Oleh Asri Wulandari

Baru-baru ini hangat diperbincangkan aksi dukungan unilever terhadap gerakan lesbian, guy, biseksual, transgender, dan queer (LGBTQ+) yang menuai kecaman dari berbagai pihak. Unilever sendiri merupakan perusahaan yang berbasis di Amsterdam, Belanda yang penuh kesadaran menyatakan diri berkomitmen mendukung gerakan tersebut di akun instagram officialnya.

Tak tanggung – tanggung, instagram juga menyusul unilever dukung LGBTQ+ yang dengan beraninya menunjukkan fitur “pride” dan hashtag pelangi dalam sisi awal story instagram dan beberapa bentuk sticker dalam story. Melansir dari Economic Times, para pengguna di instagram diminta memahami komunitas LGBTQ+ yang juga terdampak Covid-19, sehingga mereka akan menghadapi beberapa tantangan terkait kesehatan mental dan kesejahteraan emosional mereka.

Semakin nyata dukungan yang diberikan, Instagram juga bekerja sama dengan Queer Muslim Project, sebuah seni visual dan dongeng untuk mempromosikan representasi komunitas, positif, dan interseksional yang positif terhadap jenis kelamin, termasuk meluncurkan panduan kesejahteraan bagi komunitas LGBTQ+. Dukungan juga deras mengalir dari sejumlah perusahan internasional lain yang menujukkan bahwa hari ini barat semakin menggencarkan serangan untuk merapuhkan aqidah umat.

Berbagai kecaman salah satunya melayang dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ketua komisi ekonomi MUI, Azrul Tanjung menegaskan “Saya selaku ketua komisi ekonomi MUI akan mengajak masyarakat berhenti menggunakan produk Unilever dan memboikot Unilever,” kata Azrul saat dihubungi Republika, Ahad (28/6). Beliau juga menyatakan alasannya bahwa unilever sudah keterlaluan dan mengajak ormas Islam melakukan gerakan anti – unilever.

Bagaimana perasaan dirimu kaum milenial mendengar pernyataan – pernyataan tersebut? Mungkin tak sedikit dari kita merasa marah dan kesal. Marah atas mereka yang dengan beraninya mendukung gerakan yg jelas dimurkai Allah. Menganggap rendah aturan Allah SWT sebagai pencipta dan pengatur. Atau kesal karena melihat diri sebagai ummat terbaik tapi tak mampu alias begitu lemah hanya menyaksikan kekufuran demi kekufuran yang setiap detiknya semakin bertambah dan melebar. Terfikirkan, dimana kekuatan kita kaum muslim? Mengapa begitu lemahnya?

Maka terfikir pula dalam benak kita bahwa tak hanya boikot yang semestinya dilakukan. Memang benar, membuat aksi boikot akan merugikan produsen, tapi tak ada jaminan bahwa dukungan terhadap komunitas LGBTQ+ terhenti, pasalnya ummat hari ini tercengkram dalam jaring liberalisme yang dengan ganasnya akan terus mencengkram bagian yang lain. Maka jelas hampir semua perusahaan mendukung gerakan ini yang diklaim dapat menyuburkan bisnis mereka.

Maka pasti terfikir sekali lagi dalam benak kita bahwa jalan boikot yang tak seratus persen mengapus jejak kekufuran barat dapat terganti oleh suatu hal yang mengalihkan pandangan ummat dari melihatnya. Apalagi kalau bukan perubahan sistem.

Berfikir soal sistem, maka jelas hanya sistem atau aturan dari Sang Khalik lah yang dapat menumpas segala kekufuran – kekufuran ini, menghapus ideologi barat dari benak kaum muslim dan mengisi fikiran serta gerak umat dengan ideologi Islam yang sempurna dan menyempurnakan. Sistem yang telah membuktikan bahwa mampu bertahan selama 13000 tahun lamanya menghiasi wajah dunia dengan kedamaian dan keberkahan. Maka dengan diadopsinya kembali sistem ini oleh ummat, maka niscaya segala bentuk faham, sistem, dan institusi/lembaganya akan berpusat pada aturan Allah SWT yang maha pegatur.

Maka sudah selayaknya kita memposisikan diri sebagai ummat terbaik yang tak hanya bersiap namun juga bergerak sembari menantikan janji Allah dan bisyarah Rasulullah itu tegak.

(Asri)

By Mental

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *