan alat medis lainnya pun akan terjamin baik bila pemerintah menyiapkan dana diatas angka Rp200Triliun.
Wah ‘ringem’ (Red: risau) sekali ya dengan permasalahan ekonomi yang begitu kompleks saat ini, apakah mampu pemerintahan kita memberikan yang terbaik untuk masyarakat dalam keadaan terhimpit seperti ini?
Lalu, sekiranya pernahkah pada masa Islam terjadi kerumitan ekonomi seperti yang terjadi sekarang?
Pada masa Umar ra. Ketika beliau menjabat menjadi Khalifah, pernah terjadi krisis ekonomi. Beliau memilih untuk hidup sederhana, bahkan lebih kekurangan dibandingkan masyarakatnya. Karenanya beliau berharap bisa merasakan betul bagaimana penderitaan yang dialami rakyatnya. Selain itu beliau juga mengelurkan dengan cepat, tanggap, dan komprehensif untuk menanggulangi krisis yang terjadi, mengerahkan segala struktur, perangkat negara, dan semua potensi yang ada untuk membantu masyarakat yang terdampak. Tidak hanya itu, beliau pada masa itu juga langsung turun untuk mengurus rakyatnya, semua struktur kenegaraan saling bersinergi, tidak hanya perintah sana perintah sini, terjun langsung bahu membahu, sebagai bentuk tanggungjawab kepada Allah dan rakyatnya.
Pada masa krisis tersebut Khalifah Umar ra, langsung menugaskan beberapa orang di berbagai penjuru Madinah untuk memantau kondisi rakyat yang berkumpul untuk mencari rejeki di sekitar mreraka. Mereka bertugas untuk membagikan makanan dan lauk pauk, Sore harinya orang-orang yang bertugas tadi dikumpulkan dan diberikan kesempatan untuk mengevaluasi tugasnya. Khalifah Umar ra. Juga memberikan makan kepada orang-orang badui dari Dar ad-Daqi, yaitu lembaga perekonomian yang berada pada masa pemerintahannya. Bertugas membagi tepung, mentega, kurma, dan anggur yang berada di gudang kepada orang-orang yang datang ke Madinah sebelum bantuan dari Mesir, Syam, dan Irak.
Abu Hurairah ra, bahkan menceritakan bahwa beliau pernah melihat Khalifah Umar ra. Pada tahun kelabu memanggul dua karung di atas punggungnya, dan sewadah minyak berada di tangannya. Ia meronda bersama Aslam. Saat keduanya Abu Hurarirah ra, umar bertanya “Dari mana engkau, wahai Abu Hurairah?”, beliau menjawab “Dari dekat sini”. Abu Hurairah pun membantu memanggul. Tiba di perkampungan Dhirar sekelompok orang berasal dari dua puluh kepala keluarga dayang. Umar ra bertanya mengenai maksud kedatangan mereka. Mereka menjawab “Lapar”. Lalu Umar pun melepas selendangnya dan memasak dan memberi mereka makan hingga mereka kenyang, hal ini terus dilakukan Umar ra. Hingga Allah hilangkan musibah itu dari mereka.
MasyaAllah begitu bertanggungjawabnya pemimpin pada masa Islam. Semoga segera kembali pemimpin-pemimpin semacam itu, dalam sistem hidup yang tentunya sesuai dengan apa yang syariat perintahkan.
(Red Meiiko/LPM UBB)