Alfia Nuriyani
Mahasiswi Jurusan Hukum Universitas Bangka Belitung
Perkembangan dunia saat ini sangat pesat terkhusus dalam bidang bisnis yang sudah semakin besar. Banyak munculnya wajah baru dalam dunia bisnis terkhusus dalam bentuk Perusahaan. Dalam menjalankan kinerja atau segala aktivitas perusahaan dapat dipastikan harus memerlukan modal yang besar guna menunjang segala kegiatan perusahaan tersebut.
Modal dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) merupakan uang yang dipakai sebagai pokok atau induk untuk berdagang, melepas uang, dan sebagainya serta harta benda (uang, barang, dan sebagainya) yang dapat dipergunakan untuk menghasilkan sesuatu yang menambah kekayaan dan sebagainya. Hal ini berarti dengan modal tersebut suatu perusahaan dapat berkembang untuk menjalankan segala aktivitas sesuai dengan bidang perusahaannya.
Untuk memperoleh modal perusahaan itu harus meminjam kepada kreditur untuk kelangsungan kegiatan perusahaan. Modal yang dipinjamkan oleh kreditur ini pastinya harus dikembalikan dalam jangka waktu yang telah ditentukan sebagaimana perjanjian kedua belah pihak yaitu kreditur sebagai peminjam modal dan debitur itu perusahaan yang meminjam modal.
Apabila dalam perjalanan perusahaan itu tidak bisa mengembalikan modal kreditur sebagaimana jangka waktu yang sudah disepakati kedua belah pihak maka dapat menempuh jalur alternatif yaitu dengan mengajukan status pailit. Pailit atau kepailitan dalam buku Pengantar Hukum Kepailitan karya Dr. Derita Prapti Rahayu, S.H., M.H adalah kondisi dimana seseorang atau badan hukum yang tidak mampu membayar utang-utangnya kepada si piutang. Yang artinya suatu perusahaan tidak lagi mampu membayar utang kepada si piutang dalam hal ini merupakan kreditur.
Kepailitan atau Pailit diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau biasa disingkat UUK PKPU. Dalam hal proses kepailitan ini tentunya melibatkan banyak pihak antara lain yaitu Kurator. Kurator dalam UUK PKPU adalah pihak yang bertugas untuk menangani seluruh kegiatan pemberesan hal ini termasuk juga pengurusan harta pailit sebagaimana telah diatur dalam pasal 24 UUK PKPU. Kurator menjadi satu-satunya pihak yang penting yang cukup andil dalam suatu proses perkara pailit sehingga memiliki tugas dan kewajiban yang cukup besar. Kewajiban tersebut mencakup pengurusan harta pailit, penyampaian laporan setiap 3 bulan kepada hakim pengawas tentang keadaan harta pailit dan Kurator juga bertanggung jawab terhadap kesalahan dan kelalaian yang timbul pada waktu pelaksanaan tugasnya. Semua kewajiban itu diatur dalam UUK PKPU selain kewajiban.
Dengan begitu besar tugas seorang Kurator maka tentunya diperlukan adanya suatu perlindungan hukum apabila terjadi suatu permasalahan dalam menjalani tugasnya. Dalam UUK PKPU itu sendiri hanya menjelaskan tugas serta kewajiban seorang Kurator saja tidak menjelaskan perlindungan hukum bagi Kurator itu sendiri. Dikutip dari pendapat Jimmy Simanjuntak Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) beliau menjelaskan bahwa dalam UUK PKPU ini belum memberikan perlindungan bagi kurator sebagai lembaga penyelesaian proses kepailitan. Oleh karena itu, beliau mengusulkan adanya amandemen dalam UUK PKPU ini terkhusus pasal 72.
Dalam pasal 72 UUK PKPU tidak menjelaskan lebih lanjut atau lebih rinci bagaimana bentuk dan ruang lingkup pertanggung jawaban seorang Kurator. Hal yang seperti ini dapat dikatakan sebagai kekosongan hukum dikarenakan belum adanya perlindungan bagi seorang Kurator disamping tugasnya yang besar barang tentu diperlukan perlindungan hukum apabila nantinya dalam menjalankan tugas terjadi suatu hal yang tidak diinginkan. Kurator juga kerapkali dijadikan sebagai kambing hitam dalam proses pemberesan aset harta pailit yang nantinya akan berujung kepada gugatan atau laporan kepada kepolisian.
Dengan demikian kedudukan Kurator dalam proses kepailitan sangat penting karena Kuratorlah yang berperan dalam proses tersebut. Hal ini tidak sejalan dengan tidak adanya perlindungan hukum bagi Kurator disamping tugas dan kewajiban seorang Kurator yang besar sebagaimana tercantum dalam pasal 72 UUK PKPU yang hanya menjelaskan apabila seorang Kurator lalai dari kewajiban dan tugasnya.
Banyak pihak yang mengharapkan akan adanya amandemen dari UUK PKPU agar nantinya Kurator-Kurator di Indonesia mendapat perlindungan hukum secara konstitusioal. Sehingga dapat disimpulkan bahwasanya belum terjaminya perlindungan hukum bagi Kurator-Kurator yang ada di Indonesia.
(Alfia Nuriyani/Red LPM-UBB)