LPM UBB – Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menggelar konferensi press bertajuk “Penyikapan Komnas Perempuan Terkait Permohonan Judicial Review Permendikbudristek No.30 tahun 2021 terhadap Menteri Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia” yang diselenggarakan melalui Zoom pada Selasa (22/4). Konferensi pers dipandu langsung oleh Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat, Veryanto Sitohang. Terdapat tiga pembicara dari Komisioner Komnas Perempuan yang dihadirkan dalam konferensi yang berlangsung satu setengah jam ini. Mereka adalah Andy Yentriyani, Siti Aminah Tardi, dan Alimatul Qibtiyah.
Pembicara pertama, Andy Yentriyani, mengatakan bahwa Komnas Perempuan memiliki kepentingan yang besar pada upaya penghapusan kekerasan seksual di berbagai lingkungan termasuk di perguruan tinggi. Dalam hal ini, Permendikbudeistek No.30 tahun 2021 menjadi penting dalam upaya memastikan lingkungan pendidikan yang aman dari kekerasan seksual.
Hal ini didasarkan pada peningkatan jumlah kekerasan seksual pada perempuan dua tahun belakang. Tidak hanya peningkatan secara kuantitatif, fenomena yang terjadi pun mulai kompleks. Dibandingkan dengan tahun 2020 lalu, laporan yang langsung masuk ke komnas perempuan pada tahun 2021 pun bertambah atau meningkat hampir 72% hanya untuk kasus-kasus kekerasan seksual. Hal ini menjadi perhatian bersama, bukan saja tentang pelaporan kasusnya yang terus meningkat tetapi juga daya penanganan dan daya pencegahannya itu sangat terbatas.
Ia juga menyatakan Komnas Perempuan telah mendengar dan mendapatkan dokumen dari pihak Mahkamah Agung terkait judicial review yang diajukan.
“Komnas Perempuan telah melakukan pemeriksaan dan penelaahan terhadap permohonan judicial review ini. Menurut kami, sesungguhnya permohohonan ini perlu ditolak karena tidak berkesesuaian dengan pihak pemohon yang sebetulnya bukan subjek dari pengaturan di Permendikbud ini, maupun objek pengaturannya. Yang sebetulnya tidak bermasalah seperti yang didalilkan oleh pemohon,” ujar Andy.
Dilanjutkan Siti Aminah Tardi, pembicara kedua yang merupakan Ketua Subkomisi Reformasi Hukum dan Kebijakan. Salah satu yang ia tekankan, Komnas Perempuan mendesak agar ada pembaharuan Perma No.1 Tahun 2011.
Dengan alasan bahwa uji materi sebagai perwujudan check and balance di antara kekuasaan negara dan mekanisme untuk menjamin hak-hak warga negara. Sebagaimana yang dimandatkan Konstitusi RI dan peraturan perundang-undangan. Maka pemeriksaannya harus didasarkan kepada kepentingan dan partisipasi publik. Di antaranya, menjadikan mekanisme uji materi terbuka dan akuntabel seperti pemeriksaan uji materiil di Mahkamah Konstitusi. Karena melalui pengadilan yang terbuka dan transparan, warga negara perempuan dapat mengetahui proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan, didengar kepentingannya sebagai saksi, ahli maupun pihak yang berkepentingan langsung atau tidak langsung.
Selain itu, pembaharuan Perma No.1 Tahun 2011 dirasa penting karena dirasa bertentangan dengan UU Kekuasaan Kehakiman; asas audi alteram et pertem atau pihak-pihak yang berperkara harus diberi kesempatan untuk memberikan keterangan dan penyampaian pendapatnya secara setara; keterbukaan informasi di pengadilan; dan mandat kode etik/perilaku hakim di antaranya nilai independensi, imparsial, dan integritas.
Terakhir, pembicara ketiga, Alimatul Qibtiyah, yang memaparkan tentang uji material frasa “tanpa persetujuan korban” dan “yang tidak disetujui korban”.
“Permen ini tidak mengabaikan aturan dan nilai yang sudah diyakini oleh masyarakat dan juga yang sudah menjadi kebijakan perguruan tinggi tentang tindak kesusilaan,” jelasnya. “Tidak mengatur bukan berarti setuju.”
Sebelum itu, Ia menyampaikan bahwa sepanjang tahun 2012 sampai 2021 tercatat 49.729 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan ke lembaga layanan dan Komnas Perempuan. Sepanjang 2021, Alimatul mengungkapkan kasus yang paling dominan yang diterima oleh Komnas Perempuan berasal dari Perguruan Tinggi.
“Jika dibaca secara utuh Permendikbudristek 30 tahun 2021 mengatur upaya-upaya pencegahan dalam lingkup perguruan tinggi. Oleh karena itu, Komnas Perempuan berpendapat bahwa objek permohonan tidaklah bertentangan dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Perguruan Tinggi,” terang Alimatul.
Reporter: Isti Wulandari dan Dina Septiani
Penulis: Dina Septiani
Editor: Kevin Aryatama