Regita Berlinda
Mahasiswi Jurusan Hukum Universitas Bangka Belitung

Sebagaimana yang kita ketahui pada dasarnya ada 3 tujuan hukum yaitu Keadilan, Kemanfaatan dan Kepastian Hukum. Definisi harta pailit sendiri tidak dijelaskan secara implisit di dalam Undang-undang Kepailitan sehingga dapat menimbulkan banyak multitafsir. Dalam hal Kepailitan diawali pada syarat debitor untuk dapat diajukan permohonan pailit yang memiliki tujuan untuk memperoleh pelunasan pembayaran utang sebagaimana yang diatur berdasarkan pada Pasal 2 Ayat (1) UU Kepailitan yaitu “Seorang debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permohonan seorang atau lebih kreditornya”

Syarat pernyataan kepailitan itu yang mana dikatakan sebagai suatu hal penting berupa dasar terhadap debitor merupakan dasar yang penting agar dapat dan harus digunakan hakim untuk menjatuhkan putusan pailit. Dari ketentuan pasal diatas dapat disimpulkan bahwa permohonan pernyataan pailit terhadap seorang debitor hanya dapat diajukan apabila memenuhi syarat: Pertama, debitor terhadap siapa permohonan itu diajukan harus paling sedikit mempunyai lebih dari satu kreditor. Kedua, debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu hutang kepada salah satu kreditornya. Ketiga, utang yang tidak dibayar itu harus telah jatuh waktu dan telah dapat ditagih.

Pasal 1 Ayat 1 peraturan kepailitan ini atau failisement Verordening (FV) S.1905-217 jo 1906 menyatakan “Setiap berutang (Debitur) yang ada dalam keadaan berhenti membayar, baik atas laporan sendiri maupun atas permohonan seorang atau lebih berpiutang (Kreditur), dengan putusan hakim dinyatakan dalam keadaan pailit”. Dalam Putusan pailit itu juga dijatuhkan sesuai dengan perundang-undangan dan tidak dilakukan secara sembarangan tanpa arah yang jelas, serta tidak menimbulkan pertentangan dalam penegakan hukum itu.

Disisi lain Hukum Kepailitan memberikan peluang bagi para kreditor untuk mengajukan kepailitan, bahkan diberikan peluang bagi para kreditor untuk upaya perdamaian yang diajukan dalam rangka mengakhiri perkara yang sedang berjalan. Definisi harta pailit memang tidak disebutkan secara implisit di dalam Ketentuan Umum UU Kepailitan. Jika melihat kepada Pasal 21 UU Kepailitan, disebutkan bahwa Kepailitan mencakup seluruh harta kekayaan milik Debitor serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan saat putusan pernyataan pailit dijatuhkan atau diucapkan. Suatu ketentuan yang tidak dijelaskan secara implisit di dalam peraturan perundangundangan tentu tidak dapat memberikan kepastian dan akan menimbulkan multitafsir bagi beberapa orang. Pasal tersebut menyebabkan tidak adanya suatu batasan terhadap definisi harta pailit tersebut, yang menyebabkan para pihak yang akan mengeksekusi harta pailit tersebut akan memiliki pendapatpendapat masing-masing terkait hal-hal apa yang termasuk ke dalam harta pailit itu.

Penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang diatur dalam undang-undang kepailitan artinya adalah debitur yang tidak dapat melanjutkan pembayaran hutang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayar hutang, dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian hutang kepada kreditor konkuren. Seperti halnya permohonan pernyataan pailit, permohonan PKPU juga harus diajukan oleh debitur kepada pengadilan dengan ditanda tangani oleh debitur dan oleh penasihat hukumnya.

Jika dalam kepailitan debitur sudah tidak mampu lagi untuk membayar utang-utangnya, maka dalam PKPU si debitur masih sanggup dan mampu untuk membayar utang-utangnya secara penuh, hanya sajaa dibutuhkan waktu tambahan untuk memperbaiki keadaan ekonominya. Keuntungan bagi debitur atas lembaga PKPU ini adalah dalam jangka waktu yang cukup dapat memperbaiki kesulitannya dan akhirnya dapat membayar utang-utangnya. Sedangkan apabila dinyatakan pailit, semua harta akan dilelang dan bagi kreditur belum tentu mendapatkan pembayaran dengan penuh.

Adanya Penerapan pengertian mengenai “harta pailit” dalam pelaksanaan kepailitan dan PKPU saat ini mengalami kerancuan. Dimana jika melihat kepada kasus yang terjadi dalam putusan Nomor 33/Pailit/2009/PN.Niaga.Jkt.Pst dalam kasus ini terjadi kekeliruan bagi hakim dalam penerapan pendefinisian harta pailit di dalamnya. Kasus kepailitan tersebut dialami oleh PT. Tripanca Group (debitor pailit). Bahwa sebagaimana yang telah tertera pada tanggal 3 Agustus 2009, hakim keliru memberikan pertimbangan hukumnya, dimana hakim menyatakan dalam halaman 11 alinea terakhir yang menjadi dasar putusannya bahwa berdasar prinsip-prinsip hukum jaminan, dimana seluruh harta debitor baik yang ditetapkan dalam boedel pailit, maupun di luar boedel pailit, merupakan jaminan bagi pelunasan utangnya, maka terbukti harta debitor pailit termasuk harta di luar boedel pailit merupakan jaminan bagi pelunasan utangnya kepada para kreditor (in casu para buruh) dan kreditor lainnya.

MengacMengacu pada Pasal 59 Ayat (2) UU Kepailitan menyebutkan bahwa, Kurator memiliki hak untuk menuntut diserahkannya benda yang menjadi agunan untuk selanjutnya dilakukan pemberesan. Akan tetapi, tidak berarti seluruh agunan diserahkan kepada kurator. Oleh karena pertimbangan Hakim Pengadilan Niaga dan Pasal 59 Ayat (2) UU Kepailitan tersebut, maka PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk. sebagai salah satu kreditor debitor pailit menyerahkan kepada kurator 2 (dua) aset atas nama debitor pailit yang dijadikan sebagai agunan kredit, yaitu berupa mesin-mesin dan peralatan pabrik di Jl Ir. Sutami, Kelurahan Campang Raya, Bandar Lampung yang telah diagunkan dengan jaminan Sertifikat Fiducia No W6.649.HT.04.06.TH.2006/STD tanggal 11 Juli 2006; dan piutang dagang debitor pailit yang telah diagunkan dengan jaminan Sertifikat Fiducia No W6.3975.HT.04.06.TH.2008/STD tanggal 10 November 2008.

Namun, ternyata sertifikat fiducia dalam agunan kredit debitor pailit tersebut bukanlah milik debitor pailit melainkan milik pribadi/perseorangan yaitu berupa Sertifikat Hak Milik dan Sertifikat Hak Guna Bangunan atas nama Sdr. Sugiarto Wiharjo, Ny. Meriana, Sdr. Subu Wijaya, Sdr. Honggo Wijoyo, Sdr. Samiadi, dan Sdr. Budi Priyatno. Hal tersebut menyebabkan tidak hanya harta kekayaan debitor pailit yang masuk ke dalam boedel pailit, tetapi dapat saja timbul multitafsir bagi beberapa orang sehingga harta di luar kekayaan debitor pailit juga turut dimasukkan ke dalam boedel pailit.

Multitafsir demikian timbul karena tidak adanya ketentuan secara implisit terkait definisi “harta pailit” untuk memberikan kejelasan kepada masyarakat dalam praktek. Sehingga timbul kelemahan hukum karena hukum tersebut tidak dapat memberikan kepastian dalam rangka mewujudkan tujuan pembentukannya. Jika terus dibiarkan, maka tidak hanya terkait dengan harta pailit saja yang mengalami multitafsir, tetapi akan banyak hal-hal lain yang menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaannya di dalam masyarakat.

Adapun dalam menyikapi hal tersebut ada 2 (dua) hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah terjadinya permasalahan yang serupa. Pertama, dengan melakukan revisi terhadap UU Kepailitan, sejak tahun 2004 UU Kepailitan belum dilakukan perubahan terkait substansi-substansi yang terdapat di dalamnya. Sehingga peneliti menganggap bahwa UU Kepailitan itu sudah tidak sesuai dengan perkebangan zaman dan masyarakat karena terdapat kelemahan di dalamnya yang menyebabkan tidak dapat tercapainya 3 (tiga) tujuan hukum itu dibentuk khususnya Kepastian Hukum. Jika diperhatikan lebi lanjut mengenai perubahan terhadap substansi UU Kepailitan, perlu diberikan definisi yang jelas terkait Harta Pailit itu sendiri, termasuk apa saja yang dapat dicantumkan ke dalam harta pailit, sehingga lebih memberikan kejelasan kepada para pihak bersangkutan yang menjadikan UU Kepailitan sebagai dasar hukum berperkara.

Kedua, diharapkan bagi pemerintah untuk mengadakan sosialisasi terkait Kepailitan dan PKPU itu. Sosialisasi ini bertujuan untuk penyampaian informasi mengenai pemahaman apa saja yang dapat dikatakan harta pailit jika kita mengalami kepailitan ataupun pihak yang bersangkutan lainnya mengalami kepailitan. Hal ini diberikan tidak hanya kepada badan hukum atau badan non hukum yang ada, tetapi juga kepada masyarakat, sehingga jika suatu saat masyarakat tersebut mulai menjalankan suatu usaha, mereka dapat memiliki pemahaman dan pengetahuan yang cukup terkait dengan Kepailitan itu sendiri khususnya terkait harta pailit.

(Regita Berlinda/Red LPM-UBB)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *