Oleh: Citra Afrilianti

Selama dua tahun terakhir ini, narasi moderasi beragama memang begitu gencar diaruskan, bersamaan dengan proyek-proyek liberalisasi ekonomi yang juga gencar dilakukan.

Demi sukses moderasi, pihak pemerintah—khususnya Kemenag—telah melakukan berbagai langkah, mulai dari riset-riset, diklat-diklat, training for trainer, sosialisasi konten di berbagai kanal medsos, deteksi dini konflik keagamaan, hingga memasifkan agenda-agenda dialog antaragama di berbagai level termasuk di perguruan tinggi.

Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengharapkan juga sinergi dan peran perguruan tinggi dalam mengawal moderasi beragama di Indonesia. Apalagi di dalamnya terdapat Pusat Kajian Moderasi Beragama yang perannya perlu terus dimaksimalkan. Karena saat ini, menurutnya dunia tengah menghadapi dua kutub ekstrem pemikiran, yaitu konservatisme dan sekularisme dalam memahami ajaran agama.

“Karena itu, upaya mengawal moderasi beragama menjadi semakin penting untuk terus dimajukan, dalam rangka menjaga persatuan dan kesatuan umat serta bangsa dan pemerintah membutuhkan peran berbagai pihak dalam menjaga moderasi beragama di Indonesia,” katanya (republika.com, 20/5/2021).

Tekad presiden untuk menjadikan Indonesia sebagai “poros moderasi Islam dunia” yang disampaikan pada KTT Islam tiga tahun lalu tampaknya memang tak main-main. Terbukti, proyek moderasi beragama ini masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020—2024 dan Kementerian Agama (Kemenag) menjadi leading sectornya.

Dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Kementerian Agama Tahun 2021 secara daring, Yaqut Cholil Qoumas selaku Menteri Agama Republik Indonesia menekankan jajarannya untuk wujudkan 7 program prioritas kemenag meliputi; penguatan moderasi beragama, transformasi digital, revitalisasi KUA, cyber Islamic university, kemandirian pesantren, tahun toleransi 2022, dan religiosity index.

Salah satu program prioritas kemenag adalah Cyber Islamic University (CIU). Direktur Jenderal Pendis M. Ali Ramdhani menyampaikan pengembangan CIU ini merupakan upaya Kemenag untuk menjawab tantangan pendidikan di era digital.  Model pembelajaran Cyber Islamic University sepenuhnya dilakukan secara daring. Dimulai dari pendaftaran, proses pembelajran sampai kelulusan dilaksanakan secara daring. Gagasan membuat CIU juga bertujuan untuk memfasilitasi para guru madrasah yang belum memiliki gelar strata 1 (S1) untuk melanjutkan pendidikannya. Langkah ini sebagai upaya Kemenag untuk memberikan afirmasi bagi guru-guru madrasah dalam memperoleh pendidikan lanjutan tanpa meninggalkan pekerjaan utamanya sebagai guru.

Sedangkan program prioritas lainnya seperti kemandirian pesantren lebih ditekankan pada aspek ekonomi. Menag Yaqut Cholil Qoumas mengatakan kemandirian pesantren, mampu memperbaiki sumber daya ekonomi, baik bagi pesantren itu sendiri maupun masyarakat di sekitarnya.

Dirjen Pendidikan Islam Kemenag, Muhammad Ali Ramdhani mengatakan ada empat tujuan dibangunnya kemandirian pesantren. Pertama, penguatan fungsi pesantren dalam menghasilkan insan yang unggul dalam agama, keterampilan kerja dan wirausaha. Tujuan kedua, ialah penguatan pondok pesantren dalam mengelola unit bisnisnya sebagai sumber daya ekonomi. Ketiga, peta jalan ini dimaksudkan untuk penguatan pesantren dalam menjalankan fungsi pemberdayaan masyarakat. Keempat, peran Kemenag dan lembaga lain dalam mewujudkan kemandirian pesantren.

Di saat Indonesia secara massif menggencarkan program moderasi beragama, justru kebebasan beragama di Indonesia dinilai buruk dalam laporan tahunan USCIRF. Dua laporan soal kebebasan beragama internasional terbit dalam sebulan terakhir. Kedua laporan menyoroti betapa pandemi digunakan sebagai dalih untuk membatasi kebebasan beragama khususnya bagi para minoritas. Namun khusus untuk Indonesia, penggunaan ideologi negara untuk pembenaran juga dinilai rawan penyalahgunaan. Laporan internasional ini seolah mengkonfirmasi kebutuhan Indonesia untuk pengarusan moderasi beragama.

Moderasi Beragama, Upaya Menjauhkan Umat dari Islam yang Shahih

Pemerintah tampaknya ingin memastikan program moderasi Islam berjalan dengan baik di Indonesia. Kampus diminta mengawal program moderasi ini melalui “rumah moderasi beragama” di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN).

Adanya “rumah moderasi beragama” memang didirikan sebagai tempat penyemaian, edukasi, pendampingan, pengaduan, dan penguatan atas wacana dan gerakan moderasi beragama.

Beberapa alasan yang sering disebut perlunya moderasi beragama di perguruan tinggi adalah masih adanya paham di kalangan mahasiswa yang anti demokrasi dan mempertanyakan dasar negara. Pendidikan moderasi beragama di perguruan tinggi diperlukan untuk membangun kembali komitmen kebangsaan dan mensyukuri dengan apa yang dicapai dalam konsensus berbangsa ini.

Melihat kondisi lapangan, perguruan tinggi khusunya pihak tenaga pengajar dan mahasiswa memang ada beberapa atau banyak yang berbeda keyakinan agamanya. Bahkan kesamaan agama belum tentu menjamin kesamaan pemikiran sebagai satu umat. Hal tersebut tidak memungkiri akan membuka pintu konflik antarumat beragama entah yang beragama sama maupun berbeda, tak kerkecuali di lingkungan perguruan tinggi.

Perguruan tinggi merupakan tempat yang dinilai menjadi wadah bagi pengembangan sumber daya manusia dalam hal pemikiran, tindakan, kepribadian, dan pencapaian karya yang berguna bagi masyarakat. Hal itu membuatnya memiliki peran penting dalam menjaga persatuan bangsa ini. Salah satu cara yang dapat dilakukan yaitu dengan memupuk dan mengembangkan sikap toleransi antarumat beragama di dalam kampus itu sendiri. Adapun kelebihan PTKIN adalah karena lembaga ini jelas-jelas berbasis keagamaan. Sehingga harus ada ikhtiar untuk memastikan bahwa lembaga-lembaga ini justru tak menjadi pabrik pencetak generasi yang siap memperjuangkan penerapan Islam.

Maka, tak berlebihan jika dikatakan bahwa kampanye moderasi Islam adalah proyek pembajakan potensi pemuda sebagai modal utama mengembalikan kemuliaan Islam. Karena melalui proyek ini akan lahir para pemuda yang kehilangan identitas diri sebagai muslim. Mereka hanya ber-KTP Islam, tapi tak paham dan tak yakin dengan kebenaran Islam.

Mereka menganut Islam sebagai kepercayaan, tapi tak yakin bahwa Islam adalah solusi bagi seluruh persoalan kehidupan. Mereka akan kian terjauhkan dari solusi problem umat yang kian hari kian parah, tersebab kehidupan mereka terjauhkan dari Islam dan sistem politiknya. Bahkan mereka sangat alergi dengan sebagian ajaran Islam, yang dipropagandakan sebagai ajaran terbelakang, bahkan bar-bar.

Ide Islam moderat sejatinya adalah proyek Barat yang membahayakan bahkan ingin menjauhkan Islam dari kaum muslimin. Karakter muslim moderat yang ingin dibangun adalah karakter yang diinginkan Barat, yakni karakter muslim yang menyebarkan budaya universal (yaitu Barat) yang mendukung demokrasi dan HAM termasuk kesetaraan gender dan kebebasan beragama, serta menentang terorisme dan kekerasan menurut tafsiran Barat.

Alhasil, seseorang yang mengidentifikasi dirinya sebagai muslim moderat akan menolak pemberlakuan hukum Islam kaffah, toleran terhadap penyimpangan akidah, tidak mendiskriminasi pelaku maksiat, menganggap Islam tak ada beda dengan aturan lain, bahkan menentang Islam politik.

Moderasi Beragama, Solusi Problem Utama Bangsa ?

Begitu istimewanya proyek moderasi beragama, khususnya moderasi Islam bagi pemerintahan sekarang. Proyek ini terus digadang-gadang bisa menjadi solusi problem utama bangsa. Bahkan dipandang amat penting bagi kemajuan Islam dan juga dunia secara keseluruhan.

Adanya temuan riset dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta yang bertajuk “Potret Moderasi Beragama di Kalangan Mahasiswa Muslim” di 3 Kampus Islam Indonesia seperti Jakarta, Bandung Jogjakarta menunjukkan rendahnya moderasi beragama di Indonesia. Penelitian ini menunjukkan bahwa empati mahasiswa muslim di kampus Islam terhadap penganut agama lain relatif rendah, penolakan terhadap ahmadiyah dan syiah relatif tinggi. Hal ini seolah menjadi alibi dan legitimasi kemenag untuk semakin mengarusutamakan moderasi beragama di kampus.

Adapun indikator moderasi beragama yang digunakan seperti komitmen kebangsaan, toleransi, dan sikap anti-kekerasan sebagai faktor resiliensi terhadap opini pro-ekstremisme-kekerasan.

Kebutuhan Indonesia akan proyek moderasi agama ini juga semakin menguat ketika rilis dua laporan internasional USCIRF, menyebutkan Indonesia memiliki kebebasan beragama yang buruk. Dikatakan di era kepemimpinan Joko Widodo, masih ada minoritas seperti kelompok syiah, ateis yang menerima diskriminasi dalam kehidupan, masih ada sikap intoleran pada minoritas dan kelompok yang memiliki paham eksklusivisme. Padahal, kebebasan beragama adalah bagian HAM yang harus dijamin di sistem demokrasi. Dari sini, begitu tampak nyata bukan bahwa proyek moderasi adalah agenda Barat untuk terus mengukuhkan kepentingan dan eksistensi mereka sebagai penguasa dunia. Tak heran mereka terus menjajakan proyek moderasi agama ini ke negeri-negri muslim dan menarasikan kepada dunia bahwa moderasi beragama adalah solusi permasalahan bangsa. Menggelikan!

Masalahnya, apa yang dibaca sebagai problem utama bangsa tak lain adalah sikap intoleransi dan radikalisme beragama yang terus menerus ditudingkan kepada Islam. Kedua sikap ini dianggap sebagai akar perpecahan bangsa, sekaligus memicu munculnya aksi-aksi teror atas nama Islam yang mencederai ketenteraman dan persatuan.

Pertanyaannya, benarkah intoleransi dan radikalisme adalah problem utama bangsa hingga pembangunan harus fokus pada moderasi beragama? Jika pun kasus-kasus intoleransi, radikalisme, dan teror memang ada, haruskah Islam kaffah yang dipersalahkan hingga harus menjadi korban proyek moderasi beragama?

Dengan berpikir jujur dan objektif, maka akan tampak bahwa problem utama bangsa ini sejatinya bukan intoleransi, radikalisme, dan terorisme sebagaimana yang ditudingkan. Begitu banyak PR bangsa ini seperti fenomena korupsi yang menggurita, degradasi moral generasi, rapuhnya struktur keluarga muslim, intervensi asing-aseng yang semakin menjadi-jadi, eksploitasi SDA/SDM, kemiskinan sistemik, ketidakadilan hukum dan lain-lain. Krisis multidimensi tersebut adalah permasalahan cabang dari masalah besar berupa penerapan sistem sekuler kapitalis neoliberal. Moderasi beragama (baca: sekulerisasi) semakin membawa Indonesia menuju liberalisasi di segala bidang. Dampak lanjutannya, Indonesia tetap akan berada dalam penjajahan kapitalisme-global. Sistem ini jelas-jelas telah memproduksi berbagai keburukan di berbagai aspek kehidupan. Sudah seharusnya dibuang ke tong sampah peradaban!

Intelektual Muslim Jangan Terjebak dengan Agenda Barat

Sangat disayangkan pendidikan tinggi sekarang telah menjadi alat untuk tujuan kebijakan dan agenda Barat. Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga jauh dari nilai agama. Bahkan menjadi pintu masuk bagi penyebaran propaganda dan ide-ide Barat yang sarat akan kebebasan, termasuk ide moderasi Islam.

Pendidikan tinggi yang seharusnya mencetak SDM (sumber daya manusia) yang memiliki visi pemimpin dan agen perubahan umat, nyatanya hanya menjadi generasi pembebek Barat. Bahkan banyak intelektual yang pendapatnya menjadi legitimasi ide-ide yang bertentangan dengan Islam.

Untuk itu, para intelektual dan kaum terpelajar tidak boleh terjebak dalam program dan agenda Barat, termasuk agenda moderasi Islam ini. Intelektual dengan tanggung jawab ilmu dan intelektualitas pada dirinya, semestinya berada di garda depan dalam menyuarakan kebenaran Islam. Maka sudah saatnya kita sebagai intelektual dan bagian dari umat menyadari hakikat persoalan, agar tak selalu jadi korban penipuan. Bahkan kita harus berkeyakinan, bahwa Islam ideologi yang hari ini dimusuhi Barat dan berusaha terus direkayasa, sejatinya adalah kunci kebangkitan.

Cukuplah ayat Allah Swt. ini sebagai peringatan,

يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ

Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.(QS At-Taubah : 32)

Maka sudah saatnya kita sebagai Intelektual muslim mengambil peran sebagai agent of change dalam perjuangan penegakan syariat Islam. Menjadi penjaga Islam dari ide yang merusak termasuk ide moderasi beragama ini. Menjadi intelektual yang mampu memberikan pencerahan ke umat dengan ilmu yang dimilikinya. Tentu dengan cara-cara dakwah yang mencerdaskan, dan jauh dari cara-cara kekerasan. Wallahu ‘alam bis shawab.

(Citra Afrilianti/Red LPM UBB)

By Mental

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Exit mobile version