Oleh Arie Hidayat (Mahasiswa Teknik Mesin Universitas Bangka Belitung)
Momentum Hari Laut Sedunia yang diperingati setiap tanggal 8 Juni mestinya disambut dengan baik oleh seluruh pihak tanpa terkecuali. Potensi dan kekayaan alam di laut merupakan salah satu dari banyaknya karunia Tuhan yang tak ternilai harganya. Sebagai umat manusia, tentunya paham bagaimana bertindak dalam mengupayakan dan memanfaatkan serta merawat bermacam ekosistem yang ada di laut.
Sebagai negara maritim, terhampar gugusan pulau-pulau yang dikelilingi oleh perairan pastinya menjadi ciri khas tersendiri. Bagaimana tidak, ragam jenis biota laut dan terumbu karang pun ada di Indonesia. Tercatat, luas wilayah perairan Indonesia mencapai 6,32 juta km² dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. United Nations Developmet Programme (UNDP) menyebutkan bahwa Indonesia sebagai habitat bagi 37 persen ikan karang dan 76 persen terumbu karang dunia, kemudian sebanyak 54 persen kebutuhan protein nasional dipenuhi dari hasil tangkap nelayan dan produk laut lainnya. Selain itu, hasil laut Indonesia menyumbang 10 persen kebutuhan perikanan global. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sekitar 7,87 juta jiwa penduduk miskin nasional menggantungkan hidupnya dari laut. Mereka tersebar di 10.666 desa pesisir yang berada di 300 dari total 524 kabupaten dan kota se-Indonesia.
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebagai penghasil timah terbesar se-Asia Tenggara, tentunya menjadi bargaining position bagi wilayah ini. Pasalnya dengan kekayaan alam dan sumber daya mineral yang melimpah idealnya menjadikan Bangka Belitung sebagai leading sector bagi pembangunan nasional. Hanya saja tata kelola dan pemanfaatan sumber daya perlu menjadi perhatian.
Eksploitasi sumber daya mineral yang ada di laut seharusnya dilakukan secara bertahap, baik, dan benar, serta memperhatikan kaidah good mining practice agar terhindar dari kerusakan yang memperparah kondisi lingkungan. Tetapi tidak pada kenyataannya, aktivitas tambang Inkonvensional masih tetap berjalan di kawasan pesisir hingga laut dalam.
Salah satu contoh kasus yang masih hangat ialah konflik antara penambang dan nelayan di kawasan Teluk Kelabat Dalam. Konflik tersebut dapat terjadi karena tidak adanya kesigapan aparat penegak hukum dalam menindak tegas persoalan ini. Pada Perda No. 3 Tahun 2020 Tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Teluk Kelabat ditetapkan dalam beberapa wilayah zonasi. Pasal 17 (a) yaitu zona pariwisata yang mencakup Pulau Dante, pasal 26 (b) Teluk Kelabat sebagai zona perikanan budidaya, serta pasal 29 (a) bahwa Teluk Kelabat sebagai zona perikanan tangkap. Jelas dalam hal ini nelayan Teluk Kelabat mestinya diuntungkan karena berada pada wilayah zero tambang.
PT Timah selaku pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) di hampir seluruh wilayah Bangka Belitung berstatemen tidak menerbitkan SPK untuk beraktivitas di Teluk Kelabat Dalam. Namun fakta di lapangan menjelaskan, aktivitas tambang masih saja dapat berlangsung. Para penambang begitu leluasa mengeruk habis isi perut bumi di kawasan tersebut. Jika hal seperti ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin terjadinya pendangkalan. Bahkan hal terburuknya biota laut khas Teluk Kelabat akan habis dan zona tangkapan nelayan akan semakin menjauh. Jika ada agenda penertiban, para penambang selalu berhasil menghindar bahkan masih sempat menyembunyikan ponton TI mereka. Seolah-olah telah terjadi main mata antara penambang dan pihak aparat sehingga penyidakan tersebut dapat dilewati dengan aman.
Ruang laut dan pesisir Bangka Belitung yang notabenenya barang publik yang dikuasai negara punya potensi ekonomi kelautan yang harus dioptimalkan untuk pembangunan daerah. Persoalannya ialah peranan komoditas timah untuk Bangka Belitung masih belum begitu optimal. Hal ini dapat terlihat dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hanya 3% dari laba perusahaan penambang dan itu pun dibagikan lagi untuk berbagai sektor pembangunan. Hal ini diperparah dengan kerusakan dan degradasi lingkungan yang terjadi akibat dari semakin tidak terkendalinya aktivitas tambang.
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mewanti-wanti akan potensi ancaman liberalisasi pada sektor kelautan dan perikanan. Benar memang, berangkat dari kasus tersebut pelaksanaan Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam dalam tanda kutip “Pemberdayaan Nelayan” tidak berjalan efektif. Belum lagi UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batu Bara, khususnya pasal 28a disebutkan bahwa wilayah Hukum Pertambangan adalah seluruh ruang darat, ruang laut, termasuk ruang dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah yakni kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan, dan landas kontinen. Pada titik ini, UU Minerba akan melanggengkan krisis lingkungan hidup, khususnya di kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Menjadi tanda tanya besar, bagaimana bisa pemerintah dalam hal penyusunan regulasi masih saja terjadi tumpang tindih.
Ultimatum bagi Pemerintah Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dalam hal ini untuk segera menindak lanjuti bagaimana seharusnya melakukan perencanaan pemanfaatan dan tata kelola sumber daya alam yang beraneka ragam di kawasan perairan. Terjadinya abrasi pada bibir pantai, kerusakan hutan bakau, belum lagi pencemaran limbah pasca tambang, tentunya hal ini akan sangat berdampak bagi masa depan Negeri Serumpun Sebalai.
Selamat Hari Laut Sedunia, tentunya kita selaku masyarakat awam pun harus ikut berperan dalam mengkampanyekan selamatkan laut Bangka Belitung agar kekayaan di dalamnya dapat dinikmati oleh anak cucu kelak nanti.
(Arie Hidayat/Red LPM UBB)