(Birrul Walidain)

Tahun 2020 ini tampaknya memiliki beban rintang yang cukup curam hingga membuat siapapun tertatih dalam menghadapinya. Awal tahun saja, Indonesia bahkan dunia telah dikejutkan dengan kemunculan virus covid-19 yang akhirnya menjadi pandemi dengan penyebaran yang cepat dan meluas.

Pandemi tersebut sukses membawa kematian bagi ribuan hingga jutaan orang. Tidak hanya kematian bagi manusia, tetapi juga hingga ke berbagai sektor yang ada di dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat  seperti ekonomi dan politik. Sektor-sektor krusial banyak yang mengalami masa kritis. Oleh sebab itu, banyak berbagai kebijakan baru yang mengiringi pemulihan akibat pandemi tersebut.

Sebut saja Bumi Pertiwi yang saat ini dapat dikatakan sedang terombang-ambing. Perekonomiannya mengalami penurunan drastis pada kuartal I dan diperkirakan tidak akan mampu mengejar ketertinggalan pada kuartal II. Dampaknya akan cukup besar, baik pemutusan hubungan kerja sampai pada kenaikan harga ‘ikat pinggang’.

Tingginya biaya pemulihan di masa pandemi covid-19 dan juga dengan dalih perlindungan ekonomi negara, berhasil menelurkan berbagai kebijakan baru salah satunya perpu corona. Kebijakannya menjadikan pemerintah dapat menaikkan defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tanpa harus melalui persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Defisit APBN sendiri menurut PP Nomor 23 Tahun 2003 pasal 1 merupakan selisih kurang antara pendapatan negara dan belanja negara dalam tahun anggaran yang sama (http://www.djpk.kemenkeu.go.id/?p=412). Sebelum Perpu corona disahkan menjadi UU, defisit APBN haruslah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Sudah seharusnya hal tersebut dipertimbangkan terlebih dahulu dengan DPR agar sesuai dengan kemampuan keuangan dari negara serta pendapatan negara melalui masyarakatnya. Sehingga sangat rentan kebijakan tersebut dalam membawa masalah baru bagi negara misalnya saja ketidakmampuan negara dalam mempertahankan stabilitas perekonomian negara.

Alhasil, kebijakan tersebut membawa pemerintah tidak ragu dalam melebarkan defisit APBN. Tidak tanggung-tanggung APBN tahun 2020 ini naik ke level 6,27% terhadap produk domestik bruto (PDB). Defisit anggaran yang melebar ke 6,27% tersebut setara Rp 1.028,5 triliun terhadap PDB. Oleh sebab itu, dalam memenuhi capaiannya pemerintah berencana akan menerbitkan utang baru sekitar Rp 990,1 triliun (detikcom, https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5032423/pulihkan-ekonomi-pemerintah-cari-utang-rp-990-triliun).

Dilansir dari detikcom, draf kajian Kementerian Keuangan mengenai program pemulihan ekonomi nasional, pemerintah sudah menerbitkan surat utang negara (SUN) senilai Rp 420,8 triliun hingga 20 Mei 2020.  Utang senilai Rp 990,1 triliun tersebut akan dengan penerbitan SUN secara keseluruhan baik melalui lelang, ritel, private placement, dalam dan atau luar negeri.

Risiko dalam pengelolaan fiskal pun akan semakin besar seiring dengan keinginan pemerintah untuk menambah utang dengan cara melebarkan ruang defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di atas 3 persen dari produk domestik bruto (PDB). Sebab, penambahan utang yang tidak dibatasi terhadap pendapatan telah memperlihatkan ketimpangan pada tingkat kemampuan membayar utang beserta bunganya yang melemah (Bisnis.com, https://m-bisnis-com.cdn.ampproject.org/v/s/m.bisnis.com/amp/read/20200514/9/1240408/pelebaran-defisit-apbn-risiko-pengelolaan-fiskal-makin-besar?amp_js_v=a3&amp_gsa=1&usqp=mq331AQFKAGwASA%3D#aoh=15918753104490&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&amp_tf=Dari%20%251%24s)

Mengetahui berbagai fakta yang membuat hati masyarakat kecil menjadi teriris, sebab kebijakan yang diambil oleh pemimpinnya hanya akan menambah penderitaan. Tumbuhnya kebijakan pendek, semakin memanjangkan utang bagi negara. Talinya pun akan semakin erat mengikat rakyat. Wajar saja jika nantinya negara akan tunduk pada petitah petitih dari penyalur utang. Tentunya, cicilan yang harus dibayar akan sangat besar bayarannya jika dibandingkan dengan nilai uang yang telah dikeluarkan.

Pastinya juga negara yang telah memberikan utang akan merasa lebih memiliki kuasa pada si penghutang. Sehingga dapat dengan leluasa untuk bertindak sewenang-wenang. Misalnya saja, Indonesia saat ini dapat dengan mudah menarik ribuan TKA asal China ke Indonesia. Padahal, di Indonesia sendiri banyak rakyat yang membutuhkan pekerjaan sebab PHK secara besar-besaran akibat pandemi.

Inilah yang menjadi gambaran sistem kapitalisme dalam menguasai tatanan kehidupan bermasyarakat. Kapitalis tidak akan segan-segan menunjukkan bulu dombanya untuk menyembunyikan seringai liciknya. Hingga banyak kalangan yang tertipu oleh pesona yang ditampakkan. Masyarakat menjadi salah satu korban yang sangat dirugikan. Sebab, kapitalis hanya akan berorientasi pada materi dan profit semata. Ibarat pepatah melayu ‘halal haram hantam habis’. Artinya, segala cara akan dilakukan tanpa mengindahkan sebab akibatnya dan rela mengorbankan apa pun di luar kemampuannya.

Lalu, bagaimanakah cara kita dapat keluar dari buaian dan cengkraman kapitalis? Ya, Islam merupakan jawaban yang tepat. Sebab, Islam telah memberikan solusi dari segala permasalahan yang terjadi di dunia. Pantas saja Islam dijadikan bukan hanya sekadar agama bagi pemeluknya namun juga ideologi. Ideologi diartikan sebagai ide-ide dasar yang menghasilkan peraturan-peraturan dalam kehidupan bermasyarakat baik masalah hubungan manusia dengan Tuhannya, dirinya sendiri, hingga dengan sesama manusia dan makhluk hidup lainnya.

Islam telah menawarkan sebuah sistem yang bisa menjadi tandingan bagi sistem kapitalisme itu sendiri. Sistem Islam akan membawa satu tujuan pada ridho Illahi dan mengurus rakyatnya layaknya seorang ibu tanpa berasaskan pada kepentingan keuntungan semata.

Sistem Islam telah mempunyai solusi dalam mengatasi defisit anggaran di negara, yaitu antara lain, meningkatkan pendapatan negara melalui pengelolaan harta milik negara. Seperti halnya tidak akan menyerahkan pengelolaan sumber daya kepada asing dan aseng tetapi murni dikelola oleh negara untuk kesejahteraan rakyat.

Pemberlakuan hima (pengkhususan harta untuk keperluan khusus dan tidak boleh digunakan untuk keperluan lainnya) pada sebagain harta milik umum, misalnya menjadikan sektor pertambangan timah khusus untuk pembiayaan dalam penanganan pandemi.

Kemudian menarik pajak (Dhuribah) sesuai dengan ketentuan syariah yang tidak akan membebankan masyarakat seperti layaknya yang sangat mencekik rakyat pada jaman ini. Mengoptimalkan pemungutan pendapatan negara, dan menghemat pengeluaran seperti menunda pembangunan infrastruktur demi kepeluan yang lebih mendesak. Artinya, negara memilah permasalahan yang lebih prioritas dan genting. Demikian negara akan lebih optimal menyiapkan amunisi dan bekal dalam menghadapi pandemi

Lalu, berutang (Istiqradh)  dengan syarat harus tetap terikat dengan syariah Islam yaitu tidak boleh mengambil utang luar negeri dan lembaga internasional lainnya seperti IMF atau Word Bank. Sebab, akan menimbulkan kemudharatan yang menyengsarakan hingga mengancam kedaulatan dari negara itu sendiri. Berutang juga merupakan salah satu jalan terakhir bagi negara jika memang Baitul Mal milik negara mengalami kekosongan.

Terlihat perbedaan yang sangat mencolok antara sistem kapitalisme dan sistem Islam dalam menghadapi permasalahan. Sebab, asal muasal sistem tersebut sangat berbanding terbalik. Sistem Islam spesial berasal langsung dari Sang Pencipta alam semesta.

Sedangkan sistem kapitalisme hanya berasal dari manusia yang hanya haus pada kepentingan dan keuntungannya semata. Hingga sampai di sini sangat jelas menggambarkan bahwa bertahan pada sistem kapitalisme hanya akan menumbuh–suburkan kesengsaraan dan penderitaan dan yang terlihat hanya masalah yang bergelimpangan.

Sedangkan jika kita meninggalkan sistem tersebut dan menggantikannya dengan sistem Islam sudah pasti akan membawa pada ketentraman dan keselarasan di seluruh penjuru dunia. Bukan hanya sekadar omong kosong tetapi memang benar adanya.

Telah terbukti sistem Islam mampu bertahan selama 13 abad di 2/3 belahan dunia dengan berhasil membawa peradaban yang maju di wilayah kekuasaannya. Sistem Islam ialah solusi yang nyata dari setiap keterpurukan yang dihadapi oleh manusia saat ini. Oleh sebab itu, sudah seharusnya kita sadar dan bangkit dalam menyongsong perubahan yang hakiki.

Wallahu’alam

(Bi/Red LPM UBB)

By Mental

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *