Helmy Fahferly, mahasiswa Jurusan Sosiologi, Universitas Bangka Belitung.

Perburuan ikan paus masih menjadi sebuah tradisi sejak praktiknya turun-temurun terhitung sejak 3000 SM. Secara umum, dilihat dari sejarah panjang perburuan ini, ikaun paus digunakan untuk memperoleh daging, minyak, dan lemak yang tidak lain digunakan sebagai kebutuhan manusia. Tradisi ini memang pada saat zaman dahulu sudah menjadi kegiatan rutin oleh nenek moyang dan harus dilestarikan pada saat itu.

Tidak banyak yang tahu bahwasanya di Indonesia jugaa ada tradisi perburuan paus. Tepatnya, tradisi ini masih dilakukan masyarakat Desa Lamalera, Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tradisi memburu ikan paus dilakukan dengan cara menggunakan kapal layar berisikan beberapa orang langsung menuju ke laut. Jika sudah terlihat paus yang akan melintas, maka perburuan dilakukan dengan melemparkan tombak ke arah ikan paus dari kapal. Jenis paus yang umumnya diburu dalam tradisi ini merupakan jenis paus sperma (physeter macrocephalus) atau dikenal dengan koteklema. Tidak hanya itu, mereka juga memburu lumba-lumba spinner (stenella longirostris).

Oleh sebab itulah, tradisi perburuan ikan paus di terus-menerus dilakukan, terkhusus di Desa Lamalera. Tradisi ini dapat dikaji secara mendalam secara sosiologis. Sosiologi sebagai ilmu yang bersifat bebas nilai memiliki hak dan kewajiban dalam meneliti segala tradisi atau fenomena. Tradisi ini juga rasanya sangat cocok jika dikaitkan dengan kajian Sosiologi Masyarakat Kepulauan dan Maritim yang memang seharusnya meneliti fenomena yang berkaitan dengan kebermasyarakatan kepulauan dan maritim, termasuk di Indonesia. Kajian yang dilakukan nantinya akan menghasilkan suatu jawaban yang sesuai pembahasan bagaimana manusia memiliki kebebasan atas lautan dan bagaimana manusia mengatur budaya sebagai hubungan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Terkait di dalamnya ikan yang diburu juga hampir punah sehingganya perlu dikaji lebih dalam lagi bagaimana makna sebenarnya yang didapatkan dari adanya tradisi perburuan paus tersebut.

Sebelum melangsungkan perburuan paus ini, masyarakat Lamalera melakukan ritual upacara adat terlebih dahulu untuk memohon perlindungan, kelancaran, dan kemudahan yang akan dilalui nantinya. Komisi Perburuan Paus Internasional (International Whaling Comission) berhasil merekomendasikan perburuan paus di Lamalera termasuk sebagai perburuan tradisional yang masih diperbolehkan. Meskipun begitu, terdapat aspek yang belum termasuk peraturan mengenai definisi perburuan tradisional terhadap spesies yang terancam punah itu seperti apa saja, baik secara legal, hukum adat, sains dengan adanya perburuan paus ini. Bagaimana dengan adanya penghapusan regulasi biologis (potential biological removal) yang di mana berisikan jika ambang batas jumlah hewan yang boleh ditangkap agar tidak merusak keseimbangan populasi hewan tersebut.

Terkait apakah akses ke sumber daya milik bersama, dalam hal ini adalah ikan paus atau hiu, yang ditangkap langsung oleh masyarakat Lamalera akan bertahan atau mengalami perubahan, menurut saya pribadi ikan paus atau hiu yang di tangkap dengan menggunakan tombak tersebut akan terus ada. Sebab, ikan paus yang diburu tersebut memiliki ketentuan tersendiri paus yang mana yang akan diburu dan masih sangat banyak juga di lautan. Dengan catatan, jika perburuan atau tradisi ini masih terus dilakukan secara tradisional atau dengan tidak alat tangkap yang modern pula. Kendati demikian, di satu sisi mengenai regulasi pemerintah dan sudah diatur dalam undang undang mengenai dilindunginya ikan paus membuat sebagai praturan regulasi sebagaimana mestinya untuk paus tidak untuk diburu, agar nantinya tidak punah dan habis. Sementara di sisi lain juga tradisi yang sudah mengikat sejak lama mengenai perburuan paus ini masih terus dilakukan hingga saat ini. Saya kira masih belum cukup dari pemerintah mengenai hal ini dan harus ada pendampingan secara khusus mengenai mekanisme ini. Apalagi tradisi ini sudah menjadi adat istiadat masyarakat sekitar pesisir Lamalera ini dengan harapan adanya perburuan paus ini bisa memberikan masyarakat kemakmuran lewat perburuan paus. Juga, membantu kaum janda memiliki pasokan makanan dalam perburuan paus. Untuk hasil buruan satu paus dewasa yang beratnya antara 35 hingha 57 ton digunakan sebagai sumber pangan untuk menjamin pasokan pangan seluruh desa selama satu bulan ke depan.

Latar belakang adanya kemiskinan yang terjadi sangat besar kaitannya dengan mana teknologi alat tangkap ikan bertransformasi dan mendukung kemunculan kapitalisme lokal. Hingga sekarang ini juga masih terus bermunculan kapitalisme lokal yang notabenya adalah terdapat di daerah miskin atau tertinggal. Pemilik modal, dalam hal ini tengkulak, memiliki modal seperti halnya perahu, mesin kapal, ataupun pukat yang kemudian akan “dipinjamkan” kepada nelayan sebagai teknologi alat tangkap yang modern dan tentu saja nantinya akan memudahkan nelayan dalam menangkap ikan. Sehingga, hasil tangkapan ikan yang diperoleh nelayan juga nanti akan banyak. Namun, dengan catatan, nelayan diharuskan menjual ikan hasil tangkapan kepada tengkulak kembali atau yang juga disebut sebagai hubungan patron klien (patron client). Hingga saat ini, kapitalisme lokal di daerah tertinggal dan miskin sebagai bentuk pemilik modal masih bisa ditemui dan masih ada. Praktik pemiskinan akan terus berlanjut jika pola patron client masih ada.

Selanjutnya, mengenai apakah terjadi fenomena tragedi sumber daya milik bersama di komunitas nelayan Lamalera sebagaimana dilihat oleh Garrett Hardin. Pada tulisannya yang tercantum dalam artikel jurnal internasional yang berjudul “The Tragedy of Commons” kurang lebih terkhusus kasus yang ada di Lamahera yang secara rasional meliputi kerusakan atau kepunahan paus yang sudah diburu juga berdampak pada ekosistem laut jika terus dibiarkan dan kembali lagi. Kepentingan terbaiknya sendiri dalam masyarakat itu percaya pada kebebasan milik bersama merusak semua hal jika tidak ada batasannya. Dan, secara umumnya juga negara maritim masih secara otomatis menanggapi semboyan “kebebasan lautan” artinya mereka percaya “sumber daya alam yang tidak habis-habisnya dari lautan” sekalipun itu ikan paus. Artinya, modal sosial bagi masyarakat Lamahera juga masih kuat dalam hal menopang kebutuhan ekomoni dan dibersamai dengan adat memburu paus yang di mana peran relasi kuasa di antara ketua adat. Pengaruh ketua adat masih sangat kuat dalam memimpin kebebasan memburu paus, dan tidak sepenuhnya juga buruk. Ada sisi baiknya juga terkhusus bagi masyarakat berupa janda, yang berkebutuhan ekonominya kurang bisa terbantu dengan adanya pembagian daging ikan paus.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *