Angan untuk meroket menjadi negara maju sepertinya layak untuk disingkirkan sementara, pasalnya ekonomi Indonesia malah turun kelas ke negara berpendapatan menengah bawah (lower middle-income country). Berdasarkan laporan yang diperbaharui Word Bank setiap tanggal 1 juli, Indonesia mendapatkan rapot merah, turun kelas dari berpendapatan menengah atas (upper middle income country) menjadi negara berpendapatan menengah bawah. Hal ini diukur berdasarkan pendapatan nasional bruto (GNI) per kapita suatu negara. Tercatat oleh Word Bank, bahwa GNI per kapita Indonesia pada tahun 2020 menunjukkan tren menurun (Kompas.com)

Pada tahun sebelumnya pendapatan nasional bruto atau gross national income (GNI) per kapita Indonesia berada di angka US$ 4.050, sementara pada tahun 2020 turun menjadi US$ 3.870 (Katadata). Indonesia didahului oleh negara dua negara ASEAN lainnya yaitu Malaysia dengan US$ 10.600 per kapita dan Thailand US$ 7.100 (CNBC Indonesia). Sementara Singapura tercatat sebagai negara berpendapatan tinggi yaitu dengan GNI per tahun US$ 54.900 per kapita.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Menkeu, Febrio Kacaribu mengabarkan bahwa faktor kuat terjadinya penurunan ini adalah tergoncangnya perekonomian yang diakibatkan oleh pandemic Covid-19.

Febrio juga mengatakan bahwa bukan hanya Indonesia, krisis kesehatan yang ditimbulkan dari pandemic covid-19 yang sudah hampir 2 tahun ini sudah membuat sector kehidupan sosial dan ekonomi global menjadi tidak stabil, bahkan cenderung mengalami penurunan. Pendapatan per kapita pada masa pandemic covid menurut Febrio merupakan konsekuensi yang sulit dihindarkan oleh hampir seluruh negara.

Meski begitu, pemerintah tak tinggal diam, ada beberapa upaya yang akan digencarkan untuk kabarnya tidak hanya untuk mengembalikan kelas ekonomi Indonesia tapi segaligus untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat dalam kondisi pandemic ini.

Pertama dengan pemberlakuan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) darurat di wilayah Jawa dan Bali dan PPKM Mikro untuk wilayah diluar Jawa dan Bali sebagai upaya untuk menekan penyebaran Covid-19 di Indonesia.

Sembari melaksanakan PPKM pemerintah juga menggalakkan vaksinasi dengan lebih massif. Dengan target vaksinasi per hari harus mencapai 1,5juta-3juta.

Kedua, dengan membantu perekonomian masyarakat. Febrio menyadari bahwa pandemic covid-19 ini membuat pekekonomian masyarakat menjadi lebih rentan. Pemerintah pun kemudian memberikan bantuan ekonomi melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). PEN ini dirancang pemerintah untuk memberikan perlindungan ekstra bagi perekonomian masyarakat Febrio pun meng-klaim kalau PEN ini sudah digulirkan sejak tahun lalu.

Menurutnya pemerintah telah mampu melindungi 40% masyarakat miskin dan rentan, bahkan telah menjaga lima juta orang agar tidak menjadi miskin melalui berbagai program (muslimahnews)

“Tingkat kemiskinan mampu dikendalikan menjadi 10,19% pada September 2020. Tanpa adanya PEN, Bank Dunia pernah mengestimasi angka kemiskinan Indonesia tahun 2020 dapat mencapai 11,8%.” Ungkap Febrio.

Ketiga, pemerintah akan mengupayakan reformasi struktural untuk meraih potensi ekonomi lebih tinggi.

Ternyata hanya setahun saja Indonesia menikmati berada pada posisi negara berpendapatan menengah ke atas, sejak 2019 lalu. Beberapa negara lain yang turun kelas menjadi negara berpendapatan menengah bawah adalah Belize, Iran, Haiti, Samoa, dan Tajikistan.

Publik kemudian bertanya-tanya apakah benar pandemi menjadi alasan penurunan kelas ekonomi ala wordbank ini? Atau ada kesalahan sistem ekonomi dalam mengurus negeri dengan SDA yang melimpah ini? Memang tak bisa dielakkan, sistem ekonomi yang dianut oleh banyak negara saat ini termasuk Indonesia adalah biang kerok dari terjadinya krisis ekonomi di berbagai negeri.

Ainun Mizan, Peneliti LANSKAP menyanggah bahwa tidak bisa asal mengatakan bahwa pandemic menjadi fakor utama penurunan ekonomi. Pasalnya sebelum pandemic pun ada ditemukan banyak faktor yang menyebabkan ekonomi Indonesia ini merosot.

Pertama, tahun 2018 pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,17%, di QI hingga Q3 2019 stagnan diangka 5,02%, jadi sebelum pandemic pun sudah mengalami penurunan.

“Indonesia sempat naik kelas menjadi upper middle income, ini patut dipertanyakan. Pada 2019 Survey TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan) menunjukkan 1% orang kaya menguasai 50% asset kekayaan nasional. Hal ini jelas tidak bisa menjadi tolak ukur tingkat kesejahteraan rakyat, karena nilai besar GNI disumbang oleh orang kaya dan korporasi.” Imbuhnya.

Kedua, jika ditilik dari aspek kemiskinan. Dari 2012 sampai 2020 ada 25 juta kasus kemiskinan yang ada di Indonesia, ini termasuk jumlah yang besar.

“Berdasarkan laporan 2016 sampai 2018 ada sekitar 22 juta orang Indonesia kelaparan. Lalu apakah ekonomi Indonesia lebih baik?” tambahnya

“Ketiga, Indonesia adalah negeri yang begitu kaya akan sumber daya alam, namun sayangnya sebelum ataupun datangnya pandemic tetap saja dikuasi korporasi, sehingga kekayaan besar tadi tidak bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.

Keempat yang tak bisa dipungkiri, yaitu demikian besarnya utang Indonesia, tidak hanya pada saat pandemi.

Kelima, tabiat sampah yang muncul dari sistem kapitalis yaitu korupsi. Sudah ada dari sebelum ataupun datangnya pandemi, bahkan semakin adanya pandemic semakin menjadi.

Pakar Ekonomi Islam, Dr. Arim Nasim, S.E., M.Si mengatakan bahwa GNI sebagai indikator kemakmuran sudah lama menjadi bahan kritisi bahkan oleh sistem kapitalisme itu sendiri. Titik sorotnya adalah apakah pendapatan per kapita atau GNI tadi bisa menjadi indikator untuk mengukur tingkat kemakmuran rakyat atau tidak.

“Ini merupakan indikator semu lagi menyesatkan. Sangat tidak tepat jika menjadikannya sebagai alat untuk mengukur standar kemakmuran rakyat. Karena GNI ini bersifat kolektif, tidak membedakan siapa yang kaya siapa yang miskin. Sedangkan yang terdampak dari penurunan ini adalah masyarakat dengan ekonomi menengah kebawah, bukan mereka yang menengah ke atas.

Maka tidak ada perbedaan antara naik kelas atau pun turun kelas, karena penilaian tersebut tidak berkorelasi langsung terhadap kesejahteraan rakyat. Misal, Indonesia sebelum turun kelas, memiliki pendapatan perkapita US$4.050 artinya per kepala berpendapatan sekitar Rp60 juta dengan kurs Rp15.000,-, berarti satu keluarga dengan 5 orang anggotanya memiliki pendapatan Rp300juta. Luar biasa makmurnya. Tapi sayang ternyata faktanya jauh panggang dari api. Hal inilah yang kemudian memunculkan yang namanya gap atau kesenjangan, dalam ekonomi makro namanya rasio gini. Inilah istilah yang dijelaskan diawal, bahwa 1% penduduk menguasai 50% kekayaan negara.

Indonesia butuh solusi emas, yang tidak hanya solusi kondisional saja. Sistem ekonomi kapitalis yang diharapkan dapat menyejahterakan ternyata tak juga memberikan angina segar kepastian. Jelas saja, karena yang dituju dari sistem ini bukanlah kemaslahatan bagi seluruh rakyat. Berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang menilai problematic ekonomi adalah terpenuhinya kebutuhan per individu. Politik ekonomi yang digunakan adalah distribusi dan pemerataan. Sementara indikator kemakmurannya adalah ketika individu masyarakat dapat memenuhi kebutuhan pokoknya secara paripurna, bukan dihitung kolektif layaknya GNI.

Allah swt sudah menegaskan:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan ayat-ayat kami itu, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatnnya.” (QS. Al-A’raf: 96)

Maka solusi yang tepat ketika Indonesia ingin menjadi negara yang naik kelas lagi berkah dalam kontek ekonomi adalah menerapkan sistem Islam secara kaffah atau menyeluruh.

(Meiiko/Red LPM UBB)

By Mental

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Exit mobile version