Oleh Muhammad Gifari (Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UBB)

Gejolak iklim demokrasi di Indonesia nampaknya memasuki babak baru, persoalan serta dinamika yang terjadi seringkali membuat saya tergelitik untuk menulis berbagai pandangan atau ekspresi sebagai bentuk respon atas giat yang terjadi di negeri ini. berbagai hal di politisasi, kolusi,korupsi,nepotisme massif terjadi, ketimpangan serta hasrat oknum yang tamak akan harta dan kekuasaan menjadi tontonan setiap hari di televisi, tak heran stigma yang ada di tengah masyarakat yang berpandangan bahwa politik itu jahat, karena setiap waktu mengkonsumsi informasi seputaran bagaimana pejabat atau politisi memanfaatkan kapasitas mereka untuk memenuhi kepentingannya sendiri dan acapkali menyusun kebijakan yang bertolak belakang dari keinginan rakyat.

Dalam iklim demokrasi saat ini banyak kalangan beranggapan cukup sulit mencari medium untuk melakukan sebuah ekspresi berbentuk kritikan, apalagi dalam situasi pandemi yang saat ini sangat menguras emosi, fikiran serta menumbuhkan ketakutan yang luar biasa bagi masyarakat, terkhusus masyarakat kalangan menengah kebawah yang sebagian besar menjadi pedagang dan sebagian lagi menjadi karyawan. Pembatasan menjadi pilihan rasional pemerintah dalam upaya menekan penyebaran pandemi yang berdampak terhadap kesehatan. Namun lagi-lagi pedagan kecil bahkan pengusaha franchise belum siap menerima dampak atas kebijakan pembatasan yang dikeluarkan pemerintah. Setelahnya respon kritikan dari banyak kalangan menjadi massif. Dan sayangnya respon pemerintah disinyalir justru berupaya meredam kritikan bukan dengan solusi melainkan Intimidasi, dalam iklim demokrasi tentu ini adalah bentuk ketidakwajaran, dimana warga berupaya melakukan kritik sebagai bentuk atau rasa ingin meluruskan suatu hal yang salah atau sebagai respon atas adanya ketidaksesuaian yang terjadi malah coba ditutupi terlebih diancam hukuman penjara atau adanya represifitas aparat.

Belakangan ini kaum pemuda pencinta seni jalanan dan banyak dari kalangan yang mencoba mengekspresikan bentuk kritikannya melalui mural yang di gambar di tempat umum atau di pinggir-pinggir jalan yang seringkali kita temui. Mulai massifnya mural-mural yang menggambarkan sindiran terhadap penguasa atau politisi adalah bentuk mulai menipisnya medium medium untuk menyampaikan kritikan. Setelah cukup massif bertebaran mural berbentuk kritikan di banyak sekali spot kota atau tempat yang ramai dilihat masyarakat umum, para penguasa nampaknya mulai gerah dan ketar-ketir. Buktinya mural kritik bergambar para elit politik atau bahkan presiden di hapus, serta mural bertulis kritik pedas atas respon gagalnya pemerintah melindungi rakyat di masa pandemi di hilangkan, terlebih sang pelukis mural di tangkap dan dipidana dengan dalih tidak ada izin dan masuk kedalam bentuk vandalisme.

Mural merupakan salah satu pesan atau opini publik berupa gambar atau seni rupa yang seringkali dibuat di dinding-dinding jalan kota atau tempat umum. Berbekal imajinasi yang direalisasikan dalam bentuk seni yang mengandung kritik sosial, para penggiat mural tidak bisa di sandingkan dengan oknum yang melakukan tindakan berbahaya dan merusak, toh mereka berusaha mengeskpresikan kritikan dalam bentuk karya seni yang indah, apakah ini adalah bentuk represi baru era kini?, hal ini yang kemudian membuat saya sangat tertekan melihat kondisi saat ini. secara jelas dipertontonkan oleh penguasa saat ini bagaimana mereka berupaya menutup medium medium dalam menyampaikan kritik. Apa bedanya dengan mural kampanye yang dilakukan para politisi, apa bedanya dengan mural yang edukasi pencegahan Covid-19 seperti yang dilakukan di salah satu kelurahan Jakarta Selatan, apa bedanya dengan mural edukasi bahaya narkoba di simpang lampu merah pom bensin kampung keramat di Kota Pangkalpinang. Di negara yang didaulat oleh rakyat ini tentu rakyat juga di perkenankan berekspresi sebagai bentuk kontrol sosial.

Jika ini adalah bentuk represi baru era kini, dimana menuangkan aspirasi dalam bentuk lukisan saja tidak diperbolehkan, sudah level berapa Indonesia dalam menuju keterpurukan Demokrasi?. Mengutip pemikiran Habermas, semua wilayah atau ruang kehidupan sosial kita yang memungkinkan kita untuk membentuk opini publik bisa disebut sebagai ruang publik. Perpaduan imajinasi serta pikiran kritis yang dituangkan dalam bentuk karya seni yang di tampilkan di ruang publik dimana ruang publik tersebut dapat diakses oleh siapa saja yang juga merupakan masyarakat atau publik itu sendiri, sehingga ruang publik menjadi tempat berkumpulnya opini-opini publik yang berkaitan dengan isu sosial, politik sesuai dengan perkataan atau pemikiran Habermas diatas.

Lalu pemasangan baliho yang massif terjadi saat ini bukan merupakan vandalisme? Mencari atensi publik berupaya meningkatkan elektabilitas menunjang eksistensi melalui penyebaran baliho di segala penjuru negeri ini menjadi salah satu hal yang jika dilihat cukup miris, mengingat kondisi masyarakat berkeringat, memutar otak mencari sesuap nasi hari ini, tetapi politisi sibuk mempersiapkan diri jelang pemilihan yang masih beberapa tahun lagi. Berlomba-lomba memasang baliho menyakiti batang-batang pohon dengan paku demi melekatnya banner kampanye dan terlebih mereka yang berkuasa saat ini yang berupaya menutup saluran-saluran kritik dengan pembungkaman, melakukan vandalisme pada alam dengan mengeluarkan kebijakan yang dapat berpotensi akan adanya kerusakan alam seperti akibat dari eksploitasi tambang, penggundulan hutan, dan hal lain.

Beberapa hari lagi masyarakat Indonesia akan menyambut kemerdekaan Indonesia yang ke-76, banyak persoalan serta harapan yang coba di selipkan masyarakat Indonesia dalam menyambut kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, semoga para politisi serta pejabat negara dapat diberikan kesadaran serta terbuka matanya melihat keadaan dimana terpuruknya Indonesia saat ini. semoga cita cita yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 dapat dilihat dan dirasakan seluruh masyarakat Indonesia.

(Gifari/Red LPM UBB)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *