Ilustrasi: Esferanza Ratu.

Trigger warning: Artikel wawancara ini berbicara tentang kekerasan seksual yang mungkin dapat mengganggu kenyamanan Anda.

Meski seringkali tidak kita sadari, kampus tidak luput dari bahaya kekerasan seksual. Testimoni Tirto.id yang menjaring 174 penyintas yang tersebar di 79 kampus dan  29 kota menunjukkan situasi darurat ini. Fenomena kekerasan seksual di kampus tentu sebetulnya lebih masif daripada apa yang termuat dalam testimoni tersebut karena banyak kasus yang tidak dilaporkan.

Upaya melawan kekerasan seksual di kampus mulai mendapat kemajuan dengan disahkannya Permendikbud 30 Tahun 2021. Menyusul pensahan peraturan ini, sejumlah perguruan tinggi di Indonesia mulai membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS). Namun, masih ada daftar panjang persoalan yang belum tuntas.

Untuk menelusuri persoalan ini, Kevin Aryatama dan Lia Bonita Anggreini dari LPM Alternatif UBB mewawancarai Annisa Nurul Hidayah Surya dari Gerakan Perempuan Universitas Negeri Jakarta (Gerpuan UNJ) yang terlibat dalam pengorganisiran feminis dan advokasi kekerasan seksual.

Lia Bonita Anggreini (Lia): Bagaimana pendapatmu terkait situasi kekerasan seksual di kampus saat ini?

Annisa Nurul Hidayah Surya (Nisyu): Fenomena kekerasan seksual di kampus masih marak, baik sebelum maupun sesudah disahkannya Permendikbud No. 30 Tahun 2021 (selanjutnya ditulis Permen PPKS).

Kita dapat melihat informasi terkait kekerasan seksual di kampus tersebar secara masif di media sosial. Sebelum Permen PPKS disahkan, ada kasus di UNRI yang viral banget. Bahkan, kasusnya belum tuntas saat Permen PPKS telah disahkan.

Di kampusku sendiri (UNJ) juga pernah terjadi kasus yang mana pelakunya adalah dosen. Ada juga kekerasan seksual yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial di UNJ. Tidak lama setelahnya, ada lagi yang pelakunya dari salah satu UKM, Era FM. Jadi, di kampusku sendiri saja ada dua kasus selama Oktober hingga November 2022 ini. Kita baru membahas dua yang ketahuan, belum lagi yang tidak ketahuan.

Sepanjang aku dan teman-teman mendirikan Gerpuan UNJ pada 2019 lalu, sebenarnya banyak kasus yang diceritakan. Jadi, bentuknya masih pengaduan. Tidak masuk ke tahap pelaporan.

Kekerasan seksual memang masihlah seperti gunung es. Meskipun Permen PPKS memecah gunung es itu dan memunculkan satu per satu kasus, belum terlihat secara signifikan perubahannya.

Kekerasan seksual terus terjadi, baik tatap muka maupun daring. Kekerasan seksual tidak terhenti, hanya berpindah tempat. Yang tadinya pas kita kuliah tatap muka, kasusnya itu offline seperti catcalling dan fisik. Ketika daring kasusnya berupa Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), salah satunya adalah NCII (nonconsensual intimate images). Kasus di mana perempuan kampus mengalami ancaman penyebaran foto oleh pacar atau mantannya cukup mendominasi di antara pengaduan-pengaduan kepada Gerpuan UNJ, baik dari sesama kawan UNJ maupun dari kampus lain.

Kevin Aryatama (Kevin): Boleh dijelaskan sedikit Permen PPKS itu apa? Seberapa penting perannya dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus?

Nisyu: Permen PPKS bukan hadiah dari pemerintah.  Peraturan ini berangkat dari perjuangan para korban, pendamping korban, dan aktivis perempuan. Pihak-pihak ini mendesak peraturan yang mengatur perlindungan dari kekerasan seksual. Mengingat kekerasan seksual tidak tertangani dengan baik sementara jumlah korban terus bertambah.

Sesuai dengan namanya, Permen PPKS merupakan peraturan yang mengatur tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkup perguruan tinggi. 

Muatannya berperspektif gender dan cukup lengkap, meski perlu didetailkan lagi sesuai dengan kondisi kampus masing-masing. Dalam hal penanganan, misalnya, terdapat pengaturan tentang pendampingan dan pemulihan korban seperti tindakan medis, terapi fisik, terapi psikologis, serta bimbingan sosial dan rohani. Pihak-pihaknya juga dirincikan dalam Permendikbud, seperti dokter atau tenaga kesehatan lain, konselor, psikolog, tokoh masyarakat, pemuka agama, dan pendamping lain yang memang dibutuhkan. Sebagai contoh, jika korban adalah disabilitas tuli, mereka butuh pendamping khusus, yakni juru bahasa isyarat (JBI).

Yang tidak kalah penting, Permen PPKS juga membahas Satuan Tugas Pencegahan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS).

Permen PPKS telah mengatur mekanisme mulai dari penyusunan Panitia Seleksi (Pansel) hingga pembentukan Satgas PPKS. Satgas inilah yang berwenang melaksanakan pencegahan kekerasan seksual, sosialisasi, penanganan dan pemulihan korban, serta pelaporan kepada Kemendikbud. Permen PPKS juga memuat persyaratan masuk Pansel dan Satgas PPKS. Persyaratan ini bertujuan agar orang-orang berperspektif gender yang dapat menjadi anggota Pansel atau Satgas PPKS.

Urgensi Permen PPKS adalah untuk mengubah persepsi kampus. Bahwa kampus yang baik bukanlah kampus yang “tidak ada kasus kekerasan seksual”. Justru keadaan kampus yang adem ayem tanpa adanya kasus kekerasan seksual patut dicurigai. Bisa jadi bukan tidak ada kasus, melainkan korban belum berani melapor, sehingga diperlukan metode khusus agar dapat membuat korban merasa aman untuk melaporkan kasusnya.

Aku merasa beruntung menjadi salah satu orang yang dilibatkan dalam penyusunan Permen PPKS ini sejak sebelum drafting, lalu turut menyusun naskah akademik, melakukan uji publik, sampai akhirnya disahkan. Selain diriku, ada Teddy dari HopeHelps UI dan Tyas dari Jaringan Muda Setara.

Kevin: Tadi kamu sempat menyebutkan soal teman-teman disabilitas. Nah, kondisi marginalitas korban kekerasan ini, kan, berbeda-beda. Seberapa inklusif pengaturannya dalam Permen PPKS?

Nisyu: Perincian tentang kebutuhan korban disabilitas masih terbatas pada kebutuhan pendampingan. Maka dari itu, berangkat dari pengalaman korban disabilitas, terdapat kebutuhan mengenai jenis pendampingan yang sesuai dengan disabilitasnya mereka.

Oleh sebab itulah, dalam Permen PPKS tertulis untuk segi pendampingan adalah hak korban untuk memilih siapa yang akan menjadi pendampingnya (bagi kawan-kawan disabilitas).

Contohnya, ada korban disabilitas tuli butuh juru bahasa isyarat (JBI). Nah, sayangnya, tidak semua JBI inklusif atau berperspektif gender. Jadi, biasanya kawan-kawan tuli itu juga punya JBI-nya sendiri yang dia nyaman. Korban berhak memilih atau minimal memang disediakan JBI-nya. Menyediakan pendamping yang sesuai dengan kondisi disabilitas korban adalah mandat dari Permen PPKS.

Nah, tadi kita bahas disabilitas. Kalau kita bicara inklusivitas secara umum, Permen PPKS juga mengatur tentang semua yang menjadi korban itu bisa ditangani ini selama sesuai syarat-syaratnya. Maksudnya, korban merupakan warga kampus. Tidak dibatasi agamanya harus apa, dia harus berbudaya apa, apa identitas gendernya, apa orientasi seksualnya. Yang terpenting, dia korban, bukan? Pokoknya, kalau ada pelaporan mesti diproses tanpa melihat apa latar belakang kultural korban. Jadi, tidak bisa menolak korban dengan alasan “tidak sesuai moral”. Menurutku itu juga inklusivitas.

Lia: Saat ini bagaimana situasi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus?

Nisyu: Sudah sekitar satu tahun Permendikbud (disahkan). Menurut mandat, Permen PPKS itu, kan, harus dilaksanakan selambat-lambatnya–kalau tidak salah–setelah 11 bulan atau satu tahun setelah diterbitkan. Jadi, seharusnya semua kampus di bawah naungan Kemendikbud itu harus sudah punya Satgas PPKS. Soalnya yang paling mendasar itu, kan, pembentukan Satgas PPKS.

Yang menjadi persoalan, Satgas PPKS punya tantangan tersendiri dalam bertugas. Dari pengalaman beberapa kawan yang menjadi Satgas PPKS, sebagian orang yang tergabung masih konservatif. Tak jarang justru mengungkapkan pernyataan-pernyataan yang menyalahkan korban (victim blaming)

Satgas PPKS di beberapa kampus pun belum terlihat perannya secara signifikan. Kita belum melihat satgas kampus mana yang cukup berhasil dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Langkah dari birokratnya pun belum massif. Sehingga, pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi oleh birokrat dan Satgas PPKS belum maksimal.

Namun, di beberapa universitas ada banyak perempuan muda yang berinisiatif mendirikan organisasi-organisasi perempuan otonom, seperti Girl Up dan HopeHelps di beberapa kampus. Selain itu, ada Gerpuan UNJ dan Study and Peace UNJ (SPACE UNJ) di kampusku, Gender Research Student Center (Great UPI) di UPI, Muda Bersuara di UIN Walisongo, dan lain sebagainya.

Menurutku, mereka telah berperan baik dalam edukasi tentang kekerasan seksual, tindakan pencegahan, dan penanganannya. Meski banyak juga kendala yang membuat organisasi alternatif belum bisa maksimal dalam usahanya.

Di sisi lain, karena yang kita sasar adalah perubahan sistem di perguruan tinggi, maka tidak bisa jika hanya mengandalkan gerakan alternatif untuk melawan kekerasan seksual. Setelah gerakan bisa mendorong Kemendikbud untuk membuat regulasi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, selanjutnya kita bisa mengevaluasi peraturan itu dan merefleksikan apa yang harus dibenahi bersama. Dengan begitu, kita mungkin akan semakin dekat dengan hasil maksimal dalam memberantas kekerasan seksual di perguruan tinggi.

Kevin: Sepertinya masalah ketidakmerataan kesadaran gender di masing-masing kampus pun menjadi persoalan, ya? Satgas beberapa kampus mungkin kesadaran gendernya lebih maju. Atau, kesadaran gender yang lebih maju dapat dilihat dari adanya gerakan-gerakan alternatif dari mahasiswa yang tadi kamu sebutkan. Namun, tidak di semua kampus kondisinya seperti itu.

Nisyu: Iya, sangat mungkin. Kampus yang jauh dari kesadaran gender akan kesulitan merespons Permen PPKS ini karena minimnya diskursus mengenai kesetaraan gender di kampus. Apabila terbiasa menggunakan perspektif gender dalam pembuatan kebijakannya, kampus tentu tidak akan begitu sulit menerapkan mandat Permen PPKS. Di samping itu, mungkin juga ada faktor keterbatasan akses yang pada akhirnya membuat suatu kampus tertinggal dalam proses pembentukan Pansel dan Satgas PPKS.

Kalau bicara soal perspektif gender, kampus kami cukup konservatif. Seringkali narasi-narasi yang sifatnya mengasah kesadaran kritis mahasiswa, disambut dengan penolakan oleh teman-teman mahasiswa karena dianggap tidak sesuai moral dan budaya.

Contohnya, banyak kasus kekerasan seksual di kampus yang berakar pada ketimpangan relasi kuasa. Kami, Gerpuan UNJ, melihat bahwa membangun kesadaran untuk memiliki perspektif korban tidak cukup hanya dengan edukasi mengenai apa itu kekerasan seksual dan bentuk-bentuknya. Penanaman kesadaran dan perspektif juga mesti menyentuh ranah pembahasan kesetaraan gender, keberagaman, interseksionalitas, kelas, dan lain-lain.

Namun, ketika kami mengkampanyekannya banyak yang anti terhadap narasi-narasi tersebut, termasuk dari Lembaga Dakwah Kampus atau KAMMI. Tak hanya menolak, mereka juga membangun stigma dan mencaci maki; menganggap kami gerombolan perempuan menyimpang, tidak sesuai dengan moral, halu, gila, dan patut dijauhi.

Mereka adalah gerombolan yang seringkali menyatakan bahwa kekerasan seksual bisa diminimalisir dengan mengurusi pakaian, pulang tidak larut malam, dan lain sebagainya. Itu bertentangan dengan politik perempuan kami yang tidak menjustifikasi kekerasan seksual terjadi akibat pakaian korban. Bagi kami, narasi seperti itu menyalahkan korban, sedangkan kami ingin penanganan kasus yang berperspektif korban. Tidak membiarkan korban menjadi korban lagi untuk yang kesekian kalinya.

Lia: Tadi kamu sempat membahas Gerpuan UNJ atau organisasi organisasi yang bergerak di bidang yang sama. Seberapa efektif, sih, organisasi-organisasi itu untuk pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di kampus yang belum ditangani dengan baik oleh pihak kampus?

Nisyu: Sebenarnya, cukup efektif untuk organisasi eksternal kampus ketika, perlu digarisbawahi, organisasinya populer.

Dampak dari organisasi semacam ini biasanya terasa dalam aspek pencegahan dan penanganan. Dalam pencegahan, mereka aktif mengedukasi di berbagai platform. Dalam aspek penanganan, tak jarang menjadi pemberi rujukan.

Contohnya, kalau ada korban yang bercerita kepada kami, akan kami dengarkan, lalu kami juga menanyakan apa yang korban butuhkan saat ini. Apakah dengan bercerita saja cukup untuk saat ini? Apakah mau lanjut ke yayasan psikologis? Kalau mau, bisa kami hubungi psikolog yang berpengalaman dalam menangani korban kekerasan seksual.  Atau, apakah mau lanjut ke ranah hukum?  Kalau ingin, kami bisa melakukan pelaporan ke LBH  APIK. Terkait keinginan seperti mengambil langkah hukum, biasanya kita dorong korban ke psikolog dulu supaya calm down dan bisa sedikit lebih pulih.

Langkah-langkah tadi berdampak pada penanganan kekerasan seksual di kampus. Hanya saja, kampusnya sendiri tidak tahu-menahu bahwa organisasi-organisasi ini sudah berjuang menangani korban-korban. Selama tidak ada kasus yang benar-benar mencuat, kampus cuma tahunya “tidak ada kasus”. Sedangkan, jarang sekali menemukan kampus yang menggunakan metode “jemput bola” agar korban-korban bersuara. 

Menurutku, korban enggan melapor karena kampus kurang bisa dipercaya. Di beberapa kampus yang pelaku kekerasan seksualnya adalah dosen, pelaku malah lolos. Sehingga membuat korban menjadi ragu untuk melapor. Kalau sudah begitu, wajar tidak ada laporan masuk.

Makanya, mahasiswa cenderung lebih percaya sesama mahasiswa. Penting bagi kampus untuk membuka diri agar bisa menjamin rasa aman. Tidak sebatas branding, tapi memang ditunjukkan dengan aksi-aksi konkret.

Kevin: Seberapa besar ruang yang bisa diambil kawan-kawan kolektif untuk mengintervensi birokrasi kampus?

Nisyu: Sebenarnya tidak besar akibat adanya relasi kuasa. Kenapa relasi kuasa? Karena kami minim posisi tawar.

Pertama, identitas kami adalah mahasiswa. Posisi kami sebagai mahasiswa lebih rentan dibanding birokrat yang memiliki akses kepada status kami serta hal-hal yang berkaitan dengan akademik.

Kedua, kolektif kami tidak diresmikan oleh kampus. Tidak begitu dilihat apalagi dilibatkan oleh pihak kampus dalam penyusunan kebijakan. Kalau melibatkan mahasiswa pun biasanya birokrat mengambil cara simple. Asal comot langsung dari BEM tanpa mengecek dulu apakah yang bersangkutan punya perspektif gender atau tidak. Padahal, sebagai contoh, ada salah satu organisasi eksekutif mahasiswa perspektifnya masih saja menyalahkan korban dengan mempermasalahkan hal-hal seperti pakaian atau “moralitas” korban.

Kevin: Mungkin peluang mengintervensi pun jadi sulit karena dalam komposisi Satgas PPKS ada dosen dan birokrasi. Jadi, relatif sulit bagi mahasiswa satgas untuk mencoba diskusi yang mengalir apalagi intervensi.

Nisyu: Kalau terkait Satgas PPKS, aku jadi teringat lagi waktu penyusunan Permendikbud. Kenapa pada akhirnya komposisinya mahasiswa minimal 50% dalam Satgas?  Karena kita ingin mahasiswa memiliki posisi tawar dan bisa vokal, membawa pengalaman korban kekerasan. Mahasiswa yang biasanya menjadi pendamping korban dan punya perspektif gender. Sehingga apabila ada dosen/tendik yang cenderung menyalahkan korban (victim blaming), maka bisa dibantah oleh mahasiswa yang 50% ini. 

Lia: Apa saran darimu agar kita bisa menuju kampus aman dari kekerasan seksual? 

Nisyu: Sebenarnya, aku bukan orang yang percaya “semuanya kembali ke diri masing-masing”. Aku percaya bahwa individu dibentuk dari lingkungannya. Yang bisa membuat kampus aman dari kekerasan seksual, ya, sistemnya.

Sebelum menuju ke sana, individu juga bisa melakukan langkah konkret. Kalau diri sendiri, kan, bisa mengedukasi diri. Meskipun, dampaknya untuk diri sendiri bukan secara kolektif yang sifatnya langsung menyasar tatanan kampus.

Ketika kita mendapat informasi terkait kasus kekerasan seksual, lebih baik kita pelajari lebih lanjut. Sebab, kita tidak bisa langsung punya kesadaran kritis atau transformatif untuk berubah. Kesadaran kita, kan, bisa saja awalnya mengawang-awang atau kesadaran magis. Tetapi, dengan belajar kita bisa upgrade, kok, menuju kesadaran kritis dan transformatif.

Edukasinya pun jangan hanya pasif dan satu arah. Kita perlu edukasi dua arah, misalnya, dengan berdiskusi. Aku percaya dengan Paulo Freire soal metode belajar dialogis. Itu yang bisa dilakukan dengan inisiatif sendiri. Mengikuti organisasi atau magang di tempat yang punya perspektif korban dan tidak diskriminatif juga termasuk langkah yang bisa dilakukan.

Balik lagi, apa yang bisa dilakukan pihak kampus untuk menuju kampus aman dan bebas dari kekerasan seksual?

Pertama, melakukan berbagai pendidikan gender dan pelatihan penanganan kasus kekerasan seksual. Pendidikan gender fokus membahas teori-teori. Sementara itu, pelatihan penanganan kasus kekerasan seksual fokus pada pembekalan dasar advokasi.

Misalnya, pelatihan mengenai apa yang bisa kita lakukan jika terjadi catcalling di kampus? Apa yang bisa kita lakukan kalau kita mengalami kekerasan seksual fisik di kampus? Apa yang bisa kita lakukan ketika melihat orang yang menjadi korban kekerasan seksual di depan mata kita? Pelatihan untuk menghadapi berbagai contoh situasi itu perlu ada. Kita semua berpotensi menjadi korban atau pelaku. Semuanya harus mendapatkan edukasi yang merata dari pihak kampus.

Kedua, menciptakan peraturan tentang kekerasan seksual, baik itu SOP maupun mempraktikkan Permendikbud. Kampus juga bisa melakukan sosialisasi peraturan yang telah dibuat.

Ketiga, membangun infrastruktur yang mendukung korban kekerasan seksual mendapatkan keadilan.

Misalnya, menyediakan CCTV yang berfungsi di  setiap  sudut kampus. Memang perlu mengeluarkan uang, tapi kalau kampusnya benar-benar mau menghapus kekerasan seksual dan menjamin keamanan warganya, ya, mereka seharusnya bisa melakukannya. Bisa juga dengan memasang plang imbauan untuk tidak melakukan kekerasan seksual. Tambahkan modal pelaporan di kampus yang mudah diakses publik.

Intinya, infrastrukturnya harus baik dengan fasilitas yang memadai, regulasi dan SDM yang berperspektif gender, dan sanksi yang tegas terhadap pelaku kekerasan seksual tanpa memandang statusnya apa.

Ada beberapa opsi lain juga.

Kampus bisa membuka akses belajar. Kampus bisa memasukkan materi kekerasan seksual dan kesetaraan gender di mata kuliah tertentu. Sebagai contoh, di UGM materi itu dimasukkan di Pancasila. Atau, dengan mendirikan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang mengkaji kasus-kasus kekerasan seksual atau menjadi pusat studi gender.

Kampus bisa pula menerbitkan buku saku tentang kekerasan seksual yang bisa diunduh dan disebarluaskan kepada seluruh warga kampus. Selain itu, dengan menerbitkan catatan tahunan (catahu) yang menghimpun data kasus kekerasan seksual yang pernah terjadi di kampus.

Penting bagi kampus untuk mengakui kasus yang pernah terjadi dan melakukan penanganan terhadap kasus tersebut dengan perspektif gender. Itu sikap yang seharusnya ditunjukkan oleh kampus, bukan malah menutup nutupi kasus-kasus yang ada. Kalau ada kampus yang berani merilis catahu kekerasan seksual, itu keren banget, sih. Karena bisa menjadi pengingat bagi seluruh warga kampus bahwa fenomena kekerasan seksual itu PR bersama yang harus terus-menerus dikerjakan.

Reporter: Kevin Aryatama & Lia Bonita Anggreini

Penulis: Rosa Febiola, Shanaia Putri, & Suchi Melinda

Editor: Kevin Aryatama & Zahra Zarina

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *