Oleh: Kevin Aryatama

”Slogan ini, yang dulunya di telingaku terdengar “wah”, ternyata punya bolong di sana-sini kalau mau sedikit saja merefleksikannya.”
Jauh hari sebelum melepas seragam putih abu-abu, aku sudah menemui slogan “mahasiswa adalah agent of change”. Slogan yang megah untukku yang dulu terlalu hijau, lebih hijau dari sekarang.

Saat menapaki dunia perkuliahan, slogan ini jadi cukup sering kutemui. Di pidato elite mahasiswa yang berebut kursi, orasi yang menggebu-gebu saat aksi, pamflet seminar dengan tajuk yang kadang agak kelewat optimis, pemaparan materi selama perkuliahan berlangsung, dan bertebaran pula di kesempatan lain. Sampai aku kadang sedikit jengah karena terlalu sering dipakai.

Slogan ini, meski digemakan dengan cara yang berbeda-beda, mempunyai satu kesamaan. Ada kesan bahwa mahasiswa memikul peran besar dan suci sebagai pemegang kunci perubahan sosial.

Slogan ini, yang dulunya di telingaku terdengar “wah”, ternyata punya bolong di sana-sini kalau mau sedikit saja merefleksikannya.

Yang mau kubicarakan dalam tulisan ini adalah bagaimana narasi “mahasiswa sebagai agent of change” meletakkan peran sentral perubahan sosial di bahu mereka. Dan, terkesan mengeksklusifkan perjuangan dari golongan lain. Ini tentu bermasalah.


“Mahasiswa adalah agent of change! Mahasiswa adalah kaum muda intelektual! Maka dari itu, harus kritis untuk Indonesia yang lebih baik!” Kurang lebih begitulah bunyi ajakan agar mahasiswa punya pikiran dan sikap kritis. Serta, supaya berdiri di tengah upaya-upaya perubahan sosial.

Pastinya aku tidak akan membantah bahwa berpikir kritis adalah keharusan. Bila ingin memahami realitas, minimal yang ada di sekitar kita, memang harus kritis.

Hanya saja, menempatkan mahasiswa sebagai peran sentral dalam perubahan sosial, apa tidak terlalu narsistik dan eksklusif?

Aku lebih percaya kepada kekuatan bersama yang menampung berbagai golongan. Bukan golongan tertentu saja, misalnya mahasiswa. Apalagi kalau lebih sempit, seperti elite mahasiswa. Padahal, buka-bukaan saja, politik praktis di kampus-kampus toh tidak seluhur itu.

Perubahan sosial, bila ingin dilakukan (kalau tidak terlalu utopis) lewat reformasi radikal atau bahkan revolusi, harus melibatkan jejaring akar rumput yang luas dan beragam. Perjuangan bukan hanya milik kita, muda-mudi beruntung yang bisa mengenakan almamater berkat keluarga yang menyanggupi biaya kuliah. Pelajar SMA/K yang dianggap belum cukup umur, guru dan dosen yang merupakan buruh akademik, nelayan Teluk Kelabat yang kian tersingkir oleh penambangan ilegal, dan siapa saja berhak ambil peran untuk perubahan.

Lalu, bagaimana cara memberdayakan nalar kritis dan solidaritas kelompok-kelompok yang berbeda ini?

Ada opsi-opsi lain yang lebih baik ketimbang memosisikan mahasiswa di peran sentral perjuangan perubahan sosial. Salah satunya, membentuk kolektif atau komunitas progresif.

Dari kolektif progresif, kita dapat melakukan pemberdayaan kesadaran kritis “bersama” (bukan sekedar “untuk”) golongan lain: pelajar, akademisi, buruh, tani, nelayan, dan lainnya. Misalnya, membentuk kolektif mahasiswa, kolektif pelajar, serikat nelayan, atau serikat buruh akademik. Atau, bisa juga membuat kolektif yang keanggotaannya terbuka dari berbagai kalangan. Kolektif-kolektif yang ada ini pun dapat saling berjejaring untuk menyambung silaturahim dan solidaritas.

Adanya kolektif bahkan jaringan yang terdiri dari berbagai golongan ini penting untuk pertukaran sudut pandang. Contohnya, aku, mahasiswa yang belum pernah bekerja full time, tentu akan mendapat sudut pandang baru saat bertukar pikiran dengan pekerja full time. Darinya, aku bisa mendengar curhat pengalaman kerja, UMR, ketenagakerjaan, dan situasi kebebasan berserikat. Dan, mungkin diskusi bisa dikembangkan menjadi membahas jam kerja yang sehat, hak-hak pekerja yang hamil dan melahirkan, Omnibus Law, bagaimana secara umum industri dan sistem ekonomi kita yang kapitalistik ini bekerja melalui eksploitasi.

Itulah salah satu guna kolektif progresif. Ia berguna sebagai ruang bersama untuk belajar memahami dan mencari alternatif untuk memperbaiki keadaan. Tentu disertai landasan teoretik yang progresif dan kokoh.

Atau, bila membahas teori dirasa terlalu muluk bagi sebagian orang. Katakanlah, otakku tidak sanggup mencerna teori. Setidaknya, aku berupaya terlebih dahulu mengedepankan kesadaran kritis, minimal untuk memahami realitas sosial di sekitarku. Tentu, sekali lagi, dengan pemahaman yang progresif. Bukan utopia akan dominasi politik oleh penganut agama yang mengusung tafsir tertentu. Bukan pula gagasan kebebasan individual ala liberal yang mandul kritik terhadap kapitalisme.

Karena kolektif adalah ruang belajar, maka ia harus kondusif. Kolektif haruslah steril dari diskriminasi agar kondusif. Kolektif harus bisa menyediakan ruang yang adil dan aman bagi berbagai sudut pandang, gender, kelas sosial, dan lain sebagainya. Ini penting agar tidak mengulang “penyakit tidak adil” yang sayangnya diidap kalangan kolektif. Alih-alih adil gender, sejumlah kolektif malah didominasi laki-laki. Bahkan, terjadi kekerasan seksual di dalamnya.

Tentu masih banyak hal yang bisa dibahas seputar berkolektif sebagai alternatif. Namun, aku menahan diri dulu agar tidak salah melempar opini karena segala keterbatasan dan kekuranganku.

Aku sama sekali buta bagaimana iklim berkolektif di Bangka Belitung. Toh, aku bukan siapa-siapa. Tulisan ini pun masih konsep dasar yang mungkin banyak salah dan celah. Namun, kuharap tulisan ini tetap bisa memantik perbincangan terkait berkolektif di Bangka Belitung. Semoga.

(Kevin Aryatama/Red LPM UBB)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *