Oleh : Inaki Sahrul Fitri, Mahasiswa IAIN SAS BABEL

Pernyataan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengenai penetapan COVID-19 sebagai pandemi serta adanya penyebaran virus Corona COVID-19 di Indonesia pada 3 Maret 2020 lalu, picu panic buying terhadap pembelian masker, hand sanitizer, serta rempah-rempah. Sehingga hal tersebut menimbulkan kelangkaan stok serta kenaikan harga terhadap barang yang diburu.

Dilansir melalui laman tirto.id, penimbunan yang dilakukan oleh konsumen atau masyarakat ketika terdapat situasi tertentu yang dianggap darurat kerap dikenal dengan istilah panic buying. Menurut Enny Sri Harti, Direktur Eksekutif Institute of Economics and Finance (INDEF) perilaku panic buying dipicu oleh faktor psikologis yang disebabkan tidak sempurnanya informasi yang diberikan kepada konsumen atau masyarakat. Akibatnya timbul kekhawatiran pada masyarakat sehingga menimbulkam respon panic buying untuk melakukan penyelamatan diri. Kekhawatiran tersebut pun memiliki dua bentuk yakni, pertama adalah rasa khawatir akan terjadinya kenaikan harga. Kedua adalah rasa khawatir akan kehabisan stok barang.

Sehingga situasi panic buying serta kelangkaan barang ini dimanfaatkan oleh beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab dengan melakukan penimbunan, yang mana kemudian barang tersebut dijual kembali dengan harga yang sangat tinggi dari harga beli. Hal ini tentu mendapatkan respon dari pemerintah, dengan ditindaklanjuti melalui proses hukum oleh pihak kepolisian.

Namun sayangnya, masker-masker yang telah diamankan oleh pihak kepolisian sebagai tanda bukti dari penimbunan yang dilakukan oleh oknum tidak bertanggung jawab, diperjualbelikan kembali oleh pihak kepolisian. Hal ini tentu sangat disayangkan, disaat pemerintahan negara tetangga (Singapura) membagi-bagikan masker secara gratis kepada masyarakatnya, negara Indonesia justru menjual kembali barang sitaan penimbunan yang walaupun dijual kembali dalam harga yang murah.

Hal ini menandakan bahwa negara sekarang ini tak mampu menjaga stabilitas harga.  Hal ini sangat berbeda dengan kebijakan dalam negara Khilafah dalam mengendalikan stabilitas harga, negara Khilafah akan mengendalikan dengan cara yang dibenarkan oleh syariat Islam. Pemerintahan Islam akan meriayah rakyatnya secara maksimal, bukan rakyat yang survive, melayani dirinya sendiri serta menjamin kebutuhannya sendiri. Pada sistem hari ini masyarakat sudah terbiasa meyelesaikan masalahnya sendiri, bersiap untuk mengisolir diri sendiri untuk menghindari wabah ini. Inilah dampak yang harus diderita umat disaat pemerintah abai, gagal dalam meciptakan rasa aman dan bahkan menciptakan nestapa kesedihan bagi masyarakat miskin yang tidak mampu melindungi dirinya sendiri, padahal mereka dipercaya rakyat untuk mengurusi kepentingan rakyat itu sendiri, tetapi penguasa tersebut melalaikannya. Padahal Rasulullah SAW telah bersabda:”siapa yang diserahi oleh Allah untuk mengatur urusan kaum Muslimin, lalu dia tidak mempedulikan kepentingan dan kebutuhan mereka, maka Allah tida akan memperdulikan kebutuhan dan kepentingan mereka pada hari kiamat nanti.” HR.Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Hal ini sudah sangat jelas bahwa pemerintahan Islam akan memenuhi kebutuhan rakyatnya, terlebih kebutuhan yang dibutuhkan saat terjadinya wabah seperti ini.

(Red Inaki/LPM-UBB)

By Mental

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *