Koalisi Masyarakat Sipil Bangka Belitung akan menggelar aksi massa di Titik Nol Kilometer pada Jumat (23/8). Aksi yang dimulai pada pukul 14.00 WIB ini dilancarkan untuk merespon rezim Joko Widodo yang membajak demokrasi lewat hukum dan lembaga negara dengan mengotak-atik Putusan MK Nomor 60 dan 70.
Dilansir dari Kompas.tv, pada Rabu (21/8) Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mengadakan rapat untuk merevisi putusan MK nomor 60 dan 70 mengenai UU Pilkada. Rapat ini dinilai mendadak karena dilakukan tepat sehari setelah putusan MK itu ditetapkan pada Selasa (20/8).
Putusan MK nomor 60 membahas ambang batas pencalonan kepala dan wakil kepala daerah. Putusan ini memungkinkan partai politik yang tidak mendapatkan kursi di DPRD bisa mencalonkan pasangan calon (paslon) untuk maju dalam Pilkada. Putusan ini berpotensi memperbesar peluang persaingan terhadap dominasi para paslon di sejumlah wilayah yang diusung oleh Koalisi Indonesia Maju (yang pada pilpres lalu mengusung Prabowo-Gibran). Sehingga, putusan ini diubah Baleg DPR RI.
Sementara itu, ada pula putusan MK nomor 70, yang mengatur batas usia calon. Seharusnya, bila berdasarkan putusan ini, syarat batas minimum usia calon kepala daerah untuk tingkat provinsi adalah 30 tahun dan untuk tingkat kota adalah 25 tahun ketika “penetapan”, bukan “pelantikan”. Namun, dalam rapat Baleg DPR RI, putusan batas usia calon berubah menjadi dihitung sejak “pelantikan”. Hal ini disinyalir menguntungkan Kaesang Pangarep, putra bungsu Jokowi, yang saat ini berusia 29, boleh mencalonkan diri dalam Pilkada Jawa Tengah. Dia baru akan berusia 30 jika nanti dilantik. Familiar, bukan? Ya, “trik sulap” yang mirip juga terjadi saat Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, mencalonkan diri sebagai wakil presiden.
Masalah Pilkada ini baru sepotong kecil contoh kejahatan demokrasi secara terorganisir yang terjadi dalam satu dekade rezim Jokowi. Belum mengabsen tindak kejahatan demokrasi lainnya seperti melemahkan KPK lewat Revisi UU KPK, memperkeruh masalah lingkungan dan agraria lewat UU Minerba, memperparah eksploitasi buruh lewat Omnibus Law, pembungkaman suara kritis lewat UU ITE dan RUU Penyiaran, biaya pendidikan tinggi yang meninggi, dan masih banyak lagi yang tidak bisa dimuat dalam satu tulisan saja.
Dibenturkan dengan situasi genting ini, kita, rakyat, tidak boleh pasrah dipecundangi. Kita juga jangan terjebak dengan solusi palsu seperti mengusung elite yang satu untuk melawan elite yang lainnya. Untuk melawan bandit besar yang terorganisir, kita juga harus mengorganisir diri, mengajukan tuntutan yang betul-betul dari dan untuk rakyat dan demokrasi. Maka dari itu, Koalisi Masyarakat Sipil Bangka Belitung mengajukan tuntutan:
- Kawal putusan MK dan tolak RUU Pilkada
- Tolak politik dinasti di Indonesia
- Adili Jokowi dan antek-anteknya
- Bubarkan DPR, bangun Dewan Rakyat
- Cabut UU dan batalkan RUU bermasalah lainnya: Revisi UU KPK, Omnibus Law,
UU Minerba, UU ITE, RUU Polri-TNI, RUU Sisdiknas, RUU Penyiaran, dan
seterusnya. - Sahkan RUU pro rakyat yang tak kunjung disahkan: RUU Perlindungan Pekerja
Rumah Tangga (PPRT) dan RUU Masyarakat Adat - Wujudkan pendidikan gratis, ilmiah, dan demokratis
- Tolak PHK massal, upah murah, kontrak kerja, outsourcing, dan skema kemitraan
yang amat menindas buruh - Hentikan Bank Tanah yang memperparah perampasan tanah, berantas mafia tanah,
dan wujudkan reforma agraria sejati - Hentikan Proyek Strategis Nasional (PSN), IKN, dan Food Estate
- Hentikan kriminalisasi dan brutalitas terhadap gerakan rakyat
SATUKAN BARISAN, REBUT DEMOKRASI SEJATI!
Narahubung:
+62 812-7210-8853 (Ahmad Subhan Hafiz)
Reporter : Alternatif
Penulis : Koalisi Masyarakat Sipil Bangka Belitung
Editor : Salwa Nabila