Oleh : Ramsyah/Mahasiswa Universitas Bangka Belitung

LPM UBB, Bangka Belitung – Saat ini, Omnibus Law sudah di ketok palu. Nyata sekali di depan mata seluruh rakyat Indonesia bahwa ini adalah bentuk kongkrit dari pengkhianatan terhadap rakyat. Terbesit tegas bahwa pemerintah adalah kaki tangan oligarki dan bahkan bisa jadi kepala oligarki itu sendiri. Saat kita sadar akan kezaliman ini maka tidak ada alasan tepat untuk kita berdiam diri. MAJU SERBU SERANG TERJANG, hanya itu jawaban yang kita punya sekarang. Karena yang berdiam diri adalah bagian dari kezaliman tersebut.

Permasalahan kita kini bukan lagi pasal-pasal yang salah ketik, dihapus, ataupun multitafsir. Kepercayaan kita sudah hangus terbakar oleh akal bulus pemerintah. Rakyat dibuat untuk menjadi sapi perah para investor. Mereka berusaha memeras sari kehidupan dari tetek para buruh yang kemudian diberikan kepada para investor.

Ada 70 juta lebih buruh dan ada 7 juta lebih pengangguran di Indonesia. Saat kehidupan mereka mencoba bersandar pada kebijakan pemerintah. Mereka justru menerima ketidakbijakan pemerintah. Omnibus Law lahir. Pupuk paling subur untuk investor dan pestisida paling berbahaya untuk hak dan HAM para buruh.

Di bawah ketek protokol kesehatan Covid-19, DPR bersembunyi dan bergegas menyusun muslihat. Perzinaan paling lancang antara pemerintah dan oligarki sukses melahirkan Omnibus Law. Rakyat dicoba untuk dikelabui. Beruntung kita sadar dengan kezaliman tersebut.

Dengan dalih menarik investor, DPR sukses menghapus jaminan hak dan HAM para buruh. Karena menurut pemerintah kita, investor akan tertarik dengan negara penyedia buruh yang mudah dipakai dan dibuang.

Jelas sekali bahwa Omnibus Law adalah antitesis dari amanat UUD 1945 yang mengatur bahwa, “Negara menjamin pekerjaan yang layak untuk penghidupan”. Bagaimana sebuah kehidupan dapat terjamin bila buruh dapat digunakan dan dibuang sesuka hati?

Wajar bila hari ini rakyat kecewa dan bereaksi. Sayangnya kita dihadapkan dengan wakil rakyat, manusia utuh yang sempurna disabilitasnya. Memiliki mata tetapi buta melihat kesusahan rakyat. Memiliki telinga tetapi tuli saat mendengar penderitaan rakyat. Memiliki mulut tetapi bisu melantangkan suara rakyat.

Dewan Perwakilan Rakyat kini tidak lagi cocok disebut DPR bila tidak dapat mewakili kepentingan rakyat. Lebih cocok menjadi Dewan Perwakilan Oligarki atau Dewan Perwakilan Kepentingan Partai.

Dari semua bentuk iktikad tidak baik yang dilakukan oleh pemerintah maka sangat tepat hari ini kita tidak memiliki alasan tepat untuk menerima Omnibus Law. Karena hanya dua golongan yang menerima Omnibus Law: Oligarki dan Pemerintah. Maka hanya ada satu cara melawan oligarki: Revolusi.

INI MOSI TIDAK PERCAYA.

(RED LPM UBB)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *