Ricky Kuswanda, mahasiswa UBB
“Bang, bile ayahku ku balik e?” tanya Zafran, 3 tahun, anak Sonika, seorang warga Dusun Air Gede, Kecamatan Membalong, Provinsi Bangka Belitung, yang ditangkap aparat Kepolisian Belitung pada 24 Agustus lalu atas tuduhan pengeroyokan kepada Manajer PT Foresta Lestari Dwikarya (selanjutnya ditulis PT Foresta). Padahal, sebenarnya tidak bisa dibuktikan hasil visumnya.
Zafran tidak mengetahui sama sekali bahwa ayahnya sedang ditahan di Markas Kepolisian Daerah Provinsi Bangka Belitung, kurang lebih 1000 km dari kediamannya di Membalong.
Sementara Sarwan mesti menggantikan peran ayahnya, Handi, yang saat ini berada dipenjara bersama Sonika. Setelah ayahnya ditangkap, ia mengatakan harus membagi waktu antara pekerjaannya sebagai buruh sawit dan menggarap kebun lada dan sawit ayahnya.
“Ini tidak mudah bagi saya, tapi tidak ada cara lain untuk memenuhi kebutuhan hidup mamak dan adik saya” ucap Sarwan.
Sedangkan untuk menyambung hidup, Ismiati harus mengandalkan sisa-sisa uang tabungan keluarganya semenjak suaminya, Amrin, ditangkap.
“Suami saya kuli di Belitung Timur. Karena dia belum gajian sekarang, saya enggak punya pemasukan selain kemarin kerja sama orang 4 hari buat nutup pengeluaran,” katanya.
Zafran, Sarwan, dan Ismiati adalah sebagian dari pihak keluarga yang terdampak setelah tulang punggung keluarga mereka dijadikan tersangka atas tuduhan pembakaran, perusakan fasilitas, dan pengeroyokan salah satu manajer di PT Foresta.
Kronologi Penangkapan
Pada pagi hari 16 Agustus 2023, beberapa warga menerima laporan bahwa perusahaan
melalui manajer ingin memanen di lahan di luar Hak Guna Usaha (HGU) dengan luasan sekitar 130 hektar. Hal ini disinyalir menyerobot kawasan hutan adat, hutan lindung, dan lahan masyarakat. Lahan di luar HGU sebenarnya tidak boleh disentuh berdasarkan kesepakatan antara masyarakat dengan Manajer PT Foresta pada tanggal 7 Agustus 2023.
“Sebelumnya sudah ada perjanjian antara masyarakat dengan perusahaan, bahwa mereka tidak akan melakukan pemanenan di lahan yang telah diuji petik oleh Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Belitung sebagai lahan di luar HGU,” tutur Minggu, koordinator lapangan dari Dusun Air Gede.
Hak Guna Usaha PT Foresta ini sendiri dinilai bermasalah oleh masyarakat. “Ada tiga HGU yang masing-masing habis tahun 2040, 2078, dan 2096. Ini tidak wajar, karena pembukaan lahan saja dimulai tahun 1994 dan 1997,” jelas Alamsyah, warga Dusun Air Gede, Desa Kembiri, yang juga sedari awal ikut berjuang menuntut PT Foresta.
Di samping kedua persoalan di atas, perusahaan tidak memenuhi kewajiban untuk memberikan 20 persen lahan plasma kepada masyarakat. Selain itu, perusahaan tidak menjalankan komitmen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk pembangunan desa pada sektor pendidikan dan kesehatan masyarakat.
Minggu melanjutkan, “PT Foresta tidak memberikan hasil yang positif untuk masyarakat. Maka, pecahnya luapan amarah masyarakat tidak lain disebabkan oleh ketidakadilan yang menginjak-injak kami 28 tahun lamanya.”
“Kerugian lain yang kami rasakan, perusahaan merusak daerah aliran sungai. Dampak dari limbah buangan pabrik mereka,” ujar Alamsyah.
Mulai dari pagi hingga sore pada 16 Agustus 2023, masyarakat menunggu manajer di kantor untuk melakukan pertemuan demi memverifikasi hal tersebut. Upaya masyarakat tidak digubris Manajer PT Foresta.
Melihat tindakan ini, amarah masyarakat meluap hingga spontan melakukan pembakaran, perusakan fasilitas, penebangan pohon sawit perusahaa. Meski upaya pertemuan ini dijaga oleh aparat kepolisian, mereka tidak bertindak apapun untuk meredam kemarahan massa.
Pada 18 Agustus 2023, berlangsunglah pertemuan antara Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda), Wakapolda Babel, Bupati Belitung, Kapolres Belitung, Ketua DPRD, perwakilan Komando Distrik Militer (Dandim) Pangkalan dan Pangkalan TNI Angkatan Udara (Lanud), dan seluruh perwakilan masyarakat yang didampingi penasihat hukum di Rumah Dinas Bupati Belitung. Tujuan pertemuan ini untuk membahas polemik antara masyarakat dengan PT Foresta secara komprehensif.
Dalam pertemuan ini, para pimpinan daerah ingin memastikan bahwa masyarakat akan menjamin keamanan pasca kejadian dua hari lalu. Serta, menyarankan masyarakat melapor dugaan pelanggaran PT Foresta. Dalam pertemuan ini tidak dibahas sedikitpun mengenai pelanggaran hukum yang dilakukan masyarakat.
Akan tetapi, pada 19 Agustus 2023, keluar surat pemanggilan kepada 10 warga Dusun Air Gede dan 1 warga Desa Perpat, Membalong, agar dimintai keterangan terhadap insiden perusakan pada tanggal 16 Agustus. Kesebelas orang ini adalah Sonika, Handi, Amrin, Martoni, Aruni Wansa, Salman, Resiman, Taufik Hadar, Romelan, Zulkifli, dan Arto.
Pemanggilan tersebut membuat masyarakat kecewa sebab agenda pertemuan selanjutnya dianggap masyarakat sebagai langkah mediasi yang dipimpin Wakapolda Babel. Oleh karena itu, 11 orang terpanggil itu tidak menghadiri pemanggilan pertama dan kedua karena mereka menunggu keterangan atau jawaban dari pimpinan daerah.
Pada 24 Agustus 2023, puluhan aparat kepolisian bersenjata lengkap menjemput paksa
di waktu dini hari pada 11 warga Membalong. Usai memberikan keterangan di Kantor Polres Belitung, 11 warga langsung ditetapkan sebagai tersangka.
“Kasus penangkapan ini tidak terlepas dari kegagalan pemerintah dalam menyelesaikan konflik ini secara adil,” lanjut Verdian, warga Dusun Air Gede, Desa Kembiri.
Pada 25 Agustus 2023, Polda Babel mengambil alih kasus insiden dengan mengirim 11 warga Membalong ke Rutan Mapolda Babel. Wandi selaku kuasa hukum 11 tersangka menilai penangkapan mereka mengandung kekerasan dan cacat prosedural.
“Mereka ini diperlakukan seperti pengedar narkoba. Ratusan personel polisi bersenjata lengkap yang menangkap mereka secara paksa,” terang Wandi.
Selain itu, Wandi merasa janggal terhadap pemindahan 11 tersangka dari Polres Belitung ke Polda Bangka Belitung.
“Pertama, saya tidak diberitahu secara resmi oleh pihak kepolisian. Kedua, mereka ditetapkan sebagai tersangka kurang dari 24 jam setelah pemeriksaan. Ketiga, laporan saya mengenai penyerobotan PT Foresta terhadap lahan masyarakat dengan barang bukti Sertifikat Hak Milik (SHM) tidak digubris. Malah, laporan PT Foresta terhadap 11 klien saya yang didahulukan pihak kepolisian,” tutur Wandi.
Tragedi penangkapan 11 warga Membalong yang memperjuangkan hak atas lahan ini menjadi salah satu noda dalam catatan kelam penanganan konflik agraria di Indonesia. Mereka adalah bagian dari perjuangan 7 desa (Kembiri, Simpang Rusa, Perpat, Lasar, Membalong, Badau, dan Cerucuk) dari Kecamatan Membalong, Badau, dan Tanjung Pandan yang berhadapan langsung dengan PT Foresta, anak perusahaan Sinar Mas Group.
Ketika berita ini digarap, 10 dari 11 warga Membalong yang dikriminalisasi dipindahkan dari Polda Babel ke Polres Belitung. Namun, hingga saat ini, belum ada kepastian dari kepolisian untuk memulangkan kesebelas pejuang hak atas lahan ini.
Jalan Terjal Penyelesaian Konflik Agraria di Membalong
Dilansir dari Kompas.com, Jessix Amundian, Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Bangka Belitung (WALHI Babel), menyatakan bahwa buruknya aspek pengawasan tata kelola sumber daya alam di sektor perkebunan diduga kuat adalah dampak dari ekspansi perusahaan sawit pada wilayah kelola rakyat, penyerobotan lahan di luar HGU, pengabaian terhadap kewajiban pelaksanaan Plasma, juga Corporate Social Responsibility (CSR).
Dalam konteks Membalong, Jessix menyebutkan bahwa implikasi kelambanan penyelesaian konflik agraria masyarakat Membalong dengan PT Foresta ialah bentuk lain pengabaian terhadap Hak Asasi Manusia.
Konflik agraria antara PT Foresta dan masyarakat Membalong, bila ditarik lebih jauh, sebenarnya bermula sejak 1994. Sejak awal pembukaan lahan, perusahaan tersebut disinyalir melanggar hak masyarakat dan hukum adat yang berlaku.
Deman, 71 tahun, adalah salah satu penduduk yang lahannya digunakan untuk berkebun
sahang, karet, cempedak, rambutan, dan padi digusur oleh perusahaan.
“Kejadiannya sebelum perusahaan membuka lahan atau tanam tumbuh. Penggusuran itu tanpa kompensasi dalam bentuk apapun ke saya,” ucapnya.
Sementara Rahidin, 50 tahun, yang pada 1994 saat awal pembukaan lahan ikut orang tuanya berkebun padi, menggale (singkong), dan sahang (lada) seluas 2 hektar juga digusur.
“Padi sedang berbuah, tapi dirampas tanpa sepengetahuan keluarga kami,” ujar Rahidin yang saat kejadian masih tergolong muda.
Lebih lanjut, Rahidin mengatakan perusahaan mengancam kalau mereka (keluarga Rahidin) protes, urusan ke pemerintahan tidak akan diurus. “Ya kami cuma bisa pasrah dan nangis.”
Lahan yang ia manfaatkan ialah hutan adat. Ia meminta kepada pemerintah, “Tolong
kembalikanlah lahan yang diserobot itu ke masyarakat. Dan, HGU itu (PT Foresta) sebaiknya dicabut,” katanya
Terkait penyerobotan lahan bersertifikat milik masyarakat di Desa Perpat, Residi, Ketua RT Desa Perpat, Membalong, mengatakan ada 17 Sertifikat Hak milik (SHM) warga yang terdampak seluas 11,5 hektar. Kerugian material masyarakat bisa mencapai puluhan miliar rupiah.
“Pemilik SHM sebenarnya sudah tahu bahwa PT Foresta masuk ke lahan mereka. Tapi
sepertinya mereka takut, karena saat itu tidak ada bukti kuat, apalagi lawan mereka adalah bagian dari Sinar Mas Group” katanya.
Lanjut Residi, PT Foresta juga merambah kawasan hutan lindung di Gunung Kuning, Desa
Perpat, yang luasannya sekitar 34 hektar.
Bagi Alamsyah, pemerintah daerah belum bisa menengahi masalah ini meskipun masyarakat sudah menunjukkan banyak bukti kuat. “Sudah berapa kali Bupati, DPRD, dan perangkat daerah yang lain memberikan janji untuk menuntaskan masalah ini, tapi belum terbukti. Kami sudah menunggu selama 28 tahun, bahkan sampai mengharap iba dari pimpinan kami.”
Selama sebulan masyarakat menuntut hak yang semestinya mereka dapatkan ke pemerintah daerah, pihak DPRD Belitung dan PT Foresta, tapi tidak kunjung memberikan keadilan kepada masyarakat.
“Sejak pemimpin gerakan kami dikriminalisasi, mana ada pemerintah daerah, wakil rakyat di daerah, dan pihak kepolisian yang berpihak terhadap rakyat kecil,” kata Alamsyah.
Wandi mengatakan, pihak kepolisian pun tidak berkeinginan memediasi masyarakat dengan PT Foresta secara berkeadilan. “Pihak kepolisian daerah malah dua kali menolak permintaan penangguhan dan masyarakat sebagai penjamin untuk kawan kami. Andai tidak bebas, minimalnya ditahan di Belitung sajalah.”
Masyarakat Membalong tidak banyak berharap dari janji manis pemerintah, tapi mereka ingin ada solidaritas yang luas dari masyarakat Bangka Belitung, mahasiswa, dan orang lain yang peduli.
“Kami sangat terbantu dan rasanya semakin kuat jika solidaritas dari masyarakat terhadap perjuangan kami meluas. Untuk saat ini, setidaknya kawan-kawan kami yang ditahan dapat bebas,” pungkas Minggu.
Editor: Kevin Aryatama